Balikpapan (voa-islam.com) - Maraknya nikah siri di Balikpapan, menurut anggota Komisi IV DPRD Balikpapan, Eka Citra Devi, salah faktornya dipicu oleh kurangnya jumlah penghulu. Faktor lainnya adalah motif sembunyi-sembunyi karena tidak mau diketahui oleh pihak lain.
“Memang informasi yang kita terima dari Departemen Agama, jumlah penghulu sangat minim. Artinya harus ada penambahan, tapi kan agak sulit karena Depag instansi vertikal,” katanya.
Di tempat terpisah, Saleh, Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Balikpapan Selatan mengatakan, penghulu fungsional jumlahnya masih sedikit. Penghulu kategori ini hanya tiga orang. Yang banyak justru Pegawai Pembantu Pencacat nikah (P3N). P3N bertugas di tiap kelurahan. Satu orang di tiap kelurahan, tapi ada juga kelurahan yang memiliki hingga dua orang P3N. “Jumlah penghulu fungsional memang masih kurang. Kita maunya ditambah, jadi P3N yang dikurangi,” katanya.
Karena, kata dia, P3N ini tidak digaji pemerintah, beda dengan penghulu fungsional. P3N hanya mendapat bayaran dari keluarga yang memiliki hajatan menikah. Disinggung, apakah kurangnya penghulu fungsional bisa berpengaruh dengan peningkatan nikah siri, menurutnya tak signifikan. Sebab, faktor utama terjadinya nikah siri karena pasangan tak mau diketahui orang. Bisa karena suami yang sudah memiliki istri yang ingin nikah lagi, bisa juga karena faktor lain.
“Kebanyakan yang menikahkan siri itu penghulu tak resmi. Penghulu kayak kami dan P3N kalau sampai menikahkan orang dengan cara siri bisa dapat sanksi berat. Bisa sampai dipecat,” katanya.
Dalam pandangan umum perspektif agama Islam, nikah siri disebut juga nikah agama. Sirri diambil dari bahasa Arab yang artinya diam-diam. Di mata masyarakat bisa dianggap sebagai “kumpul kebo”, bahkan nasibnya menjalar sampai si anak yang tidak memiliki hubungan secara hukum dengan si ayah.
Terlepas dari semua pandangan buruk soal nikah siri --yang konon kerap dilakukan untuk kepentingan-kepentingan tertentu, sebenarnya, asalkan syarat dalam pernikahan itu terpenuhi, yakni, ada wali yang menikahkan, ada mempelai pria dan wanita, ada 2 orang saksi, ada mahar, dan terjadi ijab qabul, maka secara hukum agama (Islam) pernikahan tersebut sudah sah.
Di mata masyarakat bisa dianggap sebagai “kumpul kebo”, bahkan nasibnya menjalar sampai si anak...
“Kalau pernikahannya secara Islam, maka dengan syarat yang terpenuhi di atas, itu sudah sah. Walau tidak ada surat nikah dan tidak dilangsungkan secara hukum negara,” ujar Dr AFD I Chandra SH MH, dosen Universitas Balikpapan (Uniba).
Namun, kata dia, keberadaan surat surat nikah itu untuk mempertegas pernyataan hukum negara, bahwa si A dan si B sudah menikah, untuk kemudian tercatat sebagai sebuah keluarga baru di negara ini. “Jadi, lihat asas manfaatnya. Alangkah lebih baik menikah sah menurut agama dan juga sah menurut negara,” tutup Chandra. [Ali/dbs]