View Full Version
Kamis, 26 May 2011

Pledoi Ustadz Baasyir: Saya Tidak Pernah Lihat Wajah Dulmatin

Jakarta (voa-Islam) – Dalam Pledoi selanjutnya, Ustadz Abu Bakar Ba’asyir juga memberi sanggahan terhadap dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang mengatakan, Ustadz Abu pernah mengadakan pertemuan dengan Dulmatin dalam rangka mengatur pelatihan senjata di Aceh.

Dalam sanggahannya, Ustadz Abu menegaskan, ia tidak mengenal Dulmatin. Bahkan, ia tidak pernah melihat wajahnya, kecuali di koran, majalah dan televisi. Tegasnya, pertemuan rahasia dengan Dulmatin tidak pernah ada. “Pertemuan dengan siapa saja, saya ditemani oleh staf inti saya, meskipun rahasia. Sebagaian besar, waktu saya selau di luar kota. Kalau tidak keluar, saya selalu aktif di markaz JAT.”

Sungguh tuduhan JPU, kata Ustadz Abu, sangat tidak masuk akal. Dia hanya mendapat keterangan dari seorang saksi, yaitu Ubeid. Padahal, semua cerita Ubeid tentang dirinya, sewaktu dia ditahan sudah disiarkan oleh TV One +  2 bulan sebelum Ustadz Abu ditangkap.

“Saya melihat sendiri, wajah Ubeid dan ceritanya di TV One, persis seperti dimuat dalam dakwaan JPU. Penyiaran Ubeid di TV ini tujuannya untuk membentuk opini masyarakat, bahwa benar-benar saya terlibat rencana pelatihan militer di Aceh yang dituduh perbuatan teror,” tandasnya.

Lebih jauh Ustadz Abu dalam pledoinya mengungkapkan, Ubeid adalah saksi yang dipaksakan, setelah disiksa agar mau memberi kesaksian menurut kemauan Densus. Sama halnya seperti saksi-saksi yang diajukan untuk menjeratnya saat persidangan kasus Bom Bali.

Yang menarik, Ustadz Abu membeberkan adanya saksi bernama Ustadz Khairul Ghazali yang membongkar rekayasa Densus. Dalam sebuah surat pernyataannya, Khairul Ghazali menyatakan taubat atas kesilapannya atas ucapan dan tulisannya yang menyudutkan Ustadz Abu Bakar Ba’asyir. Ketika itu, Khairul mengaku dalam kondisi tertekan, setelah disiksa Densus 88 secara biadab, sehingga kesaksiannya ditujukan untuk menjerat Ustadz Abu. (Baca selengkapnya: Pernyataan Taubat Ustadz Khairul Ghazali).

Saksi-saksi rekayasa yang dihadirkan JPU itulah, yang membuat Ustadz Abu Bakar Ba’asyir semakin yakin, bahwa dakwaan JPU atas dirinya, bukan untuk menegakkan keadilan, tapi untuk mengejar target, seorang Ustadz Abu harus ditahan, meskipun dengan bukti dan saksi “jadi-jadian”, yang pada akhirnya ingin menghentikan dakwahnya yang dianggap berbahaya oleh Fir’aun AS dan antek-anteknya.

Bukti lain tentang tuduhan atas Ustadz Abu Bakar Ba’asyir adalah JPU hanya menduga alias konon, ada pertemuan dirinya dengan Dulmatin untuk merencanakan latihan militer di Aceh. Anehnya lagi, ketika Ubeid ditanya, apa isi pertemuan Ustadz Abu dengan Dulmatin, Ubeid menjawab tidak tahu.

Himpun Dana untuk Palestina

Terkait tuduhan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menilai Ustadz Abu Bakar Ba’asyir memiliki peran dalam mengumpulkan dana untuk mendanai latihan senjata di Aceh, mendapat sanggahan dari Ustadz Abu.

Dalam pledoinya, Ustadz Abu Bakar Ba’asyir mengakui bahwa ia memang mengumpulkan infaq fii sabilillah yang ia terima dari semua anggota Jama’ah Ansharut Tauhid (JAT) maupun dari umat Islam dalam pengajian yang beliau isi.

Dana fii sabilillah yang Ustadz Abu himpun, tak lain, untuk pembiayaan program-program Jama’ah, antara lain: program pembentukan laskar, program pembinaan dan latihan fisik laskar, program pelaksanaan amar ma’ruf nahi mungkar dan program rencana pembelian markaz pusat di Solo. “Sebagian lagi, kami salurkan ke luar, yakni lewat Mer-C senilai Rp. 150 juta untuk membantu rencana pendirian Rumah Sakit di Palestina,” jelas Ustadz Abu.

Yang jelas, tidak ada dana yang disalurkan untuk pelatihan senjata (I’dad) di Aceh. Tuduhan pengumpulan dana dengan tujuan untuk membiayai pelatihan di Aceh adalah fitnah tanpa bukti yang jujur. Ini hanya ceritanya saksi-saksi rekayasa buatan Densus 88.

“Aneh, saya dituduh memengaruhi dan menghasut dr. Syarif Usman, Haryadi Usman dan Abdullah al Katiri agar menyediakan dana untuk Aceh. Itu fitnah terlaknat. Ketiga ikhwan tersebut, memang berinfaq untuk jama’ah, ingin beramal lillahita’ala. Mereka tidak tahu menahu tentang Aceh, dan saya tidak pernah menyuruh mereka infaq untuk Aceh,” papar nya.

Ustadz Abu, selaku amir jama’ah memang selalu menasihati semua anggota Jama’ah agar berlomba-lomba berinfaq fii sabilillah. Karena infaq merupakan sifat orang bertaqwa. “Jadi, saya tidak pernah menerangkan infaq untuk ‘’idad di Aceh. Ini hanya kesimpulan JPU saja,” tukasnya.

Jaksa dan Hakim yang menghukum dr. Syarif Usman dan Haryadi Usman, sama saja menghukum orang yang berinfaq di jalan Allah. Demikian pula Abdul Haris, selaku amir Jama’ah wilayah DKI Jakarta yang menggerakkan amal infaq di kalangan jama’ah untuk Palestina, kemudian diserahkan ke  Mer-C. Sama halnya, dengan Thoyyib sebagai bendahara JAT hanya menerima dana infaq yang masuk dari jama’ah dan umat Islam untuk berbagai keperluan jama’ah dengan sepengetahuan amir. Yang jelas, Thoyyib tidak tahu menahu tentang latihan di Aceh.

Adapun Ubeid saat masih aktif dalam Jama’ah tidak pernah mengumpulkan dana, hanya kadang-kadang ke Jakarta untuk menyerahkan dana Pelestina kepada Mer-C karena perintah Amir. Setelah Ubeid keluar dari jama’ah dan bergabung ke Aceh, Ustadz Abu tidak tahu kegiatan Ubeid di Aceh. ● Desastian


latestnews

View Full Version