Jakarta (voa-islam) – Kelompok masyarakat yang mengatasnamakan dirinya Forum Silaturrahmi Muslim Limusnunggal (Fosmil) kembali menyatakan penolakannya terhadap keberadaan Gereja Pantekosta Indonesia Sidang Kota Wisata yang berlokasi di Jl. Narogong Raya Km.15 Rt.01/RW 04, Kampung Bakom, Desa Limusnunggal, Cileungsi, Bogor, Jawa Barat.
Meski telah beberapa kali mendapat surat teguran dari kecamatan dan Pemda Kabupaten Bogor, pihak gereja terus membandel melaksanakan kegiatannya. Belum lama ini, Fosmil mendatangi sekretariat Forum Umat Islam (FUI) di Kalibata untuk bersilaturahim, sekaligus meminta saran untuk menyelesaiakan masalah ini.
Menurut salah satu perwakilan dari Fosmil,sejak 24 Oktober 2009, masyarakat setempat sudah mengajukan surat penolakan pendirian gereja kepada Kepala Desa (Kades) Limusnunggal, Kecamatan Cileungsi, Kabupaten Bogor, H. Sukarman S.sos. Kepada masyarakat, Kades berjanji tidak akan mengeluarkan bentuk rekomendasi pendirian rumah ibadah/gereja di wilayah Desa Limusnunggal.
Dalam sebuah statemennya pada tanggal 4 Februari 2010, Pak Kades menyatakan, “Mulai saya menjabat Kepada Desa Limusnunggal sampai dengan masa berakhirnya masa jabatan, saya tidak akan mengeluarkan bentuk rekomendasi pendirian rumah ibadah atau gereja di wiayah Desa Limusnunggal.”
Namun setahun kemudian, Kades Sukarman berkhianat dan mengingkari janjinya. Dalam Surat Pernyataan tertanggal 16 Maret 2011, Sukarman meralat pernyataannya yang pernah ia ucap sebelumnya. Katanya, ketika itu ia menandatangani surat pernyataan dalam keadaan terpaksa, karena didatangi oleh sekelompok orang yang menyatakan dirinya FOSMIL.
“Kondisi saya pada saat itu sangat tertekan, ketakutan dan diancam didemo untuk mengundurkan diri, kalau berani mengeluarkan Surat Rekomendasi pendirian gereja di Desa Limusnunggal. Juga pada saat itu, Kantor Kepala Desa dikunci dari dalam dan dijaga dari luar, sampai saya menandatangani Surat Pernyataan tersebut,” kata H. Sukarman bin Caban Bidun, S.sos.
Penolakan warga terhadap rencana pembangunan gereja, pun diabaikan. Pada bulan Desember 2009, kegiatan peletakan batu pertama pembangunan gereja tetap berlangsung. Hingga bulan Maret 2010, pembangunan gereja selesai dan dipergunakan untuk kebaktian.
Masyarakat kemudian mengajukan surat penolakan yang ditujukan kepada Camat Cileungsi pada tanggal 8 April 2010. Keesokannya, Camat pun merespon dengan mengeluarkan surat teguran, namun bangunan tersebut masih digunakan untuk melakukan kegiatan kebaktian. Yang jelas, Camat sudah mengeluarkan Surat Teguran II dan ke-III untuk penghentian kegiatan keagamaan di bangunan yang belum ada izinnya.
Dasar bandel, pihak gereja tidak mengindahkan teguran Camat Cileungsi tersebut. Ketika masyarakat mempertanyakan kembali kejelasan penyelesaiannya, Pak Camat di depan masyarakat, MUI, Kapolres Bogor pun memberi jaminan jabatannya sebagai taruhannya.
Langkah selanjutnya, pada 20 April 2010, masyarakat mengajukan surat penolakan dan permohonan audiensi kepada Bupati Kabupaten Bogor. Mulanya tidak ada respon. Tapi kemudian, pada tanggal 7 Mei 2010, Satpol PP Kecamatan dan Kabupaten telah menyegel gereja. Alhasil, meski sudah disegel, bangunan tersebut tetap digunakan.
Tuntutan terus bergulir, masyarakat menuntut Pemda Kabupaten Bogor agar segera membongkar gereja yang ada didesa itu. Bila tidak dibongkar, masyarakat mengancam akan membongkarnya sendiri. Akhirnya, bupati berjanji dan menepati janji untuk membongkar Geraja Pantekosta tersebut. Pada tanggal 19 Juli 2010, bangunan gereja pun dibongkar oleh Satpol PP Kabupaten Bogor sesuai janji Bupati.
Gereja Tetap Melanggar
Pasca pembongkaran dan penertiban, pihak gereja tetap bersikukuh melakukan kebaktian dengan cara mendirikan tenda yang mewah dan ber-AC. Hingga saat ini kebaktian tersebut terus berlangsung. Bahkan, dengan berbagai cara, pihak gereja melakukan pendekatan terhadap warga sekitar untuk mendapatkan tanda tangan untuk mengajukan permohonan izin kepada Pemkab Bogor melalui instansi-instansi terkait
Dibuat kesal, masyarakat lalu membuat laporan sekaligus pernyataan penolakan izin pembangunan gereja yang disampaikan kepada Bupati Bogor. Hampir saja masyarakat dibuat letih dengan ulah gereja. Secara psikologis maupun sosiologis, masyarakat Desa Limusnunggal merasakan keresahan, karena mereka terus saja mengadakan kegiatan eksklusif dengan jamaah yang datang dari luar wilayah dengan berbagai kendaraan pribadi.
Kondisi tersebut sangat kontras dengan suasana sekitar yang memang termasuk kawasan industri, penduduk dengan 99% adalah musim, sangat berdekatan dengan Masjid Baiturrahman (seberang jalan, hanya beberapa puluh meter saja). Apabila Pemkab Bogor bersama instansi terkait tidak melakukan upaya preventif, berarti sama dengan membiarkan rusaknya persatuan anak bangsa, rusaknya kerukunan umat beragama dan merusak tali persaudaraan warga Desa Limusnunggal yang saat ini mulai dipecah-belah oleh pihak gereja.
“Kami berharap, jangan sampai permasalahan ini dibiarkan berlarut-larut sehingga membangkitkan emosi warga muslim yang didasari oleh semangat membela dan mempertahankan akidah,” kata Ketua Fosmil H. Sarta Ahmad Firdaus, S.Ag
Sudah sangat jelas, pihak gereja selalu saja melanggar Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri No. 88 dan 9 tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragana dan Pendirian Rumah Ibadat pasal 13 dan pasal 14.
Dalih Gereja Pantekosta
Pihak gereja pun berdalih dan menyalahkan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang tidak bersedia memenuhi permohonan rekomendasinya mendirikan gereja. FKUB pun dituding belum pernah melakukan dialog dengan pihak gereja dan tokoh masyarakat Limusnunggal, tetapi FKUB Kabupaten sudah mengeluarkan surat yang menyatakan belum dapat memebuhi permohonan rekomendasi perolehan izin penderian Gereja Pantekosta Indonesia Sidang Jemaat Kota Wisata, hanya dengan alasan Surat Penolakan dari FOSMIL.
Ketua Panitia Pembangunan Gereja Pantekosta Indonesia Sidang Kota Wisata, Rekson Sitorus SH mengklaim telah melampirkan daftar nama dan fotokopi KTP, masing-masing 113 orang Jemaat, 60 orang Tokoh Masyarakat, 105 warga Desa Limusnunggal, disahkan oleh Ketua RT 01, Ketua RW 04 dan Kepala Desa Limusnuggal. Bagi gereja, persyaratan itu dianggap sudah cukup alasan hukum bagi FKUB mengeluarkan rekomendasi tertulis. ● Desastian