Nama lengkapnya, Wine Dwi Mandela. Perempuan berusia 27 tahun ini harus menerima kenyataan pahit kehilangan pekerjaan, demi mempertahankan jilbab yang ia yakini sebagai bentuk keimanan pada agamanya.
Wine yang telah bekerja sebagai tenaga Fisioterapi sejak tahun 2004 di RS Mitra Keluarga Bekasi Barat ini dicampakkan begitu saja oleh pihak rumah sakit dengan dalih yang dicari-cari. Padahal selama empat tahun bekerja di rumah sakit swasta tersebut, ia mengaku tak pernah melakukan pelanggaran yang merugikan perusahaan.
Awalnya, Wine memang bersikap seperti karyawati RS Mitra pada lainnya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa RS Mitra Keluarga manapun memang memberlakukan larangan berjilbab bagi karyawatinya. Bila ada di antara mereka karyawati yang berjilbab maka mau tidak mau mereka harus melepas jilbab setibanya di rumah sakit.
Wine pun melakukan hal sama ketika ia berjilbab di tahun 2005. Selama tiga tahun ia bongkar pasang jilbab; berangkat memakai jilbab, tiba di RS buka jilbab, lalu pulang kembali mengenakan jilbab. Selama tiga tahun, meski resah kerap menghantui batinnya, ia masih bertahan dengan cara tersebut dengan pembenaran bahwa pekerjaan yang dilakukannya pun adalah bentuk ibadah.
Namun, petunjuk Allah mulai menerangi hati gadis kelahiran Jakarta, 27 November 1982 ini manakala pertengahan bulan April 2008 ia melakukan umrah. Dalam perjalanan umrah yang dipimpin oleh Ustadz Abu Jibril tersebut ia dinasehati oleh istri sang ustadz. Ia menanyakan kepada Wine mengapa masih bertahan dengan pekerjaan yang jelas-jelas menghalanginya menjalankan syariat Islam.
“Ketika itu istri Ustadz bertanya kepada saya, bagaimana bila ajal datang menjemput, sementara saya sedang dalam keadaan tidak berjilbab,” kenang Wine kepada hidayatullah.
Pertanyaan itulah yang menghantam kesadarannya dan membuat batinnya tak mampu lagi berkompromi dengan cara berjilbab yang telah dilakukannya selama tiga tahun belakangan.
Tekanan Manajemen
Berbekal kesadarannya itulah, Wine bertekad untuk mengenakan jilbab ketika kembali masuk kerja pada tanggal 21 April 2008. Ia mengaku tak ada seorang teman pun yang sempat ia ajak untuk mengikuti langkahnya. Semua yang dilakukannya benar-benar bertolak dari kesadaran dan spontanitas. Saat itu, ia masuk pukul 8 pagi. Ia keluar dari loker tempat berganti pakaian karyawan, menggunakan jilbab dan manset, lengkap dengan seragam kerja harian yang diwajibkan perusahaan. Jilbab yang dikenakannya ketika itu pun berwarna hitam, senada dengan rambut agar tak terlalu menarik perhatian.
Seketika seluruh mata tertuju kepadanya. Semua orang memandangnya dengan keheranan dan pihak rumah sakit kontan “gerah” melihat ulah Wine. Wine pun segera ditegur oleh Koordinator Rehabilitasi Medik, bagian dimana Wine menunaikan tugasnya selama ini. Ibu Suparmi, sang Koordinator, mengecam tindakan Wine dan menegaskan larangan bagi karyawati untuk berjilbab saat menjalankan tugas.
Wine tak bergeming dan sikap Wine membuat Manajer HRD RS Mitra Bekasi Barat, drg. Elisabeth Setyodewi, MM turun tangan. Wine segera dihadapkan pada tuntutan untuk segera mengajukan pengunduran diri bila tetap bertahan menggunakan jilbab di RS. Pihak RS tidak ingin melakukan pemecatan karena menurut pihak rumah sakit semua karyawan yang ingin melakukan pemutusan hubungan kerja pun membuat surat pengunduran diri. Belakangan, oleh Tim Pembela Muslim, hal ini diduga sebagai upaya manajemen RS berkelit dari kewajiban membayar pesangon bagi karyawan yang di-PHK.
Didesak dan ditekan sedemikian rupa oleh pihak manajemen, Wine akhirnya bersedia membuat surat pengunduran diri dengan alasan tidak boleh menggunakan jilbab.
Namun, alasan itupun tidak disetujui oleh pihak manajemen karena terkesan ekstrim. Ia disarankan untuk membuat surat pengunduran diri tanpa alasan. Tentu saja Wine menolak membuat surat tersebut karena memang alasannya mengundurkan diri karena larangan berjilbab. Namun, pihak manajemen tetap pada sikapnya. Akhirnya tanpa ada keputusan apapun, Wine meninggalkan RS pukul 9.15 pagi setelah dipaksa menyerahkan kartu pegawai, kartu HMO (Kartu Berobat), dan kunci loker.
Beberapa hari kemudian, ia ditelepon oleh pihak RS untuk datang mengurus masalah administrasi. Pada tanggal 25 April 2008, Wine pun datang menjawab panggilan tersebut dan meminta surat pemecatan dengan alasan larangan menggunakan jilbab. Permintaan tersebut dijawab dengan ancaman blacklist dari Setyodewi, supaya tidak ada satu rumah sakit pun di Jakarta dan sekitarnya yang akan menerima Wine bekerja. Pertemuan ini lagi-lagi tidak membuahkan hasil.
Waktu berlanjut hingga sepekan. Yang datang kepada Wine justru surat Panggilan I dan II yang isinya meminta Wine untuk kembali bekerja tetapi tetap dilarang menggunakan jilbab. Sebagai seorang muslimah sejati, tentu saja ia menolak panggilan tersebut. Hingga akhirnya datanglah surat panggilan III yang menyatakan pemecatan karena Wine telah mangkir dari pekerjaannya.
Proses Hukum
Melihat tidak adanya niat baik dari pihak RS, Wine pun menempuh jalur hukum dengan mengajukan permasalahan ini ke Tim Pembela Muslim (TPM). Selama proses hukum berjalan pun nampak pihak RS tidak sedikitpun berusaha mencapai kesepakatan yang terbaik. Bahkan pihak pengacara RS yang menghubungi Wine pun terkesan menakut-nakuti serta meminta Wine untuk mundur saja dari kasus ini. Namun, dara lulusan Akademi Fisioterapi UKI (Universitas Kristen Indonesia) ini tak ciut nyali.
Ia tetap maju berjuang, membela haknya dan hak kaum muslimah lainnya untuk mengenakan jilbab. Walau menurut pengakuannya, tak seorang pun dari teman-teman sekerjanya yang berani memberikan kesaksian untuk proses hukum, meski mereka juga jilbaber yang mengalami nasib yang sama.
“Awalnya mereka menyatakan dukungannya tetapi ternyata mereka kemudian memilih diam,” ujar Wine menyesalkan.
Perundingan demi perundingan hukum dilalui Wine, mulai perundingan Bipartit yang dilakukan antara pihak kuasa hukum RS Mitra Keluarga Bekasi dengan TPM hingga perundingan Tripartit yang melibatkan Dinas Tenaga Kerja Bekasi. Perundingan tingkat Tripartit ini terpaksa ditempuh karena dalam tempo 30 hari tidak tercapai titik temu antara TPM dengan kuasa hukum RS. Masalah ini pun telah sampai di tangan DPRD Bekasi.
Selama proses hukum berjalan, ada tawaran dari pihak RS pada Wine untuk kembali bekerja. Namun, posisi yang ditawarkan justru semakin menambah kekecewaan Wine. Ia ditawarkan untuk bekerja di salah satu perusahaaan yang masih satu grup dengan RS Mitra Keluarga, yaitu PT Estetika Interpresindo yang menyediakan kebutuhan rumah sakit dengan posisi di bagian administrasi. Ini jelas melecehkan profesionalisme Wine yang selama empat tahun menjadi tenaga fisioterapi. Meski ia dijamin boleh mengenakan jilbab tetapi Wine bersikeras menolak tawaran tersebut karena ia tahu, hal itu tidak berlaku pada karyawati lainnya.
Dapat Dukungan
Di tengah beban masalah dan tekanan itulah Wine terkadang merasakan ketakutan dan kegelisahan yang panjang. Ia merasa jalan yang harus ditapakinya begitu terjal dan masalahnya tak kunjung selesai. Di saat itulah ia merasakan kekuatan yang begitu dahsyat datang dari Allah SWT dan keluarga hingga ia tetap berdiri menantang tekanan dan cibiran yang datang dari berbagai pihak. Yang tak masuk diakal, cibiran justru datang dari kaum Muslim sendiri.
“Yang paling menyakitkan adalah cibiran yang datang dari sesama Muslim,” ungkapnya.
Namun ia tak ingin bernasib sama seperti seorang temannya yang memilih keluar dari RS karena berjilbab tanpa memperjuangkan haknya. Wine bertekad untuk terus berjuang melawan kezaliman itu.
Jalan panjang yang ditempuh Wine dengan kesabaran dan keberanian memang tak akan disia-siakan oleh Allah SWT. Dukungan dari berbagai pihak, terutama dari Ormas Islam seperti FPI dan Forum Peduli Jilbab, datang membanjiri. Bahkan Forum Peduli Jilbab menggelar unjuk rasa di depan RS Mitra Keluarga Bekasi dengan kekuatan 500 orang. Menyusul kemudian pernyataan Walikota Bekasi, Mochtar Mohamad yang akan memeriksa kembali izin usaha perusahaan di Kota Bekasi yang diketahui melarang karyawati atau pekerjanya menggunakan jilbab. Mochtar mengaku tidak segan mencabut izin usaha, apabila perusahaan membuat peraturan diskriminatif terhadap pekerjanya.
Izin bagi karyawati menggunakan jilbab di RS Mitra Keluarga Bekasi Barat kemudian keluar pasca Idul Fitri 1429, lalu menyusul akan diberlakukan di seluruh RS Mitra Keluarga di tempat lain mulai Januari 2009. Hak-hak Wine berupa gaji yang tidak dibayar selama tujuh bulan dan pesangon pun telah dilunasi pihak RS.
Untuk mencegah kasus-kasus diskriminasi terhadap keyakinan beragama seperti ini, Win berharap kaum Muslim cepat tanggap dan kompak.
“Masih banyak umat yang belum paham jilbab yang memenuhi syariat. Ini menyebabkan pandangan umat terhadap kasus ini sangat beragam,” katanya kepada www.hidayatullah.com. Herannya, di negeri di mana kaum Muslim mayoritas. Diskriminasi seperti ini terus berlanjut. [syafaat/Sahid/hidayatullah]