View Full Version
Sabtu, 16 Apr 2011

Ketidakpatutan Wartawan dalam LiputanTerorisme Harus Dievaluasi

Jakarta (voa-islam) – Dilema antara kecepatan dan keutamaan, kerap dihadapi media ketika memburu berita. Media hanya berpikir bagaimana meningkatkan rating tanpa mempertimbangkan empati sosial. Tak dipungkiri, rating menjadi parameter industri televisi. Padahal rating bukan satu-satunya proses kreatif dari sebuah produksi televisi. Rating hanya didesain untuk mengidentifikasi apa yang sering ditonton masyarakat, bukan apa yang aman ditonton masyarakat dari media penyiaran.

Hal itu terungkap dalam sebuah diskusi dan peluncuran buku “Panduan Jurnalis Meliput Terorisme” yang digelar oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) di Café Oranye, City Walk Sudirman, Jakarta Pusat, belum lama ini (14 April 2011). Hadir sebagai pembicara, Agus Sudibyo (Dewan Pers), Andi Widjajanto (pengamat militer dan terorisme), Budi Setyarso (Jurnalis Peliput Terorisme) dan Kombes Pol Boy Rafli Amar (Kabag Penum Mabes Polri).

Isu terorisme adalah salahsatu wilayah liputan media massa yang dinilai pelik. Narasumbernya terbatas dan seringkali tidak mau dikutip secara terbuka. Akses ke informasi tangan pertama pun jadi terkendala. Untuk itu, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta bekerja sama dengan Friedrich-Ebert-Stiftung (FES) menerbitkan buku “Panduan Jurnalis Meliput Terorisme”. Buku panduan ini disusun melalui serangkaian focus group discussions (FGD) bersama para jurnalis peliput isu terorisme, pengamat media, akademisi, polisi dan masyarakat umum.

Menurut Agus Sudibyo dari Dewan Pers, karya jurnalistik harus menimbang kepatutan dan dampak. Ruang public televisi bukan hanya harus memperhatikan apa yang membuat pemirsa memelototi layar televisi, namun juga apa dampaknya.

“Persoalannya, bukan mengapa sebuah peristiwa diberitakan, tetapi bagaimana pemberitaan dilakukan. Apakah sudah memenuhi kepatutan atau keutamaan ruang public media? Titik pijaknya adalah Kode Etik Jurnalistik (KEJ) dan Standarsd Program Siaran,” kata Agus.

KEJ menegaskan, wartawan Indonesia harus menghindari penayangan berita yang bermuatan sadisme, kekejaman, dan tidak menghormati pengalaman traumatik korban. Sedangkan Standard Program Siaran lebih rinci menyatakan program siaran dilarang menampilkan secara detail korban yang berdarah-darah, korban atau mayat dalam kondisi tubuh yang terpotong dan kondisi mengenaskan lainnya.

Agus memberi contoh, ketika jurnalis TV menyorot gambar seorang perwira berguling-guling kesakitan. Tangannya putus bersimbah darah setelah gagal menjinakkan sebuah bom di Komunitas Utan Kayu, Jakarta Timur. Dengan kondisi mengenaskan, perwira polisi di digotong menuju mobil ambulans.

Horor bom Utan Kayu, pada Selasa (15 Maret 2011) sore itu ditayangkan beberapa stasiun televisi. Detik-detik meledaknya bom, potongan tangan yang terlempar ke udara, darah berceceran, perwira polisi berguling-guling ditayangkan berulang-ulang sepanjang sore hingga malam. Setelah beberapa kali disajikan apa adanya, tayangan itu pun disamarkan sehingga dareah, potongan tubuh dan wajah korban tak lagi kelihatan.

Tayangan bermuatan kengerian dan sadism itu sengaja diulang agar masyarakat dapat menangkap momen peristiwa secara utuh. Masalahnya, karya jurnalistik tidak hanya sekedar bermuatan faktualitas, kecepatan dan eksklusivitas. Karya jurnalistik juga mesti menimbang kepatutan dan dampak.

Dari sudut pandang kode etik dan standard siaran, terdapat problematic dalam pemberitaan televisi tentang bom Utan Kayu. Pertama, ketika momen perwira polisi berguling kesakitan dengan tangan terputus ditayangkan di layar teevisi, bagaimana kira-kira perasaan keluarga, handai taulan dan rekan-rekan kerjanya? Tentu menjadi sedih, terguncang, malu dan seterusnya. Dari sisi moral, media mestinya meringankan beban atau memberikan empati, tidak justru menambah kesedihan dan memperdalam trauma mereka.

Kedua, apakah kekerasan, kengerian dan horror dalam peristiwa bom Utan Kayu itu patut disajikan untuk masyarakat dari segala umur dan semua lapisan? Perlu ada pengaturan pembatasan tayangan yang menampilkan kekerasan, sadisme dan kengerian, karena berdampak buruk terhadap psikologi khalayak, khususnya anak-anak.

Pemberitaan yang vulgar dan openuh kengerian tentang peristiwa kekerasan juga berpotensi mengintensifkan ketakutan atau kepanikan dalam masyarakat. Meskipun barangkali tujuan media adalah meningkatkan kewaspadaan masyarakat.

Ketiga, yang juga patut diperhatikan adalah kemungkinan eksposure media televisi justru menginspirasi kelompok-kelompok ekstrim untuk melakukan tindakan teror lebih lanjut. Apa yang terjadi pada peristiwa Bom Mumbay beberapa tahun lalu perlu menjadi pelajaran.

Tayangan langsung televisi saat itu menggambarkan dengan detail upaya penanganan pasca tragedy di Taj Mahal Hotel. Apa yang ditayangkan oleh jurnalis televisi tersebut tidak mempertimbangkan dampak dan hanya mengejar kecepatan dan eksklusivitas, pemberitaan televisi justru memperunyam situasi.

Dikatakan Agus, masyarakat seharusnya tidak berdiam diri melihat berbagai ketidakpatutan di layar televisi. Masyarakat punya hak untuk bersikap tegas terhadap pelanggaran-pelanggaran prinsip-prinsip ruang publik media. Misalnya dengan menulis di surat pembaca atau mendiskusikannya di forum-forum tertentu.

“Tak kalah penting, memaksimalkan keberadaan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Dewan Pers untuk menegakkan standard siaran dan kode etik secara konsekuen. Perbaikan ruang public penyiaran, tergantung kepada sikap masyarakat sendiri,” tandas Agus. ● Desastian

 

 

 

 





latestnews

View Full Version