JAKARTA (voa-islam.com) - Para penikmat barang "mainan dewasa" seks toys, harus pikir-pikir seribu kali untuk memuaskan hasrat biologisnya melalui cara yang tidak menggunakan saluran seksual yang sebenarnya. Pasalnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengategorikan kegiatan seks tidak pada "tempatnya" itu sebagai perbuatan yang haram.
Seperti diterangkan Sekretaris Komisi Fatwa MUI Aminudin Yakub, Senin siang (22/3/2010).
Dipaparkan Aminudin, dalam hukum Islam terdapat kaidah hukum asal yang berkaitan dengan persetubuhan. Persetubuhan antara laki-laki dan perempuan asal-muasalnya diharamkan, hingga kemudian dihalalkan setelah terjadinya akad nikah.
Sementara penggunaan sex toys itu berkaitan dengan hubungan seksual yang menggantikan peran manusia, yang sejatinya persetubuhan hanya dihalalkan bagi manusia dengan manusia. Sedangkan tidak ada pernikahan antara manusia dengan alat. Sehingga hukum persetubuhan kembali ke hukum asalnya, yakni haram.
...sejatinya persetubuhan hanya dihalalkan bagi manusia dengan manusia melalui akad nikah. Sehingga hukum persetubuhan dengan alat sex toys kembali ke hukum asalnya, yakni haram...
"Hukum Islam ada kaidah-kaidahnya, kalau masalah makanan pada dasarnya boleh selama tidak mengandung yang haram, kalau muamalat (hubungan antar manusia) hukum asalnya boleh, selama tidak melanggar rambu-rambu yang haram. Tetapi kalau sex toys menjadi media seksualitas, maka penggunaannya itu haram," tuturnya.
Dalam Islam, diakui Aminudin, setiap hukum memiliki pengecualian, tetapi pengecualian itu harus dilihat terlebih dahulu dasarnya. Harus dikaji dahulu alasan sesungguhnya, apakah alasan itu bisa dijadikan dasar bagi hukum pengecualian atau tidak? Jika bisa, maka hukum itu bisa berubah. Tetapi jika bukan alasan untuk pengecualian, maka hukum tersebut bersifat tetap.
"Tetapi karena persetubuhan itu pada dasarnya haram. Karenanya kita harus melihat dulu apakah penggunaan alat ini sudah sampai tingkatan darurat. Dalam arti jika tidak menggunakan alat ini maka dia akan berzina. Tetapi apakah tidak ada alternatif lain?" ucap Aminudin.
Lebih lanjut, pengecualian juga bisa dikaji dalam hukum “al-hajjat,” yang berkaitan dengan kebutuhan manusia. Yakni jika tidak melakukan kebutuhan tersebut, maka dia akan mengalami kesulitan.
Jika dikaitkan dengan pemenuhan kebutuhan seks dengan menggunakan alat, harus diperhatikan, apakah hajat atau kebutuhan ini bersifat mendesak?
"Keadaan yang hajat bisa menjadi hukum pengecualian juga tinggal melihat apakah ini baru betul hajat. Satu kebutuhan yang mendesak, jika tidak melakukan akan merasa susah, sakit, dan sebagainya. Jadi harus dilihat dahulu apakah penggunaan alat ini betul-betul yang hajat sekali atau tidak," tuturnya.
Sementara mengenai penjualan sex toys, Aminudin berpandangan, penjual sex toys haram atau tidak tergantung apakah penjualan tersebut menjadi wasilah (jalan) kepada orang atau hukum. [taz/okz]