Surabaya (voa-islam.com) - Menanggapi santernya pengaitan tanggal 26 dengan terjadinya bencana, Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Salahuddin Wahid meminta masyarakat tidak termakan isu yang mengaitkan angka 26 sebagai hari bencana. Menurut Gus Solah, bencana yang terjadi di tanggal 26 hanya kebetulan semata.
"Itu hanya kebetulan saja, kalau ada yang menafsirkan aneh-aneh istilah orang Jawa hanya otak atik mathuk," kata Gus Solah di Surabaya, Sabtu (30/10/2010).
..."Itu hanya kebetulan saja, kalau ada yang menafsirkan aneh-aneh istilah orang Jawa hanya otak atik mathuk," kata Gus Solah...
Adik kandung Gus Dur ini menjelaskan bencana alam memiliki dua jenis. Pertama bencana karena siklus gejala alam atau yang lazim disebut Sunnatulloh. Kejadian ini, kata Gus bisa didekteksi sehingga dapat diambil langkah antisipasi penanganan bencana.
Bencana kedua adalah bencana yang timbul karena hasil ulah manusia. Seperti pembalakan hutan yang berpotensi menimbulkan banjir dan tanah longsor. Pemerintah mestinya menerapkan aturan tegas terhadap tindakan perusakan lingkungan. Jadi tergantung perilaku manusia tidak ada hubungannya dengan angka maupun tanggal 26," tandasnya.
Banyak Orang Menganggap Misteri
Tanggal 26 memang menjadi misteri bagi sebagian kalangan. Di milis-milis dan forum internet ramai diperbincangkan. Umumnya yang menjadi fokus pembicaraan adalah pertanyaan mengapa banyak bencana besar khususnya di negeri ini terjadi pada tangga 26. Antara percaya "takhayul" dan tidak, orang-orang mengaitkannya dengan mistik.
Beberapa contoh yang nyata adalah peristiwa tsunami Aceh yang menewaskan ribuan orang terjadi pada tanggal 26 Nopember tahun 2004, gempa Yogyakarta 26 Mei tahun 2006. gempa Tasik tanggal 26 Juni 2010, tsunami Mentawai 26 Oktober 2010 dan letusan Gunung Merapi juga terjadi pada 26 Oktober 2010.
Masih banyak lagi peristiwa besar lain yang terjadi pada tanggal tersebut. Tentu setiap kejadian alam ada hikmahnya. Namun demikian manusia tidak serta merta mengetahui dan menyadari apa hikmah dibalik bencana atau musibah itu baik dari sisi korban jiwa, kejadian alamnya atau bahkan waktu kejadian itu sendiri.
Jika diteliti dan diamati, setiap bencana selalu berkaitan dengan bulan purnama. Sebagai contoh, gempa dahsyat dan tsunami paling hebat abad ini yang melanda Aceh, Sumatera dan beberapa negara Asia Tenggara hingga menewaskan lebih dari 210.000 jiwa terjadi pada tanggal 26 Desember 2004. Bila dilihat pada kalender hijriyah dan kalender Jawa, maka tanggal itu besamaan dengan 14 Dzulkaidah 1425 H yaitu malam bulan purnama.
Gunung Merapi di Jawa Tengah meletus tanggal 26 Mei 2006 yang menewaskan banyak korban jiwa. Saat itu gunung Merapi juga batuk menyemburkan awan panas wedhus gembel yang menyapu kawasan wisata di sekitar lereng Merapi serta menurunkan hujan abu yang tebal hingga mencapai 4 kabupaten yaitu Klaten, Sleman, Magelang dan Boyolali. Tanggal 26 Mei 2006 bila dicek ke penanggalan Jawa atau hijriah bertepatan 27 Rabiul Akhir 1427 dimana biasanya menjadi titik balik bulan purnama. Kemudian terjadi gempa bumi Tasikmalaya tanggal 26 Juni 2010 dengan kekuatan 6,3 SR di laut Selatan. Akibat dari gempa itu, setidaknya ada 50 rumah runtuh. Tanggal 26 Juni 2010 bila ditilik pada kalender hijriah bertepatan 14 Rajab 1431 yaitu tepat malam bulan purnama.
Dan yang baru saja terjadi adalah meletusnya Gunung Merapi tanggal 26 Oktober 2010 atau tanggal 18 Dzulkaidah yang masih dekat dengan malam bulan purnama. Pertanyaannya mengapa banyak bencana alam terjadi pada tanggal 26 atau berdekatan dengan malam bulan purnama.
Pakar: Bencana Saling Terkait
Sementara itu, Richard A. Lovett dari National Geographic News, mengutip sejumlah ilmuwan, Kamis (28/10) mengatakan, gelombang tsunami di Mentawai dan meletusnya Gunung Merapi kemungkinan berkaitan satu sama lain. Gelombang tsunami itu dipicu oleh gempa bumi berkekuatan 7,7 Skala Richter yang terjadi pada Senin pukul 09.42, di pulau paling barat Sumatera itu. Tsunami dan gempa tersebut menewaskan lebih dari 300 orang.
Sementara itu para pakar memperkirakan dua bencana yang terjadi bersahutan itu memang berkoinsiden di dalam negara yang memiliki kegempaan paling di dunia itu. Indonesia, sebut National Geographic, berada di Cincin Api Pasifik, dan 17.500 pulau-pulaunya hidup dalam ancaman (guncangan) tektonik. Misalnya, di pulau Merapi berada, yaitu Pulau Jawa, lebih dari 30 gunung berapi mengancam lebih dari 120 juta orang penduduknya.
Para pakar pun mencatat bahwa gelombang tsunami yang terjadi pekan ini di luar dugaan karena tergolong besar untuk ukuran gempa yang menyertainya. Gempa 7,7 SR yang memicu tsunami Mentawai itu terjadi di zona patahan yang sama dengan gempa 9,0 SR yang memicu tsunami dahsyat di Samudera India (termasuk Aceh) pada 2004.
Kendati gempa Senin itu tidak sekuat gempa 2004, namun tsunami yang diakibatkannya dapat menciptakan gelombang setinggi tiga meter dan melabrak pulau-pulau terdekat ke pusat gempa, bahkan di beberapa tempat tinggi gelombang tsunami bisa mencapai 6 meter.
Costas Synolakis, Direktur Pusat Riset Tsunami pada Universitas Southern California, menyebut peristiwa ini sebagai gempa bumi tsunami. Synolakis mengutip ini dari penaksiran ahli geofisika Emile Okal dari Universitas Northwestern. Kendati banyak jenis gempa bisa memicu tsunami, gempa bumi tsunami adalah kasus yang unik.
Pada tipe gempa seperti ini, pergeseran lempeng tektonik biasanya berlangsung lambat, terjadi pada periode yang lebih panjang dari yang diperkirakan, didasarkan pada intensitas geseran seismik, kata Synolakis dalam emailnya.
Sebuah Peringatan untuk Kembali Kepada Allah
Sementara itu, Para ulama berpendapat bahwa semua itu adalah peringatan dari Tuhan YME kepada seluruh umatnya. Adalah Hasyim Muzadi, Sekjen ICIS dan pengasuh Pesantren Al Hikam Malang dan Depok mennyerukan agar umat Islam untuk melakukan salat ghaib buat korban Merapi dan tsunami Mentawai, semoga semuanya khusnul khotimah, tentu termasuk Mbah Maridjan.
Menurut Hasyim, kematian Mbah Maridjan dan keadaan sujud menunjukkan bahwa almarhum tengah menyerahkan diri kepada Allah. Hasyim mengaku teringat pada ucapan Mbah Maridjan tahun 2006 lalu dalam bahasa Jawa. Inilah pesannya: "Panjenengan sak konco poro piageng, kedah "temen lan sak temene" mugi ndonyane tenterem." Artinya, Pak Hasyim dan para pembesar harus benar dan bertindak sebenarnya agar alam tenteram. Mbah maridjan sujud menghadap selatan (keraton) lho!! (Arsyila/dbs)