Ditulis Oleh: Amran Nasution
Hasil audit investigasi Badan Pemerksa Keuangan (BPK) terhadap Bank Century yang disampaikan ke DPR, Senin, 23 November lalu, sesungguhnya, menyebabkan pemerintahan Presiden SBY yang baru seumur jagung kini oleng.
Betapa tidak? Budiono bekas Gubernur Bank Indonesia yang kini menjabat Wakil Presiden, bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani, harus diperiksa aparat hukum dan diminta pertanggung-jawabannya dalam kasus Bank Century. Mereka berdua adalah orang yang paling bertanggung jawab atas talangan (bail-out) bank swasta kecil itu, tapi telah menghabiskan uang negarai Rp 6,7 triliun.
Ternyata dari audit investigasi BPK yang dimulai September lalu atas permintaan DPR, ditemukan berbagai ketidak-beresan di dalam upaya penyelamatan bank itu. Ketidak-beresan itu mulai dari berbagai pelanggaran terhadap peraturan yang ada, bahkan sampai perbuatan rekayasa untuk menghindari suatu ketentuan atau peraturan.
Kalau kasus ini diselesaikan menurut jalur hukum (sesuai slogan Presiden SBY yang selalu ingin menyelesaikan masalah melalui jalur hukum) mau tak mau Budiono dan Sri Mulyani harus dinon-aktifkan dari jabatannya guna memudahkan pemeriksaan oleh aparat hukum. Padahal mereka berdua merupakan tokoh utama penopang pemerintahan Presiden SBY .
Kalau kasus ini diselesaikan menurut jalur hukum (sesuai slogan Presiden SBY yang selalu ingin menyelesaikan masalah melalui jalur hukum) mau tak mau Budiono dan Sri Mulyani harus dinon-aktifkan dari jabatannya guna memudahkan pemeriksaan oleh aparat hukum. Padahal mereka berdua merupakan tokoh utama penopang pemerintahan Presiden SBY .
Rontoknya Budiono dan Sri Mulyani akan melemahkan Presiden SBY dan menyebabkan pemerintahannya menjadi pincang. Apalagi kalau kelak diketahui bahwa mereka berdua hanya melaksanakan instruksi Presiden. Karena itu bisa dimaklumi pagi-pagi sudah terlihat upaya membersihkankan nama SBY dari kasus Bank Century.
Hanya beberapa hari setelah hasil audit BPK disampaikan ke DPR, Raden Pardede, mantan Sekretaris KSSK (Komite Stabilitas Sistem Keuangan) mengatakan bahwa penyelamatan Bank Century dilakukan KSSK tanpa sama sekali melibatkan Presiden. ‘’Presiden tak kita libatkan dalam persetujuan tanggal 21 November 2008, karena itu wewenang KSSK. Jadi kita sama sekali tidak melibatkan Presiden,’’ katanya kepada wartawan, 24 November lalu. Betulkah Presiden sama sekali tak dilibatkan untuk penggunaan dana sampai Rp 6,7 triliun? Suatu hal yang tak masuk masuk akal, tapi baiklah para pembaca menjawabnya sendiri.
Belakangan memang berembus kabar yang luas bahwa pada saat KSSK mengadakan rapat yang memutuskan talangan untuk Bank Century, 21 November 2008, Menteri Keuangan Sri Mulyani sempat menelepon Presiden SBY yang waktu itu berada di Brasil. Atas petunjuk Presiden kemudian KSSK memutuskan mem-bail-out Bank Century. Rapat KSSK konon sengaja dilakukan dinihari sampai pagi untuk mengantisipasi perbedaan waktu antara Indonesia dengan negara di Amerika Latin itu kalau rapat membutuhkan arahan Presiden yang sedang berkunjung ke negeri Samba itu.
Audit investigasi atau pemeriksaan Bank Century, bank swasta milik pengusaha Robert Tantular, dilakukan BPK atas permintaan DPR, 1 September lalu. Pemeriksaan selesai 19 November 2009, dan 4 hari kemudian hasilnya disampaikan di rapat paripurna DPR.
Dari sini diketahui bahwa sejumlah Peraturan Bank Indonesia (PBI) telah dilanggar, keputusan penting diambil tanpa informasi yang cukup, dan lebih parah lagi, untuk membantu Bank Century, rekayasa telah dilakukan oleh para pejabat terkait. Pemeriksaan juga menemukan bukti-bukti bahwa sejak awal Bank Century telah diistimewakan oleh para pejabat Bank Indonesia dengan tak menggunakan peraturan-peraturan tertentu terhadap bank ini.
Tak aneh kalau kemudian para pengurus dan pemilik bank ini menjadikan Bank Century sebagai ajang penjarahan. Atau seperti dikatakan mantan Wapres Jusuf Kalla, bank ini dipimpin oleh rampok. Sungguh tak layak bank yang diipimpin ‘’rampok’’ dibantu dengan menggunakan uang negara sampai Rp 6,7 triliun. Tapi nyatanya itulah yang terjadi.
Dengan ditemukannya borok-borok Bank Century oleh BPK, selanjutnya kasus ini harus diusut sesuai ketentuan hukum. Karena sekarang polisi dan kejaksaan lagi kehilangan kepercayaan dari masyarakat akibat kasus Anggodo Wijaya, satu-satunya institusi yang harus mengusut Bank Century adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Agar perkara ini bisa dibikin jelas KPK harus segera menangkap dan menahan Menteri Keuangan Sri Mulyani dan bekas Gubernur BI Budiono. Toh bukti-bukti permulaan sudah cukup dari audit investigasi BPK.
RAIBNYA DEPOSITO BOEDI SAMPOERNA
Pada 30 Oktober 2008, BanK Century mengajukan bantuan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) sebesar Rp 1 triliun kepada Bank Indonesia, untuk mengatasi kesulitan likuiditas. Menurut Peraturan Bank Indonesia (PBI) 30 Oktober 2008, bank yang bisa memperoleh FPJP minimal harus memiliki Capital Adequacy Ratio (CAR) atau rasio kecukupan modal 8%. Peraturan itu cukup realistis, sebab pada waktu itu, menurut data Bank Indonesia per 30 September 2008, bank umum yang ada rata-rata memiliki CAR di antara 10,39% sampai 476,34%.
Ternyata satu-satunya bank yang memiliki CAR di bawah 8% adalah Bank Century, yang pada posisi 30 September 2008, memiliki CAR 2,35%. Jadi permohonan bantuan Bank Century sebenarnya harus ditolak karena melanggar peraturan. Tapi apa yang terjadi? Bank Indonesia melakukan rekayasa agar Bank Century bisa ditolong.
Pada 14 November 2008, Bank Indonesia mengganti peraturan: persyaratan CAR 8% diubah menjadi cukup hanya dengan CAR positif. Maka pada hari itu juga permohonan Bank Century disetujui dan Bank Indonesia memberikan FPJP sebesar Rp 502,07 milyar. Pada malam itu juga, pukul 20.43 Wib, sebagian besar dana itu cair, yaitu Rp 356,81 milyar. Sisanya, Rp 145,26 milyar cair tiga hari kemudian. Luar biasa. Hari itu peraturan diganti, hari itu FPJP Bank Century disetujui, dan hari itu juga dananya dicairkan.
Kemudian 18 November 2008, Bank Century mengajukan tambahan FPJP sebesar Rp 319,26, dan disetujui Bank Indonesia sebesar Rp 187,32. Dana itu dicairkan di hari yang sama. Sehingga keseluruhan FPJP yang diterima Bank Century dari Bank Indonesia berjumlah Rp 689 milyar.
Apa masalah? Ternyata ada segudang. CAR Bank Century yang 2,35% per 30 September 2008, sebulan kemudian, 31 Oktober 2008, anjlok menjadi negatif 3,53%. Artinya, ketika Bank Indonesia membuat rekayasa dengan mengubah persyaratan CAR dari 8% menjadi hanya CAR positif, 14 November 2008, dan dengan demikian pada hari itu juga permohonan FPJP Bank Century disetujui lalu dana dicairkan, sesungguhnya telah terjadi pelanggaran peraturan Bank Indonesia. Karena pada saat permohonan itu disetujui, 14 November 2008, CAR Bank Century sudah berada pada posisi negatif 3,53% (per 31 Oktober 2008, atau dua pekan sebelum keputusan diambil Bank Indonesia).
Selain itu, jaminan yang diberikan Bank Century hanya 83% dari plafon FPJP yang keseluruhannya bernilai Rp 689 milyar. Itu jelas melanggar peraturan Bank Indonesia nomor 10 tahun 2008, yang menyatakan nilai jaminan dalam bentuk aset kredit minimal 150% dari plafon FPJP.
Memang beginilah penanganan Bank Century: penuh pelanggaran peraturan dan rekayasa. Tampaknya, semua akal-akalan ini untuk memompa uang sebesar-besarnya ke dalam bank itu untuk menyelamatkan deposito para nasabah kakap yang memiliki relasi dengan pusat kekuasaan.
Berikut ini salah satu bukti konkret yang ditemukan BPK. Sejak 6 November 2008, Bank Century melalui keputusan Bank Indonesia telah ditetapkan sebagai bank dalam pengawasan khusus. Sesuai Peraturan Bank Indonesia (PBI) nomor 6 tahun 2004, kemudian diubah dengan PBI nomor 7 tahun 2005, bank dalam pengawasan khusus dilarang melakukan transaksi dengan pihak terkait atau pihak lain, kecuali atas persetujuan Bank Indonesia. Ternyata terhitung 6 November 2008 sampai Agustus 2009, terjadi penarikan dana oleh pihak terkait dari Bank Century sebesar Rp 938,65 milyar.
Bobolnya dana Bank Century sampai hampir Rp 1 triliun ini tentu harus dibikin jelas: siapa yang bertanggung-jawab secara hukum dan kemana saja duit itu mengalir? Betulkah sebagian untuk dana kampanye Pemilu sebuah partai politik dan kampanye pemilihan presiden satu pasangan calon?
Bobolnya dana Bank Century sampai hampir Rp 1 triliun ini tentu harus dibikin jelas: siapa yang bertanggung-jawab secara hukum dan kemana saja duit itu mengalir? Betulkah sebagian untuk dana kampanye Pemilu sebuah partai politik dan kampanye pemilihan presiden satu pasangan calon?
Ada lagi cerita lain yang menarik. Pada 14 November 2008, Boedi Sampoerna, pengusaha dan salah satu bekas pemilik pabrik rokok Sampoerna, memindahkan depositonya sebesar US$ 96 juita (sekitar Rp 850 milyar) dari Bank Century Cabang Surabaya Kertajaya ke Kantor Pusat Operasional Senayan, Jakarta. Sehari kemudian, 15 November 2008, Dewi Tantular, Kepala Divisi Bank Notes (uang kertas asing) Bank Century dan Robert Tantular, salah satu pemilik dan pemegang saham pengendali Bank Century, mencairkan deposito Boedi Sampoerna itu sebesar US$ 18 juta (sekitar Rp 160 milyar).
Kenapa bisa? Menurut pengakuan Robert Tantular (kini dalam penjara) kepada pewawancara BPK, dia dan Dewi Tantular meminjam dana itu dari Boedi Sampoerna. Sebagai bukti peminjaman, 14 November 2008, Robert Tantular dan Dewi Tantular telah membuat surat pernyataan utang sebesar US$ 18 juta kepada Boedi Sampoerna. Tapi Boedi Sampoerna membantah meminjamkan uangnya.
Dana itu digunakan Dewi Tantular untuk menutupi kekurangan bank notes di Bank Century. Selama ini, rupanya Dewi Tantular sering menjual uang kertas asing ke luar negeri dan hasilnya ia gunakan untuk keperluan pribadi. Sampai di sini masalah yang ada antara Boedi Sampoerna dengan Dewi Tantular dan Robert Tantular.
Namun ternyata setelah Bank Century ditalangi (bail-out) oleh pemerintah, deposito US$ 18 juta yang dipakai Dewi Tantular itu diganti dengan suntikan dana dari LPS (Lembaga Penjamin Simpanan) alias dengan uang negara. Kasus dana US$ 18 juta ini sempat mencuat ke permukaan ketika terjadi heboh Mabes Polri dan Kejaksaan Agung lawan KPK.
Pada 7 April dan 17 April 2009, Kabareskrim Polri Komjen Susno Duadji mengirim surat kepada manajemen Bank Century menyatakan bahwa deposito milik Boedi Sampoerna itu tak ada masalah. Padahal sebelumnya, Boedi (lewat pengacara) telah melaporkan Dewi Tantular dan Robert Tantular menggelapkan depositonya. Dan ketika Komjen Susno Duadji mengirimkan dua suratnya kepada manajemen Bank Century, deposito Boedi Sampoerna itu masih belum beres. Deposito itu baru diganti oleh duit dari LPS pada 29 Mei 2009, atau sebulan setelah surat Susno Duadji diterbitkan.
Belum jelas apa yang terjadi di balik semua ini. Tapi dua hari setelah deposito Boedi Sampoerna dipindahkan ke Jakarta, 16 November 2008, atas perintah Robert Tantular, sejumlah US$ 42,80 juta dari deposito itu dipecah-pecah menjadi 247 NCD (Negotiable Certificate Deposit), dengan nilai nominal masing-masing Rp 2 milyar. NCD itu menggunakan nominee atas nama KTP para pelamar karyawan Bank Century, dan diserahkan kepada Boedi Sampoerna pada 16 November 2008.
Tindakan ini jelas untuk mengelabui pemerintah. Dengan pemecahan deposito itu menjadi NCD bernilai Rp 2 milyar, maka bila Bank Century ambruk, deposito yang sudah dipecah-pecah menjadi Rp 2 milyar itu sepenuhnya dijamin dan diganti oleh pemerintah (LPS ).
Dari keterangan Robert Tantular tadi, agaknya bisa dibaca ada semacam kesepakatan antara Boedi Sampoerna dengan Robert dan Dewi Tantular untuk menyelamatkan depositonya di bank yang sedang karam itu. Tampaknya utang US$ 18 juta pada Dewi Tantular, pemecahan deposito jadi Rp 2 milyar, dan pemindahan deposito dari Surabaya ke Jakarta, saling berhubungan, dan itu relevan dengan kesepakatan menyelamatkan deposito itu bila Bank Century ambruk.
Tapi mungkin ada cara penyelamatan lain yang lebih menarik bagi Boedi Sampoerna sehingga semuanya menjadi batal. Nyatanya, setelah sebulan berada di tangannya, 17 Desember 2008, Boedi Sampoerna mengembalikan 247 NCD itu kepada Bank Century dan menyatakan tak pernah menyetujui depositonya dipecah-pecah seperti itu. Memang akhirnya deposito Boedi Sampoerna termasuk yang bisa diselamatkan, tapi bukan dengan cara memecahnya menjadi Rp 2 milyar seperti dimaksud oleh Robert Tantular. Melainkan melalui pembayaran oleh dana yang berasal dari talangan negara (LPS).
Bila disimak hasil investigasi BPK, penyelamatan Bank Century adalah kisah dari suatu pelanggaran ke pelanggaran yang lain. Orang-orang yang bertanggung-jawab dalam soal itu sangat jelas harus dibawa ke pengadilan untuk mempertanggung-jawabkan perbuatannya. Kalau Gubernur Bank Indonesia Burhanuddin Abdullah harus meringkuk di penjara bertahun-tahun cuma karena soal dana yayasan Bank Indonesia Rp 100 milyar (tanpa sepeser pun terbukti dinikmatinya), dengan berbagai pelanggaran Peraturan BI yang ditemukan BPK dan melibatkan dana sampai Rp 6,7 triliun dalam kasus Bank Century, bagaimana dengan Gubernur BI Budiono dan Menteri Keuangan Sri Mulyani? Atau bagaimana pula atasan mereka, Presiden SBY?
Dalam soal ini bisa dilihat proses bail-out bank ini oleh pemerintah. Ternyata sekali pun sudah mendapat fasilitas FPJP dari Bank Indonesia, penyakit Bank Century bertambah parah. Akhirnya, Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia menetapkan Bank Century sebagai bank gagal yang ditenggarai berdampak sistemik. Keputusan itu disampaikan melalui surat kepada Menteri Keuangan selaku Ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), 20 November 2008.
Lalu dinihari, 21 November 2008, KSSK dipimpin Sri Mulyani, mengadakan rapat , dihadiri oleh Gubernur BI Budiono (yang juga anggota KSSK), dan Dirut Bank Mandiri Agus Martowardoyo. Persisnya rapat berlangsung mulai pukul 00.11 sampai 05.00 WIB, diawali dengan presentasi Bank Century oleh Bank Indonesia.
Berdasarkan notulen yang ada diketahui bahwa rapat itu tak bisa menerima argumen Bank Indonesia tentang dampak sistemik yang diakibatkan oleh Bank Century. Kemudian sejak pukul 04.25 sampai pukul 06.00 pagi dilakukan rapat KSSK khusus yang dihadiri hanya oleh tiga orang: Menteri Keuangan Sri Mulyani selaku Ketua KSSK, Raden Pardede sebagai Sekretaris KSSK, dan Gubernur Bank Indonesia Budiono selaku anggota KSSK. Rapat ini pun kabarnya tetap tak bisa membuat keputusan sampai Sri Mulyani menelepon Presiden ke Brasil.
Rapat kemudian memutuskan Bank Century sebagai bank gagal berdampat sistemik dan pengelolaan bank itu selanjutnya diserahkan kepada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Dari audit yang dilakukan BPK diketahui bahwa rapat itu tak mendapat informasi yang utuh dari Bank Indonesia.
Sebagai bukti, surat Gubernur Bank Indonesia nomor 10, tertanggal 20 November 2008, menyebutkan bahwa untuk menaikkan CAR Bank Century dari negatif 3,53% menjadi 8%, dibutuhkan tambahan modal Rp 632 milyar. Surat ini menjadi acuan ketika rapat pagi 21 November 2008 memutuskan status gagal Bank Century.
Ternyata dalam rapat LPS, 23 November 2008, untuk menetapkan biaya penanganan Bank Century, Bank Indonesia menyebutkan angka tadi melonjak menjadi Rp 2,6 triliun. Berdasar angka Bank Indonesia itu, rapat LPS memutuskan dana untuk menangani Bank Century mencapai Rp 2,77 triliun. Perubahan angka itu oleh Bank Indonesia menyebabkan dalam rapat KSSK, 24 Novem ber 2008, Ketua KSSK Sri Mulyani sempat mempertanyakan kemampuan Bank Indonesia membuat penilaian. Kalau penilaian Bank Indonesia diragukan, menurut Sri Mulyani, secara fundamental akan berpengaruh terhadap evaluasi kemampuan KSSK melakukan penilaian risiko sistemik.
Dari pemeriksaan oleh BPK diketahui bahwa Bank Indonesia memang tak memberikan informasi yang sesungguhnya, lengkap, dan mutakhir tentang kondisi Bank Century kepada KSSK. Informasi yang disembunyikan itu, misalnya, ialah tentang PPAP (Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif) terhadap surat-surat berharga valuta asing yang dimiliki Bank Century. Dengan kata lain, surat-surat berharga yang dimiliki Bank Century ternyata bodong sehingga tak ada nilainya, tapi oleh laporan Bank Indonesia masih diberi nilai. Belakangan setelah Bank Century ditangani LPS, barulah semua informasi itu dikeluarkan sehingga biaya yang harus disediakan LPS terus melonjak, dan akhirnya mencapai Rp 6,7 triliun. Jumlah itu mencapai 10 kali usulan semula Bank Indonesia yang hanya Rp 632 milyar.
Sekarang, isu Bank Century menjadi sentral dalam politik Indonesia. Riuh-rendah pertarungan antara Polri, Kejaksaan Agung, dengan KPK, agaknya erat kaitannya dengan kasus Bank Century, yaitu setelah KPK berencana mengusut kasus Bank Century (bersamaan dengan pengusutan kasus IT Komisi Pemilihan Umum).
Setelah hasil audit investigasi BPK itu dilaporkan ke DPR, Partai Demokrat sebagai pendukung utama Presiden SBY, tiba-tiba menjadi pendukung hak angket yang sedang bergulir kencang di DPR. Dengan langkah itu Partai Demokrat berupaya menyelamatkan Presiden SBY, dengan melepaskan Wakil Presiden Budiono dan Menkeu Sri Mulyani hanyut diseret arus gelombang Century. Apalagi menurut kabar yang beredar keras mulai Desember ini, Bank Century akan menjadi isu utama para demonstran di jalan-jalan.
Dan bisik-bisik terdengar bahwa Menko Perekonomian Hatta Rajasa serta Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie kini bersiap-siapkan untuk menggantikan Budiono sebagai Wakil Presiden. Tentang hasrat Hatta Rajasa untuk menggantikan Budiono bisa terbaca dari gebrakan politisi senior PAN, Amien Rais yang gencar menuntut agar Budiono dan Sri Mulyani mundur dari jabatannya. [AA/SI]