Makkah (voa-islam.com) - Warga yang belum memperoleh kesempatan menunaikan ibadah haji sampai kini tidak perlu kecewa, karena pemerintah Arab Saudi terus membangun prasarana dan melengkapi fasilitas peribadatan demi kelancaran dan kenyamanan jemaah yang menunaikan Rukun Islam kelima itu.
Mulai musim haji 1431H (2010), angkutan monorel yang menghubungkan Kota Suci Mekah dan lokasi peribadatan haji di Mina, Muzdalifah direncanakan sudah akan beroperasi.
Dengan demikian pemerintah Arab Saudi dan jemaah calon haji tidak akan dipusingkan lagi oleh kemacetan lalu lintas yang terjadi sepanjang musim haji dari tahun ke tahun.
Bayangkan, pada musim haji tahun ini untuk menempuh jarak enam kilometer dari Mina ke Masjidil Haram di Mekah saja, diperlukan waktu dua sampai tiga jam untuk menembus kemacetan lalu-lintas di jalan akses yang harus dilewati.
Pemerintah setempat bukan tidak berupaya mengatasi kemacetan lalu lintas dengan membangun sejumlah terowongan (underpass) dan jembatan layang (flyover), tetapi pada saat tiga juta umat Muslim tumplek berbarengan pada musim haji, memang hampir mustahil untuk menghindari hambatan ini.
Akibatnya, ratusan ribu jemaah usai melontar jamrah di Mina, lebih memilih berjalan kaki ketimbang naik kendaraan, ke Masjidil Haram untuk melakukan Tawaf dan Sa`i atau sebaliknya, menuju Mina seusai Tawaf dan Sa`i di kompleks Masjidil Haram.
Melontar Jamrah (jumrah) dan Tawaf (Mengitari Kabah tujuh kali) serta Sa`i (berjalan dan lari -lari kecil antara Bukit Safa dan Marwah) wajib hukumnya dalam ibadah haji, jika tidak dikerjakan, harus membayar dam atau denda berupa ternak kurban.
Pada tahun pertama (2010), menurut Wakil Menteri Urusan Perkotaan dan Pedesaan Habib Zein Al-Abidin, monorel direncanakan untuk mengangkut setengah juta orang selama pengoperasian antara enam sampai delapan jam sehari. Kehadiran sistem angkutan monorel sekaligus juga akan menandai berakhirnya penggunaan sekitar 30.000 unit bus dan kendaraan-kendaraan kecil lain yang digunakan untuk layanan angkutan jemaah haji selama ini.
"Angkutan monorel akan menekan beban masalah lalu-lintas di lokasi-lokasi peribadatan haji dan mempercepat calon haji tiba di tujuan dan lebih nyaman," tutur Habib Zein.
Jika proyek ini dinilai berhasil, jaringan angkutan monorel akan dikembangkan terus di luar lokasi-lokasi peribadatan haji.
Studi Kelayakan juga sedang dilakukan untuk memperluas jaringan monorel ke stasiun dekat Masjidil Haram, Mekah yang menghubungkan kedua Kota Suci, Mekah dan Madinah (berjarak sekitar 420 Km).
Saat ini diperlukan waktu lima sampai tujuh jam berkendaraan bus untuk mencapai Mekah dari Madinah atau sebaliknya.
Proyek bernilai multi miliaran Riyal (tahap pertama SR6,7 miliar atau sekitar Rp167,5 triliun) yang merupakan kerja sama antara Arab Saudi dan China dirancang untuk mengangkut lima juta penumpang.
Proyek di Armina
Selain membenahi sistem transportasi, pemerintah Arab Saudi juga terus menambah dan meningkatkan prasarana dan fasilitas layanan haji di ketiga tempat peribadatan yakni di Padang Arafah, Mina dan Muzdalifah (Armina).
Padang Arafah (sekitar 7 Km dari Mina) adalah lokasi Wukuf yang merupakan puncak ritual salah satu rukun haji yang wajib dikerjakan, jika tidak, tidak sah hajinya.
Wukuf menamsilkan saat umat manusia berada di Hari Penantian (Padang Mahsyar), menunggu dihisab oleh Allah (ditimbang-timbang amal kebajikan dan dosanya), sedangkan Muzdalifah adalah lokasi mabit (singgah untuk persiapan melontar jamrah), sekitar lima kilometer dari Padang Arafah.
Melontar jamrah (jumrah) adalah ritual wajib haji (jika tidak mengerjakan, harus membayar dam atau denda berupa ternak kurban atau digantikan bagi yang sakit atau uzur).
Ritual ini dilakukan mulai 10 Zulhijah, dilanjutkan dua atau tiga hari berturut-turut setelah itu, dimulai dengan melontar jamrah Aqabah pada l0 Zulhijah, dilanjutkan dengan melontar ketiga jamrah (Ula, Wusta dan Aqabah) pada 11 sampai 13 Zulhijah.
Melontar jamrah mengingatkan saat nabi Ibrahim digoda setan untuk membangkang dari perintah Allah menyembelih puteranya, Ismail.
Bagi yang melakukan Nafar Awal, melontar 49 batu, tujuh batu dilontar pada jamrah Aqabah, kemudian masihg-masing tujuh batu ke jamrah Ula, Wusta dan Aqabah pada dua hari berikutnya (7x3x2).
Sementara yang mengikuti Nafar Sani, melontar 70 batu, tujuh batu dilontarkan di jamah Aqabah pada hari pertama, kemudian masing-masing tujuh batu ke jamrah Ula, Wusta dan Aqabah selama tiga hari berturut-turut (7x3x3).
Acara melontar jamrah saat ini juga sudah jauh lebih nyaman, tidak perlu berdesak-desakan lagi karena bisa dilakukan dari jembatan jamarat berlantai lima dengan akses jalan masuk sepanjang 950 meter dengan luas 80 meter.
Tragedi yang terjadi pada 1990 yang merenggut lebih 1.400 jemaah termasuk sekitar 650 calon haji Indonesia saat saling berdesakan di terowongan Mina menuju jamarat diharapkan tidak terulang kembali dengan rampungnya pembangunan jembatan jemarat berlantai lima.
Jembatan jamarat dapat diakses melalui tiga terowongan, 11 jalan masuk dan dua belas jalan keluar (searah) dan dilengkapi dengan mesin-mesin pendingin (AC) raksasa untuk mempertahankan udara agar tidak lebih dari 29 derajat Celcius.
Bahkan saat melontar jamrah dari tingkat lima, cukup lengang, padahal ratusan ribu calon jemaah haji sedang melontar jamrah di empat jembatan di lantai-lantai di bawahnya.
Sekitar tiga juta jemaah haji yang datang secara bergelombang antara 10 sampai 13 Zulhijah seolah-olah tertelan luasnya jembatan dan jalan akses keluar maupun masuk menuju jembatan jamarat.
Aliran arus jemaah dengan tertib melenggang, masuk-keluar jembatan jamarat di lantai satu sampai lantai lima melalui jalan-jalan akses yang lega ke masing-masing lantai.
Jembatan jamarat didisain agar bisa dikembangkan lagi sampai 12 lantai untuk menampung sekaligus lima juta jemaah yang akan mengikuti ritus melontar jamrah dan dilengkapi dengan menara helipad. Jembatan jamarat juga dilengkapi lift, escalator dan tangga-tangga darurat.
Sementara kawasan Mina seluas 650 hektare yang digunakan sebagai lokasi perkemahan jemaah juga terus dibangun dan dikembangkan untuk meningkatkan kenyamanan jemaah.
Nantinya sebagian jemaah tidak perlu menginap di tenda-tenda lagi jika pembangunan ratusan menara apartemen berlantai 12 yang mampu menampung satu juta jemaah rampung, menambah enam menara berkapasitas 20.000 jemaah yang saat ini sudah siap huni.
Mengenai akses jalan dari Mekah menuju Mina saat ini telah tersedia 25 terowongan, 41 jembatan dan jembatan layang dengan panjang 70Km. Kawasan Mina dan Mekah saat ini sudah tidak berjarak (saling berdampingan) akibat pesatnya pembangunan di kedua kawasan.
Bila jemaah sakit, tersedia tiga rumah sakit besar di kawasan Mina, belum termasuk posko-posko kesehatan yang dibangun oleh negara yang banyak mengirimkan jemaah seperti Indonesia dengan balai-balai pengobatan haji (BPHI).
Delapan rumah jagal berkemampuan l,5 juta hewan, juga disediakan di Mina untuk memenuhi hewan kurban atau pembayaran denda pelanggaran ibadah haji (dam).
Kilas balik
Ibadah haji saat ini jauh lebih nyaman karena calon haji dapat menentukan pilihannya masing-masing.
Bagi yang memiliki uang pas-pasan, bisa mengikuti program haji reguler (Biaya Perjalanan Ibadah Haji-BPIH-atau dulu ONH), sedangkan bagi yang mampu, dapat mengikuti program haji nonreguler (nonBPIH, atau dulu ONH Plus).
Haji program BPIH dikenakan biaya sekitar Rp36 juta, sedangkan non-BPIH antara Rp60 juta sampai Rp100 juta tergantung paket yang akan diambil, kualitas hotel yang diinapi, lama ibadah atau pemberian bonus paket-paket ziarah lainnya.
Ada pula haji nonkuota yang diselenggarakan biro-biro swasta dengan memanfaatkan "calling visa" atau undangan dari pemerintah Arab Saudi tanpa koordinasi dengan departemen agama.
Pada musim haji 1430H tercatat sekitar 209.000 calon haji reguler, 17.000 non reguler dan sekitar 1.000 haji nonkuota.
Sebaliknya, menunaikan ibadah haji pada awal dua abad lalu sangatlah berisiko, termasuk risiko jiwa dan raga.
Naik haji saat itu, bisa diartikan pergi dengan "one way ticket" (tiket sekali jalan) dan yang bersangkutan harus sudah siap dengan kemungkinan terburuk, tidak ada kepastian kapan bisa sampai tujuan, apalagi kembali, juga tidak bisa menyampaikan kabar atau mendapatkan kabar kepada atau dari sanak-keluarga yang ditinggalkan
Tidak diketahui secara pasti kapan warga Indonesia pertama kali menunaikan rukun Islam kelima itu, namun dari literatur, diperkirakan sudah berlangsung sejak abad ke-14, saat mulai ramainya pelayaran kapal-kapal niaga dari kawasan Timur Tengah untuk mengangkut rempah-rempah dari wilayah Nusantara.
Memasuki Abad ke-19, para jemaah calon haji dari berbagai wilayah di Nusantara berangkat naik haji dengan cara estafet yakni berlayar ke Aceh yang kemudian dijuluki Serambi Mekah, berpindah dari satu kapal ke kapal lainnya sampai Hadramaut di Yaman atau menuju pelabuhan Jeddah.
Tidak seluruh calon haji sampai di tujuan, ada yang meninggal di perjalanan, hilang tidak tentu rimbanya, maupun dijadikan budak di tanah Arab.
Di Arab Saudi, para jemaah ditampung oleh para mutawif yang akan memandu mereka melakukan ibadah haji, menyediakan pondokan dan makanan.
Mutawif kabarnya membantu para jemaah sebagai ibadah, sebaliknya para jemaah Indonesia saat datang dari tanah air akan membawa oleh-oleh atau buah tangan berupa hasil tenunan atau rempah-rempah.
Nama baik seorang mutawif diketahui dari mulut ke mulut, karena saat itu komunikasi, melalui surat-menyurat masih belum tersedia.
Para jemaah menuju lokasi ritual haji di Mina didampingi oleh para mutawif dengan naik onta, dan jika membawa isteri, suami dan mutawif berjalan kaki, hanya si isteri yang menaiki punggung onta dalam kotak (hawdaj) yang bagian depannya ditutup tirai.
Tidak ada jaminan keamanan bagi jemaah saat menuju Mina, bahan pangan dan air serta perlengkapan memasak harus dibawa sendiri, bahkan untuk membuang hajat, jemaah harus mengais tanah, karena tidak tersedia jamban-jamban umum.
Jemaah haji pada tahun-tahun mendatang jauh lebih beruntung, karena tidak akan mengalami kesulitan seperti yang dirasakan jemaah di masa silam, apalagi pemerintah Arab Saudi akan terus melengkapi prasarana, sarana dan fasilitas haji, tentu juga diharapkan dari pemerintah RI untuk meningkatkan layanan bagi jemaah hajinya. (Ali/dbs)