View Full Version
Selasa, 12 Apr 2011

RUU Intelijen: Kalimat 'Musuh Dalam Negeri' Perlu Dikritisi

Jakarta (voa-islam) - Ada beberapa pasal yang harus dikritisi dalam penyusunan RUU Intelijen, diantaranya: Pasal 1 ayat 4, pasal 1 ayat 2, pasal 1 ayat 9, pasal 4, pasal 31 ayat 1, pasal 37, pasal 39, pasal 41.

Ada beberapa catatan kritis yang perlu menjadi perhatian dalam penyusunan RUU Intelejen: Pertama, ada kalimat atau frase yang tidak didefinisikan dengan jelas, sehingga berpeluang menjadi pasal karet, seperti kalimat “ancaman nasional” , “keamanan nasional”, dan “musuh dalam negeri” yang sangat kabur , siapa dan apa kriterianya.

Rumusan itu terkesan multitafsir, sehingga sangat mungkin disalahgunakan. Bisa jadi, sikap kritis masyarakat atas kebijakan pemerintah akan dibungkam dengan dalih mengancam “keamanan nasional” dan stabilitas, serta diangga musuh dalam negeri.

Kedua, di Pasal 31 disebutkan bahwa Lembaga Intelijen memiliki wewenang untuk melakukan intersepsi (penyadapan) terhadap komunikasi atau dokumen elektronik, serta pemeriksaan aliran dana yang diduga terkait dengan kegiatan terorisme, separatism, spionase, subversi, sabotase, dan kegiatan atau yang mengancam keamanan nasional.

Di dalam penjelasan, dikatakan penyadapan itu bisa dilakukan tanpa ketetapan Ketua Pengadilan. Bahkan,m di ayat 4 pasal yang sama, Bank Indonesia (BI), bank, PPATK, lembaga keuangan bukan bank, dan lembaga jasa pengiriman uang, wajib memberikan informasi kepada LKIN (Lembaga Kordinasi Intelijhen Negara) atau BIN.

Pemberian wewenang penyadapan tanpa izin pengadilan, akan menjadi pintu penyalahgunaan kekuasaan. Apalagi penyasdapan itu didasarkan pada alasan, yang definisi, criteria, dan tolok ukurnya tidak dijelaskan alias kabur dan multitafsir, sehingga bisa bersifat subyektif dan tergantung selera.

Lebih berbahaya lagi, tidak disebutkan siapa yang berwenang memutuskan penyadapan itu. Akibatnya, secara implisit setiap personal intelijen berhak melakukannya. Pemberian wewenang penyadapan tanpa izin pengadilan ini akan bisa menyebabkan terjadinya penyadapan secara liar. Akibatnya warga akan terancam hak privasinya.

Ketiga, dalam RUU itu diusulkan pemberian wewenang kepada BIN untuk melakukan penangkapan dan pemeriksaan intensif (interogasi) paling lama 7x24 jam. Usulan itu sama saja member wewenang intel BIN untuk “mengambil” orang yang dicurigai, tanpa surat perintah, tanpa diberitahu tempat dan materi interigasi, tanpa pengacara dan tanpa diberitahukan kepada keluarganya. Lalu apa bedanya dengan penculikan? Jika usulan itu digolkan, maka akan lahir kembali rezim represif.

Keempat, di dalam RUU tidak ada mekanisme pengaduan dan gugatan bagi individu yang merasa dilanggar haknya oleh lembaga intelijen. Rakyat berpotensi menjadi korban tanpa ruang untuk mendapatkan keadilan. Disinilah terlihat jelas potensi lahirnya “rezim intel”.

Kelima, RUU Intelijen tidak mengatur dengan jelas mekanisme kontrol dan pengawasan yang tegas, kuat dan permanen terhadap semua aspek dalam ruang lingkup fungsi dan kerja intelijen (termasuk penggunaan anggaran). Akibatnya, intelijen akan menjadi “superbody” yang bisa melakukan apapun tanpa kendali dan bisa dijadikan alat kepentingan politik status quo.

Keenam, RUU ini bisa menjadi preseden buruk bagi jurnalis, khususnya jurnalis investigative. RUU ini berpotensi untuk membungkam suara-suara kritis. Dengan delik kelalaian di pasal 39 bisa menjadi ancaman bagi sikap kritis dan keterbukaan para jurnalis.

Sejumlah Ormas Islam berpendapat, memang benar intelijen diperlukan oleh sebuah negara. Tapi, mestinya bukan untuk memusuhi rakyat. Juga tidak boleh menjadi alat kekuasaan untuk kepentingan mengamankan status quo, apalagi jika intelijen digunakan untuk memberangus setiap usaha memperjuangkan syariat Islam. Masa rezim Orde Baru dengan intelijennya, cukuplah menjadi pengalaman pahit bagi rakyat, khususnya umat Islam.

Dalam padangan syariah Islam, negara haram memata-matai rakyat. Allah Swt  berfirman dalam Al Qur’an: “Janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain.” (QS al Hujurat: 12). Dan Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya seorang amir itu, jika mencari keragu-raghuan (sehingga mencari-cari kesalahan) dari rakyatnya, berarti ia telah merusak mereka.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, al Hakim dan al Baihaqi) Desastian


latestnews

View Full Version