JAKARTA (voa-islam.com) - Jika pimpinan komunitas Eden Lia Aminuddin dan Ahmad Mushoddiq sang nabi palsu saja ditangkap dan dibui dengan pasal penodaan agama, maka pimpinan Ahmadiyah juga harus diciduk dan jebloskan ke dalam penjara. Terpenting, harus ada juru dakwah yang membina Jemaat Ahmadiyah. Jika tidak mau dibina, apakah mereka mau dibinasakan?
Peneliti Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam (LPPI) Ustadz Hartono Ahmad Jaiz mengingatkan, perlunya dakwah atau pembinaan terhadap Jemaat Ahmadiyah. Tapi, persolannya, Jemaat Ahmadiyah bukannya tunduk ketika dibina, tapi malah menunjukkan sikap agresifnya. Mereka menolak untuk didakwahi dan terus melanggar SKB Tiga Menteri.
“Nah, jika disuruh tobat saja tidak mau, maka pentolan atau pemimpin Jemaat Ahmadiyah seharusnya ditangkap, seperti halnya aparat menangkap pimpinan Komunitas Eden Lia Aminuddin dan Ahmad Mushoddiq si nabi palsu dengan menjerat pasal penodaan agama. Bukan hanya ditangkap, tapi juga membubarkan organisasinya. Jadi, sangat jelas, Ahmadiyah telah menodai dan mengacak-ngacak Islam,” kata Hartono kepada Voa-Islam.
Usai rapat dengan Menkum HAM Patrialis Akbar, Kapolri Jenderal Pol Timur Pradopo, dan Jaksa Agung Basrief Arief di Kantor Menag, Jakarta, Rabu (9 Februari 2011) Menteri Agama RI Suryadarma Ali menawarkan empat opsi: Pertama, Ahmadiyah bisa menjadi sekte atau agama tersendiri dengan konsekuensi tidak menggunakan atribut agama Islam, seperti masjid, Al Quran, dan lain-lain. Kedua, Ahmadiyah bisa kembali menjadi umat Islam yang sesuai tuntunan Al Quran. Ketiga, Ahmadiyah dibiarkan saja. Dan keempat,Ahmadiyah dibubarkan.
Persoalannya, maukah Jemaat Ahmadiyah keluar dari Islam, dan menjadi agama tersendiri? Ternyata, Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) menolak. Juru Bicara JAI, Zafrullah Ahmad Pontoh mengatakan, otoritas membuat agama berada di tangan Tuhan. Manusia tak memiliki hak menciptakan keyakinan dan agama apapun.
Untuk mencegah terjadinya gesekan antara anggota Jemaat Ahmadiyah dengan masyarakat, Pemerintah Kota Depok berinisiatif mengeluarkan kebijakan penangkapan juru dakwah alias da’i Jemaat Ahmadiyah, apabila terbukti menyebarkan ajaran Ahmadiyah. “Sesuai arahan Komisi Intelijen Daerah, ada payung hukumnya, yakni SKB 3 Menteri. Salah satu poin SKB itu adalah adanya larangan bagi warga Ahmadiyah menyebarkan ajarannya,” kata Wakil Walikota Depok Idris Abdul Somad.
Menurut Idris, kegiatan Ahmadiyah di Depok dipusatkan di Masjid Al Hidayah milik warga Ahmadiyah di Sawangan, Depok. Pihak Pemkot, kini tengah mengumpulkan data akurat dan alamat warga Ahmadiyah di Depok. Sehingga, segala kegiatan Ahmadiyah dapat dipantau guna mencegah konflik.
Ketua Komisi Kerukunan Umat Beragama Majelis Ulama Indonesia (MUI) Slamet Effendy Yusuf, mengibaratkan, keberadaan Ahmadiyah ibarat bisul, yang harus diselesaikan dengan cepat dan tepat serta tak boleh dibiarkan berlarut-larut. Apalagi, kecenderungan yang kini berkembang terjadi pelarangan aktivitas Ahmadiyah di berbagai tempat.
Jemaat Ahmadiyah, ungkap Slamet, mesti berkaca pada pengalaman Ahmadiyah di Pakistan. Keberadaan Ahmadiyah di Pakistan diakui sebagai minoritas non Muslim tanpa mendapat tekanan dan larangan. Oleh karenanya, tawaran ini dianggap sebagai win-win solution. Selama tak mengaku Islam, Ahmadiyah sah menjalankan aktivitas keagamaannya.
Namun demikian, jelas Slamet, tawaran solusi ini belum tentu mudah diterima Ahmadiyah. Dibutuhkan kebesaran hati dan sikap lapang dada Jemaat Ahmadiyah untuk mau melakukan reposisi agar konflik horizontal di masyarakat bisa dihindari. (Desastian)