Jakarta (voa-islam) – Jum’at (15/4/2011) siang tadi, Front Pembela Islam (FPI) menyatroni Kantor Harian Republika di Jl. Warung Buncit Raya No.37, Jakarta untuk menggugat Film “?” Hanung Bramantyo yang dinilai merusak akidah umat Islam. Sebelum bergerak ke Republika, FPI juga menyambangi Kantor Lembaga Sensor Film (LSF) karena telah meloloskan sensor film pluralisme tersebut.
Seperti diketahui, Direktur utama Harian Republika Erick Thohir, terlibat sebagai Produser Eksekutif dalam film tersebut. Erick Thohir juga merupakan pimpinan dari Mahaka Picture dan Mahaka Media yang menerbitkan Harian Republika.
Bukti lain, harian ini mensponsori film itu itu adalah dengan dimuatnya wawancara khusus Hanung Bramantyo sepanjang satu halaman penuh di harian ini, tepatnya hari Rabu, 6 April 2011 pada rubrik wawasan, dengan judul: “Bukan Film Pluralisme atau Liberal”. Bahkan koran ini pula yang mengiklankan film “?”, dimana logo Republika terdapat di dalam deretan sponsor film tersebut.
Setiba di kantor Republika, perwakilan FPI seperti Habib Salim al Attas alias Habib Selon (Ketua DPD FPI Jakarta), Ustadz. Ja’far Shiddiq, Habib Fachry Jamalulail, Ustadz Awit Mashuri, Ustadz Maman (Wakil Panglima FPI), diterima baik oleh Direktur Pemberitan Harian Republika,Ikhwanul Kiram dan Pemimpin Redaksinya Nasihin Masha, juga kolomnis Betawi Alwi Shihab.
Dalam pertemuan itu,dibacakan pernyataan sikap FPI atas film Hanung yang dinilai merusak akidah. Menurut FPI, walau dalam film tersebut ada berjuta kebaikan, namun jika dengan sengaja diselipkan suatu propaganda kesesatan, maka tetap sesat dan menjadi persoalan. Bahkan berjuta kebaikannya akan dipahami sebagai kamuflase untuk menutupi kesesatannya, sekaligus untuk dijadikan alasan justifikasi atas kesesatan tersebut.
Masyarakat awam, kata FPI, adalah tingkatan kelompok orang yang lugu dan polos, dengan pola pikir yang sangat sederhana. Mereka hanya ‘memahami’ apa yang mereka dengar, lihat, tonton dan saksikan dari film tersebut, bukan “menafsirkan” apa yang dimaksud sang sutradara atau produsernya.
Dalam pertemuan itu, Ustadz Ja’far Shiddiq dari DPP FPI, sangat menyesalkan kebijakan Republika yang mensupport penyebaran ajaran pluralism yang telah difatwakan haram Majelis Ulama Indonesia (MUI). FPI juga mempertanyakan, kenapa Republika yang berslogan milik umat Islam ini, memuat wawancara khusus Hanung Bramantyo dengan panjang lebar, sementara tulisan Adian Husaini (pengamat Sepilis dari INSIST) dan KH. A. Cholil Ridwan, Lc ini yang menanggapi film tersebut, justru ditolak untuk diterbitkan Republika. What happen? Jelas ini tidak fair. Republika hanya mengutip sedikit saja. Bukankah setiap media ada hak jawab?
“FPI siap bayar, kalau memang harus membayar agar tulisan Ketua MUI Bidang Budaya KH Cholil Ridwan dan Adian Husaini tersebut dimuat,” ujar Ustadz Ja’far ngeledek.
Ustadz Ja’far menegaskan, FPI tak ingin diadu domba dengan Banser. Karena ini tidak terkait organisasi manapun. Namun FPI sangat menyesal dengan Republika yang pernah memuat tulisan mantan Ketua Umum Muhammadiyah Ahmad Syafi’I Ma’arif dengan judul “Preman Berjubah” untuk menyudutkan FPI. Bahkan FPI diplesetkan dengan sebutan “Front Pencela Islam”. Lucunya, ketika dikonfiormasi, Redaksi Republika mengaku salah ketik.
FPI mengingatkan Republika agar tidak berada di barisan kaum Sepilis (sekularisme, pluralism dan liberalism). FPI mempertanyakan, apakah Republika masih memperjuangkan Islam? Atau ingin seperti Majalah Tempo atau Kompas? Republika hendaknya tidak abu-abu alias tidak jelas.
“Selama ini FPI selalu mengikuti perkembangan harian ini. Saya pernah dengar, saham Republika pernah dijual kepada umat Islam. Dalam hal ini FPI selalu tabayyun. Jika dulu Republika beralasan salah ketika ketika menyebut FPI sebagai Front Pencela Islam. Maka tulisan yang memuat wawancara Hanung dengan panjang lebar, bahkan mengiklankan film liberal ini, jangan lagi berdalih salah ketik.
Jika Erick Thohir tidak melakukan perubahan, maka FPI bersama ormas Islam lainnya mengancam akan mengerahkan massa yang lebih besar lagi mendatangi kantor Republika. Bukan hanya itu, umat Islam akan diserukan untuk memboikot untuk tidak membeli dan membaca Republika. Karena itu, FPI meminta kepada Republika agar tidak memuat tulisan dari kelompok yang berpaham liberal, seperti Ahmad Syafii Maarif, Qomaruddin Hidayat, Ade Armando, dan sejenisnya.
Republika Bantah Dibiayai Tommy Winata
Direktur Pemberitaan Harian Republika Ikhwanul Kiram Mashuri saat menanggapi kritik dan masukan dari FPI, menjelaskan, Republika tidak terlibat dan tidak ada kaitannya dengan produksi film “?”. Republika adalah anak perusahaan dari Mahaka Media milik Erick Thohir, “Erick Thohir sendiri tidak pernah intervensi dengan keredaksian,” kata Ikhwanul Kiram.
Ikhwanul mengakui, Koran Komunitas Muslim ini pernah diprotes oleh NU dan Muhammadiyah. Yang jelas, Republika merasa berterima kasih atas kritik dan masukannya, agar media milik umat Islam ini menjadi lebih baik lagi. “Saya bahkan mengusulkan agar Habib Rizieq Syihab diberi ruang untuk menjadi penulis rutin kita di Republika. Pastinya, Republika tidak pernah berubah dari visi-misi keislamannya,” ujarnya.
Sementara itu Pemimpin Redaksi Republika Nasihin Masha mengatakan, ia sempat mendampingi saudara Adian Husaini dan KH. Cholil Ridwa saat menonton penayangan film Hanung yang perdana. “Bahkan saya pernah mendapat forward SMS soal protes KH. Cholil Ridwan. Bagi saya, penting dengan sesama umat Islam untuk saling mengingatkan.”
Kata Nasihin, tidak benar jika selama ini Republika tidak memberi ruang kepada Adian Husaini. Republika justru menyediakan ruang khusus dengan rubric Islamia yang digarap oleh Adian dan teman-teman dari kalangan intelektual INSIST.Bukan hanya itu, Republika sangat concern terhadap persoalan akidah. Sebagai contoh, Republika terdapat rubric khusus “Dialog Jum’at”, “Islam Diggest”.
Nasihin mengakui, yang namanya kealpaan dan kekhilafan itu biasa di setiap media. Kerena itu tolong diingatkan. Namun Nasihin tidak ingin ada pihak ketiga yang bertepuk tangan jika dengan sesama umat Islam saling bergesekan. Republika tetap komitmen dengan perjuangan FPI. Tidak ada yang mendegradasi FPI.
Ketika ditanya, apakah,saham Republika dibiayai oleh Tommy Winata? Pemred Republika membantah anggapan itu. “Tidak benar Republika dibiayai oleh Tommy Winata.”
Semoga saja, Republika memperbaiki kesalahannya. Terpenting, jangan pernah berada di barisan kaum liberal dan pluralism untuk mensupport penyebaran propaganda mereka. Termasuk membiayai film “?” Hanung yang kental dengan pemahaman pluralismenya yang keliru. ● Desastian