Jakarta (voa-islam) – Banyak hal yang diluruskan terdakwa Ustadz Abdullah terhadap Surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menjerat dirinya melakukan tindakan terorisme.
Dalam Pledoinya yang dibacakan Ustadz Nata di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur, Rabu (6 April 2011) lalu, menyatakan bahwa ia tidak pernah melakukan survei dan datang ke lokasi Pelatihan Militer di Gunung Jalin Jantho. Kedatangan Ustadz Nata ke Aceh karena diajak oleh Sofyan Tsauri pasca melatih laskar FPI dalam mensikapi pembataian umat Islam oleh Israel di Gaza-Palestina.
Kedatangan ini untuk follow up pelatihan militer laskar FPI. Maka agenda ke Aceh yang utama adalah bertemu Tengku Muslim sebagai Ketua FPI Aceh.
“Kedatangan saya ini, termasuk ke Payang Bakong tempat yang diminta Tengku Muslim adalah dalam rangka follow up program laskar FPI Aceh. Namun dalam BAP dipaksakan seluruh kegiatan ini terkait kegiatan di Jalin Jantho, padahal tidak ada sama kaitan sama sekali,” kata Nata membela diri.
Lebih jauh, Ustadz Nata menjelaskan, dalam menghadapi situasi seperti yang terjadi di Gaza, Irak, Bosnia, Ambon, Poso dan Afghanistan, maka umat Islam dibolehkan oleh syari’at untuk melaksanakan ‘idad (persiapan). Ini sesuai perintah Al Qur’an dan Sunnah Nabi Saw. Berdosa hukumnya bagi Muslim yang meninggalkan dan menghalang-halangi ibadah ini.
‘Idad itu sendiri adalah bentuk antisipasi dan pembelaan, sesuai tuntunan syariat Islam untuk umatnya, agar jangan sampai dibantai dan dizalimi sebagaimana dialami oleh umat Islam di Ambon dan Poso. “Maka apakah karena kami melaksanakan, syari’at Islam, lalu kami disebut ‘teroris’ dan harus dihukum?” tukas Nata mempertanyakan.
‘Idad itu sendiri adalah bentuk antisipasi dan pembelaan, sesuai tuntunan syariat Islam untuk umatnya, agar jangan sampai dibantai dan dizalimi sebagaimana dialami oleh umat Islam di Ambon dan Poso. “Maka apakah karena kami melaksanakan, syari’at Islam, lalu kami disebut ‘teroris’ dan harus dihukum?”
Soal tuduhan dirinya mengantar beberapa orang yang disangka peserta latihan di Aceh, Sunata membantahnya. Ia baru mengetahui ini setelah di penyidik. Ketika ia diperiksa dari jam 12 siang hingga 00.00 wib, semua saksi menolak untuk dimintai keterangannya, bahkan mengaku tidak mengenal Nata. Begitu pula sebaliknya, Sunata tidak mengenal saksi yang diperiksa.
Namun pada malam harinya, salah seorang saksi bernama Zuhair alias Zubair mengaku kenal dengan Nata, kemudian ia ditekan untuk mengakui isi BAP sesuai pengakuan Zubair.
Mengenai tiga pucuk senjata M16, kata Nata, semuanya berawal dari komunikasi antara Maulana dengan Yahya, Tongji dan Abu Tholut pada waktu berbeda. Kemudian Maulana minta tolong Sunata untuk mengambil uangnya dan membantu mengantar senjata tersebut. Nata sendiri tidak mengetahui dan tidak pernah melihat senjata tersebut. Ia sendiri tidak tahu senjata itu untuk kemana dan dipergunakan untuk apa?
“Setelah dipenyidik, saya baru tahu senjata masih ada di tangan Abu Tholut, sedangkan yang di Tongji akan dikirim ke Poso, bukan ke Aceh sebagai persiapan bagi kaum Muslimin Poso jika diserang kembali oleh Laskar Kristen seperti terjadi sebelumnya.”
Adapun senjata revolver kaliber plus peluru sebanyak 40 butir yang ada ditangan Sunata adalah hasil pemberian Yuli. Pemberian senjata itu karena nama Sunata diopinikan oleh kepolisian dan media sebagai “teroris” nomor wahid yang sangat berbahaya. Lalu pada saat yang sama juga terjadi penembakan secara serampangan oleh polisi kepada mereka yang dituduh sebagai ‘teroris’.
“Kebetulan saat itu terjadi peristiwa penembakan di Cawang, tanpa ada perlawanan dan baku tembak. Tiga orang yang dituduh teroris ditembak dari belakang ketika naik motor. Begitu dikubur, dua orang yang ditembak itu tidak diketahui identitasnya. Karena alasan inilah Yuli memberikan hadiah senjata kepada saya. Tidak sampai sebulan, saya kemudian ditangkap, ” demikian nota pembelaan (pledoi) Ustadz Nata yang beristri dua dan dikaruniai tujuh anak ini tegar ● Desastian