Beberapa waktu lalu Center for the Study of Religion and Culture (CSRC) UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta melaporkan hasil penelitian tendensius yang menyebutkan masjid sebagai sarang radikalisme, Rabu (26/1/2011). Sebelumnya (2009) LSM komparador ini juga menuding takmir masjid di DKI Jakarta, berpotensi menebar benih-benih radikalis.
Hal itu terungkap dalam seminar sosialisasi hasil temuan riset “Pemetaan Ideologi terhadap 250 takmir masjid di lima wilayah DKI Jakarta”, Kamis, 29 Januari 2009, di Jakarta Media Center (JMC) Jakarta Pusat. Bukti, penelitian itu bertujuan untuk membuat stigma buruk terhadap takmir masjid.
Menurut CSRC, mayoritas masjid-masjid di DKI Jakarta masih menyuarakan gagasan dan pemikiran Islam moderat. Pandangan mayoritas takmir masjid yang moderat ini tercermin dari pandangan mereka atas lima gagasan yang ditanyakan. Lima gagasan tersebut adalah mengenai sistem pemerintahan, formalisasi syariat Islam, jihad, kesetaraan jender, dan pluralisme. Meski demikian, sebagian kecil takmir juga menyatakan setuju dengan gagasan pendirian negara Islam dan khilafiah Islamiyah (20 persen).
Terkait sistem pemerintahan, 88,8 persen responden menyetujui Pancasila dan UUD 1945 sebagai model terbaik bagi Indonesia. Sebanyak 78,4 persen takmir setuju bahwa demokrasi adalah sistem pemerintahan yang terbaik bagi Indonesia. “Secara umum, masjid-masjid di DKI Jakarta masih moderat. Walaupun masih ada yang setuju dengan konsep negara Islam. Moderatnya takmir masjid ini, selain tentang pandangan terhadap sistem pemerintahan, juga dari pandangannya mengenai pluralisme khususnya civic pluralism, mereka sangat moderat,” ujar Koordinator Program Penelitian Ridwan Al Makassary.
Survei juga menunjukkan, terkait isu formalisasi syariat Islam, 60 persen takmir setuju tentang kewenangan negara mengatur umat Islam. Kemudian, sebanyak 31,2 persen setuju negara wajib memberlakukan pidana Islam. Dari hasil survei ini, CSRC mengimbau pemerintah, organisasi massa seperti NU dan Muhammadiyah bisa mencermati temuan ini, untuk mempertahankan masjid sebagai corong Islam moderat. “Misalnya, mengadakan training untuk khatib dengan nilai-nilai pluralisme. Meski demikian, patut diwaspadai juga kecenderungan penguatan gagasan Islam radikal,” kata Ridwan.
Survei ini dilakukan November 2008-Januari 2009 dengan metode wawancara dan questioner. Pemilihan responden takmir masjid karena dianggap sebagai pihak yang memiliki otoritas untuk menentukan arah dan dinamika masjid. Sebagai gambaran, dari 250 masjid yang disurvei, tersebar di Jakarta Selatan (56 masjid), Jakarta Timur (72 masjid), Jakarta Pusat (38 masjid), Jakarta Barat (45 masjid), dan Jakarta Utara (39 masjid). Pemilihan masjid-masjid ini dilakukan secara random.
Masjid Benih Radikalisme?
Koordinator CSRC UIN Jakarta, Ridwan Al Makassary, menjelaskan, penelitian ini menjadi perlu untuk kepentingan penguatan gagasan Islam moderat di tanah air. Penelitian ini didukung oleh LSM Komprador, seperti: Konrad Adenauer Stiftung, The Asia Foundation – Indonesia, The Ford Foundation, The Japan Foundation, Tifa Foundation. Hadir dalam pembahasan penelitian tersebut: Dr. Sukron Kamil, MA, Prof Dr. Abdul Munir Mulkhan (PP Muhammadiyah), dan KH. Masdar F. Mas’udi (Perhimpunan Pengembangan Pesantren & Masyarakat). Semuanya adalah para tokoh Jaringan Islam Liberal (JIL).
Dikatakan Ridwan Al Makkasary, riset ini dilatari oleh fenomena penyusupan kelompok-kelompok tertentu terhadap masjid-masjid milik NU dan hasil amal usaha Muhammadiyah yang memperjuangkan agenda dan ideologi yang berbeda, yaitu khilafah Islamiyah dan negara Islam. Untuk memagari masjid-masjid milik NU, maka Bahtsul Masail PB NU tahun 2007 merekomendasikan perlunya sertifikasi masjid-masjid NU.
Sementara Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah mengeluarkan Surat Keputusan No.149 (1 Desember 2006) yang bertujuan menjaga hasil amal usaha Muhammadiyah (sekolah, panti asuhan, rumah sakit dan universitas) agar tidak disusupi oleh kelompok dakwah dan partai politik tertentu yang memperjuangkan agenda dan ideologi yang berbeda.
Dipilihnya DKI Jakarta sebagai fokus penelitian, oleh karena kota ini adalah ibukota dengan pusat dinamika sosial, politik, ekonomi dan budaya yang tinggi. Selain itu, tingkat kekerasan atas nama agama di Jakarta cukup merisaukan, terutama sejak 1998. “Secara umum terdapat kecenderungan penguatan ideologi radikal dengan upaya beberapa kelompok Islam tertentu memasyarakatkan isu-isu khilafah Islamiyah dan negara Islam, pentingnya formalisasi syari’at Islam melalui lembing-lembing kekuasaan negara, dan jihad yang dipahami semata-mata sebagai perang,” kata Ridwan.
Selain itu, isu gender equity, lanjut Ridwan, masih dihadang oleh kuatnya kultur patriarki dan dominasi penafsiran yang konservatif atas kedudukan perempuan. Sementara nasib pluralisme di ujung bahaya, misalnya, dengan peristiwa insiden Monas pada Juni 2008 yang melibatkan bentrokan antara Front Pembela Islam (FPI) dan “Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKK-BB)”, yang menimbulkan sejumlah korban.
Survei Pesanan
Berikut ini adalah hasil survei “pesanan” atas persepsi takmir masjid terhadap sistem pemerintahan (khilfah Islamiyah - negara Islam), formalisasi syariat Islam, jihad dan kesetaraan gender dan pluralisme:
Untuk isu sistem pemerintahan, mayoritas takmir masjid memiliki pandangan yang moderat, terkait dengan sistem pemerintahan dalam arti mendukung keutuhan negara kesatuan republik Indonesia (NKRI). Meskipun demikian, sebagian kecil takmir masjid juga menyetujui gagasan tentang pendirian negara Islam dan khilafah Islamiyah. Survei menunjukkan bahwa sebagian besar (88.8%) takmir masjid menyetujui Pancasila dan UUD 1945 sebagai model terbaik bagi Indonesia.
Selain itu, sebanyak 78.4% takmir masjid setuju bahwa demokrasi adalah sistem pemerintahan yang terbaik bagi Indonesia. Namun, survei juga menunjukkan bahwa 20.8% takmir masjid setuju bahwa umat Islam wajib mendirikan negara Islam. Selain itu, sebanyak tiga dari sepuluh (32%) takmir masjid setuju bahwa umat Islam wajib memperjuangkan tegaknya khilafah Islamiyah.
Terkait isu formalisasi syari’at Islam, temuan menunjukkan bahwa untuk beberapa derajat sebagian takmir masjid dapat menerima gagasan formalisasi tersebut. Survei menunjukkan bahwa sebagian besar (60%) takmir masjid setuju tentang kewenangan negara mengatur dress code umat Islam. Selain itu, sebanyak empat dari sepuluh (41.2%) takmir masjid setuju bahwa negara berwenang mengatur persoalan ibadah melalui perundang-undangan.
Sebanyak 31.2% takmir masjid setuju negara wajib memberlakukan pidana Islam (misalnya hukuman cambuk dan potong tangan) di Indonesia. Sementara itu, sebanyak 44.8% takmir masjid setuju bahwa umat Islam wajib memperjuangkan berlakunya kembali Piagam Jakarta. Secara khusus, satu dari sepuluh (14.4%) takmir masjid setuju bahwa pemerintah yang tidak menerapkan syari’ah wajib diperangi.
Terkait isu kesetaraan gender temuan menunjukkan bahwa takmir masjid tidak mempersoalkan perempuan untuk bekerja di ranah publik, namun dipandang tidak dapat menjadi presiden. Hasil survei menunjukkan bahwa sebagian besar (87.6%) takmir masjid setuju perempuan bekerja di ruang publik. Namun, sebagian besar (56.4%) takmir masjid tidak setuju perempuan untuk menjadi presiden.
Temuan survei itu menunjukkan jihad sebagai perang dan penggunaan kekerasan pada umumnya tidak disetujui oleh sebagian besar takmir masjid. Meskipun segelintir kecil takmir masjid berpandangan sebaliknya. Hasil survei menunjukkan bahwa sebagian besar (73,6%) takmir masjid menyatakan tidak setuju dengan pandangan bahwa jihad yang paling utama adalah perang, dan selebihnya 15.2% takmir masjid setuju. Sementara sebagian besar (88.8%) takmir masjid menyatakan tidak setuju bahwa untuk menegakkan amar ma’ruf nahyi munkar diperbolehkan melakukan tindak kekerasan. Hanya sejumlah 8.8% takmir masjid yang setuju.
Terhadap isu terorisme agama (religious terrorism), pandangan mayoritas takmir masjid adalah moderat, meskipun untuk beberapa derajat sebagian kecil berpandangan radikal. Data menunjukkan bahwa mayoritas (83,6%) takmir masjid setuju bahwa terorisme bertentangan dengan ajaran Islam, dan sebagian besar (78,4%) takmir masjid setuju pelaku terorisme harus dihukum seberat-beratnya. Demikian pula lebih dari separuh (56,4%) takmir masjid setuju bahwa hukuman mati terhadap pelaku bom Bali sudah tepat.
Dalam hubungan yang bersifat sosial kemanusiaan atau pluralime kewargaan (civic pluralism) cukup tegas terlihat bahwa mayoritas takmir masjid memiliki pandangan yang positif, namun hal itu tidak berlaku dalam hubungan yang bersifat teologis atau pluralisme ketuhanan (theology pluralism). Umumnya fenomena penonjolan klaim kebenaran (truth claim) masih sangat kuat terlihat dalam pandangan takmir masjid. Data menyatakan mayoritas (88%) takmir masjid setuju Muslim wajib menghormati keyakinan agama lain.
Selanjutnya, sebagian besar (56.4%) takmir tidak setuju non-Muslim boleh masuk masjid untuk mengkaji Islam. Sementara itu sebanyak 24.8% takmir masjid setuju terdapat kebenaran dalam agama lain. Selain itu, lebih sedikit lagi (2%) takmir masjid setuju terhadap pandangan bahwa non-Muslim bisa masuk surga.
Dalam persoalan hak minoritas, temuan menunjukkan bahwa hak-hak minoritas dipandang sesuatu yang penting dan harus dihormati. Namun, hak tersebut tidak mencakup hak untuk menjadi presiden. Survey menunjukkan bahwa sebagian besar (86,8 %) takmir masjid berpandangan adanya kesetaraan hak antara Muslim dan non-Muslim dalam hal kewarganegaraan (citizenship right). Namun, sebagian besar (85,2%) takmir masjid tidak setuju jika Indonesia diperintah oleh presiden non-Muslim.
Sebagai kesimpulan, secara umum mayoritas masjid di DKI Jakarta masih menyuarakan gagasan dan pemikiran Islam moderat. Ini tercermin dari pandangan mayoritas takmir masjid yang moderat terhadap lima isu yang dipaparkan di atas. Meskipun demikian, dalam jumlah yang kecil terdapat kecenderungan penguatan gagasan Islam radikal. Misalnya, sebagian kecil takmir masjid setuju terhadap gagasan pendirian khilafah Islamiyah dan negara Islam. [Desastian]