“Tanggal berdirinya Budi Utomo sering disebut sebagai Hari Pergerakan Nasional atau Kebangkitan Nasional. Keduanya keliru, karena Budi Utomo hanya memajukan satu kelompok saja. Sedangkan kebangkitan Indonesia sudah dari dulu terjadi… Orang-orang Budi Utomo sangat erat dengan cara berpikir barat. Bagi dunia luar, organisasi Budi Utomo menunjukkan wajah barat” (Robert van Niels).
SEJARAH memang ditentukan oleh mereka yang berkuasa. Dengan kekuasaan itu pula, tiap tanggal 20 Mei pemerintah memperingati Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas), mengacu pada organisasi Boedi Oetomo yang didirikan pada 20 Mei 1908.
Sebuah kekeliruan yang nyata bila Boedi Oetomo yang didirikan pada 1908 diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional (Harkitnas). Karena tiga tahun Boedi Oetomo lahir, pada tanggal 16 Oktober 1905 sudah berdiri Sarekat Dagang Islam (SDI) di Surakarta yang didirikan oleh Haji Samanhoedi.
SDI jelas mempunyai arah perjuangan memajukan ekonomi pribumi dan melawan hegemoni asing. SDI yang bercorak Islam dan nasionalis, tidak tersekat-sekat dalam kedaerahan yang sempit.
….Sarekat Islam (SI) bercorak Islam dan nasionalis, tidak tersekat-sekat dalam kedaerahan yang sempit….
SDI yang kemudian pada 10 September 1912 menjadi Sarekat Islam (SI), meletakkan dasar perjuangannya atas tiga prinsip dasar, yaitu: Pertama, asas agama Islam sebagai dasar perjuangan. Kedua, asas kerakyatan sebagai dasar himpunan organisasi. Ketiga, asas sosial ekonomi sebagai usaha untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang umumnya berada dalam taraf kemiskinan dan kemelaratan.
Mengenai alasan menjadikan Islam sebagai asas gerakan, baik H. Samanhoedi ataupun para tokoh Sarekat Islam lainnya, beralasan agar ruh Islam menyatu dalam setiap langkah pergerakan. Selain itu, hal ini juga untuk menunjukkan sikap kepada Belanda, yang berupaya menjauhkan Islam dari politik. (Lihat: M.A. Gani, Cita Dasar dan Pola Perjuangan Syarikat Islam, hal. 15)
….Sarekat Islam memajukan ekonomi pribumi dan melawan hegemoni asing dan kolonial Belanda…
SDI yang kemudian menjadi SI lebih jelas mengedepankan kepentingan Islam-nasional-pribumi dan tidak dibentuk oleh kepentingan kolonial. Bahkan, SI jelas-jelas menolak segala pelecehan terhadap Islam yang ketika itu marak dilakukan oleh kelompok Boedi Oetomo. Karena itu, menjadikan Boedi Oetomo sebagai organisasi yang melandasi kebangkitan nasional adalah sebuah distorsi sejarah, bahkan bisa disebut sebagai “de-islamisasi” fakta sejarah.
Usaha untuk menjadikan sejarah berdirinya SDI sebagai Harkitnas pernah diusulkan oleh umat Islam. Pada Kongres Mubaligh Islam Indonesia di Medan tahun 1956, umat Islam mengusulkan kepada pemerintah untuk menjadikan tanggal berdirinya SDI sebagai Harkitnas berdasarkan karakter dan arah perjuangan SDI. Sayang, usulan itu sampai saat ini belum jadi kenyataan.
Kritik terhadap dijadikannya Boedi Oetomo sebagai landasan kebangkitan nasional tak hanya datang dari umat Islam.
Peneliti Robert van Niels juga mengatakan, “Tanggal berdirinya Budi Utomo sering disebut sebagai Hari Pergerakan Nasional atau Kebangkitan Nasional. Keduanya keliru, karena Budi Utomo hanya memajukan satu kelompok saja. Sedangkan kebangkitan Indonesia sudah dari dulu terjadi…Orang-orang Budi Utomo sangat erat dengan cara berpikir barat. Bagi dunia luar, organisasi Budi Utomo menunjukkan wajah barat. ” (Robert van Niels, Munculnya Elit Modern Indonesia, hal. 82-83).
….Tanggal berdirinya Budi Utomo sebagai Hari Kebangkitan Nasional adalah keliru, karena Budi Utomo hanya memajukan satu kelompok saja….
Pada masa lalu, kelompok nasionalis-sekular yang berada dalam pengaruh Freemason dan Theosofi, didukung oleh elit-elit kolonial sehingga berhasil menentukan siapa aktor dan tokoh dalam panggung sejarah di negeri ini. Maka sudah saatnya ketika umat Islam memiliki akses ke jantung kekuasaan, mempunyai ikhtiar untuk meluruskan sejarah yang penuh selubung dan distorsi ini. Fakta sejarah harus diungkap dengan tinta emas berlapis kejujuran, bukan dengan tinta hitam yang sarat kepentingan.
Tulisan ini adalah ikhtiar untuk mengungkap sejarah dengan fakta-fakta yang terang dan apa adanya. Fakta-fakta sejarah ini, mungkin pada masa lalu tertutup selubung kekuasaan yang mempunyai kepentingan untuk memutus mata rantai peran umat Islam dalam pentas nasional di negeri ini. Upaya memarginalkan peran umat Islam dalam kiprah pergerakan nasional berujung pada “de-islamisasi fakta sejarah”. Ironisnya, sampai hari ini umat Islam masih memahami sejarah dalam kaca mata buram penguasa! [artawijaya/voa-islam.com]