Jakarta (voa-islam.com) - KH Salahuddin Wahid (Gus Sholah) menegaskan kesiapannya menjadi calon Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Penegasan itu dikemukakan Gus Sholah saat menjadi pembicara diskusi Reboan di Jakarta, (9/12).
Adik kandung Gus Dur itu menyatakan, kesiapannya bukan karena ia berambisi terhadap jabatan Ketua Umum PBNU, melainkan karena permintaan dan dukungan para kiai di Jawa Timur.
"Beberapa kiai mendukung saya," kata Gus Sholah seraya menjelaskan para kiai itu memberi dukungan karena menilai dirinya mudah menerima nasihat.
Pengasuh Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang berusia 67 tahun itu didukung oleh para kiyai NU karena dinilai sangat pantas lantaran figurnya yang tidak kontraversial dan gampang ‘dituturi’ atau dinasehati.
“Beberapa kiai mendukung saja, saya tanya alasannya, karena njenengan (anda) gampang dituturi,” kata Gus Sholah menirukan dukungan para kiyai.
Sejauh ini, Gus Sholah memang satu-satunya figur yang tidak pernah menimbulkan kontroversi di internal NU seperti calon lainnya yang kental dikenal dekat dengan kelompok liberal maupun kelompok syiah.
...ia didukung oleh para kiyai NU karena dinilai sangat pantas lantaran figurnya yang tidak kontraversial dan gampang ‘dituturi’ atau dinasehati...
Untuk menyosialisasikan visi dan misinya tentang NU ke depan, Gus Sholah bersama sejumlah kandidat lainnya, yaitu Slamet Effendy Yusuf dan Masdar Farid Masudi, telah berkeliling ke delapan wilayah di Indonesia.
“Ini untuk menghemat waktu wilayah dan cabang dan untuk mendapatkan masukan-masukan dari mereka tentang NU ke depan,” tandasnya.
Sebagai figur yang tidak pernah menimbulkan kontroversi, para kiyai NU yang mendukungnya berharap agar Gus Sholah terpilih sebagai ketua umum menggantikan posisi KH Hasyim Muzadi pada Muktamar ke-32 NU pada Muktamar ke-32 NU di Makassar, tanggal 22-27 Maret 2010.
Jauhkan NU dari Politik Praktis, Jangan hidup dari NU tetapi hidupilah NU
Dalam pemaparan misi dan visinya, KH Sholahuddin Wahid menginginkan NU menjauhi ranah politik praktis dan memerankan kembali sebagai pemimpin gerakan masyarakat sipil.
“Peran politik praktis harus diakhiri karena posisi NU di atas partai politik. NU harus menjadi unsur utama masyarakat sipil sebagaimana tahun 1990-an,” katanya dalam diskusi Reboan di Jakarta, (9/12).
Muktamar NU tahun 2010 mendatang ini menurutnya menjadi tonggak penting bagi perubahan arah NU. Ia membagi NU menjadi beberapa periode penting, kelahiran pada tahun 1926, peran perjuangan kemerdekaan tahun 1945, menjadi partai politik tahun 1952, bergabung dengan PPP tahun 1973, menerima Pancasila dan khittah pada tahun 1984, pemimpin masyarakat sipil periode 1990-an, reformasi 1998 dengan mendirikan PKB.
Kita tidak boleh memanfaatkan NU, baik yang politik maupun non politik. Jangan hidup dari NU, tetapi hidupilah NU...
Setelah reformasi, terdapat keyakinan kuat bahwa NU harus terjun dalam politik praktis, apalagi setelah terpilihnya Gus Dur sebagai presiden, tetapi banyak kegagalan yang dialami sehingga politik NU ke depan adalah politik kebangsaan.
Ditanya mengenai batasan dari politik praktis, Gus Sholah menjelaskan beberapa aturan, di antaranya pertama, jika ada ketua NU maju dalam kancah politik, harus mundur sebagaimana yang dilakukannya dalam pilpres tahun 2004 dan tidak menggunakan institusi NU untuk kepentingan politik praktis ini.
“Kita tidak boleh memanfaatkan NU, baik yang politik maupun non politik. Jangan hidup dari NU, tetapi hidupilah NU,” imbuhnya.
Peluang Gus Sholah untuk menjadi Ketua Umum PBNU memang sangat besar. Di samping figurnya yang tidak kontroversial dan tidak neko-neko di internal nahdliyin, Gus Sholah juga sangat di hati umat.
Gus Sholah sangat dikenal oleh warga nahdliyin karena beliau adalah cucunya ulama besar Hadratussyaikh KH Hasyim Asyari dan anak dari KH Wahid Hasyim seorang pahlawan nasional, ia juga adik dari mantan presiden Abdurrahman Wahid atau biasa dipanggil Gus Dur.
Gus Sholah adalah sosok yang sejuk dan mencintai umatnya. Gus Sholah mencintai NU bukan karena dilahirkan sebagai cucu sang pendiri, tapi lebih daripada itu, mencintai Nahdliyyin adalah bagian daripada mencintai bangsa ini. [taz/ant]