JAKARTA (voa-islam.com) – Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Wakil Presiden Boediono boleh bernafas lega sejenak, ketika seluruh perhatian bangsa beberapa hari ini tersedot dalam masa berkabung pasca meninggalnya Gus Dur 30 Desember 2009. Tapi jangan lupa, rakyat terus memantau kinerja 100 hari SBY-Booediono, apakah sesuai dengan target maupun janji-janji semasa kampanye berslogan “Lanjutkan!” beberapa bulan lalu. Suasana politik akan memanas lagi tepat pada hari ke-100 setelah SBY-Boediono menduduki singgasana tertinggi RI.
Rencananya, aksi besar-besaran yang bakal digelar elemen pemuda, mahasiswa dan masyarakat yang tergabung dalam Petisi 28, pada tanggal 28 Januari 2010 nanti. Aksi itu bukan asal-asalan. Setidaknya ada empat alasan prinsipil dari gerakan massa yang menuntut Pemerintahan SBY-Boediono mundur karana gagal memperbaiki kondisi bangsa dalam 100 hari pemerintahannya.
Menurut salah satu deklarator Petisi 28, Haris Rusly, Bangsa Indonesia saat ini dihadapkan pada empat krisis yang serius.
..ada empat alasan prinsipil dari gerakan massa yang menuntut Pemerintahan SBY-Boediono mundur karana gagal memperbaiki kondisi bangsa dalam 100 hari pemerintahannya...
Pertama, krisis kebangsaan. “Harga diri Indonesia hilang karena terjajah oleh bangsa asing. Bangsa Indonesia dan kekayaannya menjadi sesajen dari penjajah yang tak hanya dari barat tapi juga timur,” ungkap Haris.
Kedua, krisis kenegaraan karena saat ini Indonesia tidak hanya mengalami kritis politik, namun krisis kenegaraan akibat amendemen UUD 1945. Terjadi benturan antarlembaga negara, terutama di lembaga penegak hukum, seperti kasus Polri-KPK atau BI dengan BPK terkait dana penyelamatan Bank Century.
Ketiga, krisis kesejahteraan. Saat ini rakyat semakin terjepit adalah fakta, sedangkan para pejabat negara semakin tidak bermoral dan tidak peka dengan penderitaan rakyat. “Bukannya memikirkan nasib rakyat, pejabat justru disibukkan dengan mobil dinas seharga Rp1,3 miliar,” beber Haris.
Keempat, krisis moral. Para pejabat negara malah terlibat dalam praktek korupsi, bukannya aktif menggiatkan gerakan antikorupsi dan antikemapanan. Pejabat negara tidak memberikan contoh yang baik bagi rakyat.
“Pejabat kita pada sakit jiwa, tak peka terhadap penderitaan masyarakat. Krisis ini sudah pada titik nadir terhadap moral pejabat,” tandas dia.
Menghadapi situasi krisis yang kian kritis itu, maka gerakan massa dari elemen masyarakat yang prihatin dan khawatir terhadap nasib bangsa menuntut SBY-Boediono agar mundur.
“Kami yang mengevaluasi 100 hari Pemerintahan SBY-Boediono, tidak hanya menuntut pergantian kepemimpinan nasional, tapi mengganti sistem yang selama ini sudah menyengsarakan rakyat,” kata Haris.
Anggota DPR Mendukung
Rencana demo besar-besaran mendesak pemerintahan SBY-Boediono untuk mundur mengundang pro dan kontra dari sejumlah anggota DPR.
Anggota DPR dari Fraksi Hanura Akbar Faizal menyambut baik rencana besar-besaran tersebut. Setiap rakyat Indonesia, menurut dia, bebas menyampaikan pendapat dan itu merupakan risiko demokrasi.
“Kita tidak bisa melarang orang untuk berdemo di negara demokrasi, yang penting tidak ribut dan anarkis,” katanya, Senin (4/1/2010).
Menurut Akbar, SBY-Boediono tidak melakukan sesuatu yang berarti untuk Indonesia dalam masa 100 hari pemerintahan mereka.
“Mereka tidak tercapai targetnya, tapi tidak bisa dikasih punishment juga,” paparnya.
Akbar juga menilai pemerintahan SBY tidak efektif. [taz/okz]