Jakarta (voa-islam.com) - Belum reda berseteru dengan Muhaimin Iskandar di internal Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), kini Gus Dur menabur polemik lagi, kali ini dengan internal Nahdiyin.
Bermula dari aksi Gus Dur yang memperkarakan UU Penodaan Agama ke Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (17/11), bersama sejumlah tokoh seperti Siti Musdah Mulia, Dawam Raharjo, Maman Imanul Haq, dan sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Gus Dur mengajukan uji materi (judicial review) terhadap Undang-undang Nomor 1 Tahun 1965 tentang Penyalahgunaan dan Penodaan Agama.
UU tersebut diperkarakan oleh Gus Dur cs ke MK karena dinilai diskriminatif, menunjukkan adanya pembedaan terhadap agama seperti Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha dan Kong Hu Chu, dan agama-agama atau aliran keyakinan lainnya.
Kalau UU ini dicabut, orang akan bebas menghujat agama dengan alasan demokrasi dan hak asasi manusia. Setiap hari di Indonesia akan muncul orang-orang yang mengaku nabi atau malaikat baru...
"Pemberlakuan Pasal 1 UU ini melanggar kebebasan beragama," kata kuasa hukum para pemohon, Febi Yonesta.
Bunyi Pasal 1 yang diperkarakan itu adalah: "Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan agama itu, atau penafsiran dan kegiatan."
Reaksi keras terhadap Gus Dur, justru muncul dari internal Nahdiyin sendiri. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) meminta Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji materi Undang-undang Nomor 1 Tahun 1965 tentang Penyalahgunaan dan Penodaan Agama yang diajukan.
"Kalau UU ini sampai dicabut, orang akan bebas menghujat agama dengan alasan demokrasi dan hak asasi manusia. Setiap hari di Indonesia akan muncul orang-orang yang mengaku nabi atau malaikat baru dan kepolisian akan sibuk untuk mengatasi masalah itu" kata Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi, di Jakarta, Rabu (18/1).
Menurut Hasyim, persoalan penyalahgunaan dan penodaan agama bukan masalah demokrasi atau HAM, melainkan persoalan hak sebuah agama untuk mempertahankan eksistensinya. Hal itu, lanjutnya, tidak bisa dihapus atau dirusak hanya dengan alasan demokratisasi.
"Masing-masing agama punya hak konstitusional di negara Indonesia untuk mempertahankan (eksistensi) agamanya dalam konteks konstitusi negara bukan dalam konteks agama negara," katanya.
Bahkan, pengasuh Pesantren Mahasiswa Al-Hikam Malang, Jawa Timur, itu menilai gerakan Gus Dur dkk itu bukan gerakan masyarakat madani, melainkan sebagai upaya menumbuhkan atheisme.
"Itu sebenarnya gerakan atheis," kata Hasyim (18/11).
Polemik Hasyim Gus Dur dengan Muzadi soal ini tampak sangat alot. Entah sampai kapan, dan entah dengan siapa lagi berikutnya. [taz/dbs]