KLATEN (voa-islam.com) - Maksudnya mungkin ingin menghibur. Tapi karena jahil agama, maka ditempuh cara-cara biadab yang menghina Tuhan yang bisa menambah murka-Nya. Musholla darurat di pengungsian Merapi dijadikan panggung maksiat.
Pemandangan ironis itu terjadi di posko pengungsian GOR Klaten. Mulanya, atas inisiatif Dompet Sosial Hidayah (DSH) Klaten, maka didirikanlah musholla darurat untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah.
Rupanya panitia di sekretariat posko mendukung keberadaan musholla dengan setengah hati. Mereka pun membuat syarat yang mengada-ada, bahwa tempat tersebut boleh dimanfaatkan sebagai musholla, tapi tetap dimultifungsikan untuk acara apapun.
Tanpa sepengetahuan DSH, Kamis siang (11/11/2010) musholla tersebut disulap sebagai panggung “maksiat” dengan goyang dangdutan, oleh para penyanyi wanita berpakaian seronok. Meski hanya mendapat respon dari beberapa gelintir pengungsi, acara dok ceng dok ceng tersebut tetap dilanjutkan.
Sebagian pengungsi yang diwawancarai kontributor voa-islam.com menuturkan, mereka sangat tidak tertarik dengan dangdutan itu, bahkan mereka merasa risih dengan penyanyinya yang berpakaian seronok. “Saya merasa risih dan bising,” ujar seorang pengungsi.
....Mungkin mereka belum puas dengan letusan Merapi. Mereka menantang Allah karena menginginkan tambahan musibah....
Seharusnya para relawan jahiliyah itu mengerti apa kebutuhan para pengungsi. Mereka butuh ketenangan, bukan kebisingan.
“Mungkin mereka mengadakan dangdutan di musholla itu karena belum puas dengan musibah Merapi. Mereka menantang Allah karena menginginkan tambahan musibah,” ketus seorang relawan kafilah Ansharut Tauhid. [taz/Bekti Sejati]
Baca berita terkait: