Jakarta (voa-islam.com) - Pada hari Minggu (31/1) kemarin Nahdlatul Ulama (NU) genap berusia 84 tahun. Di usia yang matang ini, bukan berarti perjalanan NU melenggang mulus. Segenap persoalan menghadap dan masih menjadi pekerjaan rumah bahkan ke depan masalah berat siap menghadang.
Salah satunya, relasi NU dengan partai politik seiring desakan agar partai Islam terbesar itu tidak hanya diklaim milik PKB. Gagasan kembali ke khittah saat awal berdiri NU, selalu menggema di setiap event politik, baik politik lokal maupun nasional. Gagasan ini menemukan momentum besarnya saat Muktamar 1984 di Situbondo, Jawa Timur.
Kini, gagasan serupa kembali mengemuka seiring perkembangan iklim politik mutakhir. Setidaknya suara tersebut terangkum dari politisi ‘berdarah’ NU yang tersebar di sejumlah partai non PKB seperti AS Hikam (Partai Hanura) Khatibul Umam Wiranu (Partai Demokrat) dan Mukhamad Misbakhun (PKS).
...Para elite NU saat ini sudah overdosis dalam keterlibatan politik praktis sehingga kehilangan momentum dalam pengembangan warga nahdliyyin,” ujarnya di Jakarta...
Seperti harapan politisi dari Partai Hanura AS Hikam yang berharap agar NU dan elitnya serius menjalankan komitmen Khittah 1926. “Para elite NU saat ini sudah overdosis dalam keterlibatan politik praktis sehingga kehilangan momentum dalam pengembangan warga nahdliyyin,” ujarnya di Jakarta, Minggu (31/1).
Menurut dia, semestinya, dengan tersebarnya kader NU di berbagai partai politik menjadi modal bagi NU untuk memanfaatkan para kadernya yang terlibat di politik praktis.
Hanya saja, mantan Menteri Riset dan Teknologi era Presiden Abdurrahman Wahid ini mengingatkan perlu manajemen yang bagus atas situasi ini. “Ini memerlukan kapasitas manajemen yang tinggi sehingga tidak terjadi pemborosan energi dan pemihakan yang tidak produktif terhada parpol tertentu,” ujarnya.
Ia pun mengusulkan, agar dibentuknya divisi politik di struktur NU tepatnya di jajaran Syuriyah (pengawas) bukan di Tanfidziyah (pengurus pelaksana) yang bertugas mengawasi dan membuat kebijakan relasi dengan partai politik.
“Dengan demikian, NU akan bisa optimal memanfaatkan warganya yang ada di parpol, dan menghindari pemanfaatan oleh pribadi-pribadi di pengurus Tanfidziyah,” kritiknya.
Sementara politisi dari Partai Demokrat Khatibul Umam Wiranu berharap agar NU mampu berpolitik tanpa harus berpolitik praktis serta berpolitik tanpa panggung politik. “Artinya, NU harus mampu menempatkan sikap politiknya dalam kerangka kebaikan, kemaslahatan, dan kemajuan bangsa,” ujar Umam yang juga anggota Komisi II DPR.
Menurut salah satu kandidat Ketua Umum GP-Ansor ini, NU harus bisa menjadi lokomotif gerakan kemandirian bangsa, di tengah-tengah pertarungan pengaruh global yang sedang berebut dominasi dalam aspek sosial budaya, politik, ekonomi. “NU harus menciptakan ruang bagi gerakan ekonomi, politik, dan kebudayaan berbasis nasionalistik,” harapnya.
Lebih khusus bekas politisi PKB ini menegaskan, sebagai ormas keagamaan Islam yang asli pribumi, NU harus bisa menjadi penyaring masuknya paham-paham keagamaan trans nasional yang selama sepuluh tahun terakhir juga sedang menggerus Islam kultural di Indonesia. “NU harus menjadi filter atas paham keagamaan trans-nasional,” cetusnya.
Sementara menurut politisi PKS berdarah NU Mukhamad Misbakhun berharap agar NU menjadi organisasi yang mengayomi semua warga NU dimanapun berada dan apapun afialiasi dan aliran politik.
“Sehingga makin memperkuat akar NU di masyarakat sebagai organisasi keagamaan yang tidak ke mana-mana tapi berada di mana-mana,” harap Misbakhun yang juga tercatat sebagai anggota Pansus Angket Century DPR ini.
Politisi asal Pasuruan, Jawa Timur ini menegaskan kekuatan NU sebagai organisasi keagamaan harus teguh memegang prinsip untuk tidak berpolitik sesuai Khittah 1926. Menurut dia, netralitas NU akan memperkuat kebangsaan Indonesia.
“Karena sejarah bangsa Indonesia sudah mencatat bahwa NU selalu hadir mewarnai setiap peristiwa besar sejarah bangsa Indonesia dan NU selalui memberikan kontribusinya dan memberikan jalan keluar disetiap permasalahan bangsa,” jelasnya.
IPNU Godok Halal-Haram Pemakzulan
Sementara itu, isu seputar pemakzulan belakangan begitu marak diperbincangkan ditengah kesimpulan sementara hasil Pansus Angket Century. Namun, halal atau haram kah pemakzulan?. IPNU tertarik menggodoknya.
Demikian wacana yang sedang mengemuka dalam rapat kerja nasional Majelis Alumni IPNU di Jakarta, 31 Januari-1 Februari. Ketua Majelis Alumni IPNU Hilmi Muhammadiyah menjelaskan, materi yang akan dibahas dalam komisi diniyah ini sifatnya hanya akan menjadi rekomendasi dalam muktamar, bukan bersifat fatwa.
...Model ahlul halli wal aqdi pernah digunakan saat muktamar NU di Situbondo tahun 1984 yang menempatkan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjadi ketua umum menggantikan KH Idham Cholid...
Karena lembaganya tidak dalam posisi untuk berfatwa. "Ini merupakan persoalan lama, kita inginnya melihat dari sudut pandang agama," tuturnya, Minggu (31/1) di Jakarta.
Beberapa isu lain yang dibahas semuanya terkait dengan materi kemuktamaran NU. Seperti konsep ahlul halli wal aqdi (atau pemilihan ketua umum tanfidziyah NU melalui penunjukan syuriyah NU), dan masalah money politic. Hilmi juga sepakat tentang perlunya memperkuat posisi syuriyah NU sebagaimana yang saat ini banyak didiskusikan.
Hasyim Tak Permasalahkan Cara Pemilihan Ketum PBNU
Selain pembahasan halal-haram pemakzulan, saat membuka Rapat Kerja Nasional (Rakernas) I Majelis Alumni IPNU di Jakarta, Minggu. Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi menyatakan tidak mempersoalkan cara pemilihan ketua umum PBNU pada muktamar NU mendatang, apakah dipilih langsung atau ditunjuk jajaran syuriah yang dikenal dengan istilah "ahlul halli wal aqdi".
"Silakan pilih apa saja, tapi di belakang itu harus ada yang memikirkannya," kata Hasyim
Hanya saja, lanjut Hasyim, jika yang diinginkan adalah model ahlul halli wal aqdi, maka perlu pengkondisian terlebih dulu agar tidak ditolak pengurus wilayah dan cabang yang merasa haknya terampas.
Selama ini ketua umum PBNU dipilih secara langsung oleh pengurus wilayah dan cabang yang memiliki hak suara dalam muktamar. Model ahlul halli wal aqdi pernah digunakan saat muktamar NU di Situbondo tahun 1984 yang menempatkan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjadi ketua umum menggantikan KH Idham Cholid.
Menurut Hasyim, saat itu model ahlul halii wal aqdi memang telah dikondisikan, yakni telah diputuskan sebelumnya di dalam Musyawarah Nasional Alim Ulama pada 1983, termasuk sejumlah kiai yang diberi wewenang untuk memilih ketua umum PBNU.
"Kalau sekarang diterapkan, siapa kiai yang akan memilih, bisa ribut sendiri," kata Hasyim yang dalam muktamar mendatang akan mengakhiri periode kedua kepemimpinannya sebagai ketua umum PBNU tersebut.
Menjelang Muktamar ke-32 NU di Makassar, 22-27 Maret 2010, wacana penggunaan model ahlul halli wal aqdi untuk memilih ketua umum PBNU kembali mengemuka. Salah satu pengusungnya adalah Majelis Alumni IPNU.
Menurut Sekjen MA IPNU Asrorun Ni`am Sholeh, penggunaan model ini merupakan refleksi dari perjalanan NU sebagai organisasi ulama sekaligus upaya untuk meningkatkan peran syuriyah NU.
Ia mengusulkan, teknis pemilihan dengan pola tiap-tiap wilayah dan cabang NU nanti akan menetapkan sembilan nama. Dari hasil rekap akan dicari 33 nama ulama yang akan menjadi ahlul halli wal aqdi melalui sistem suara terbanyak.
"Baru setelah itu 33 orang ahlul halli wal aqdi yang menjadi anggota Majelis Syuriyah akan menetapkan ketua pelaksana harian PBNU dengan dibantu wakil-wakil ketua bidang. Jadi pelaksana harian itu hanya menjalankan kebijakan dan garis yang ditetapkan syuriyah," kata pengasuh Pesantren Model al-Nahdlah Depok itu.
Dengan sistem pemilihan secara paket, tambahnya, semangat kebersamaan akan semakin terjaga dan fragmentasi akan terminimalisasi.(Ibnudzar/dbs).