Jakarta (voa-islam) – Beginilah pandangan ngawur dari seorang Direktur Deradikalisasi BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) Prof. Dr. Irfan Idris ketika bicara soal “NII dan Deradikalisme Agama” di Jakarta, kemarin (26 Mei 2011). Katanya, di Eropa, meski sebagian besar penduduknya atheis, namun tingkat kedamaiannya begitu tenang. Hal itu bisa dibuktikan saat kita berkunjung ke sana. Ia juga bilang, perjuangan memasukkan tujuh kata dalam Piagam Jakarta adalah perjuangan separuh nafas.
“Tapi anehnya di negara kita, Indonesia, sekalipun terdapat enam agama yang diakui konstitusi, justru malah kacau. Padahal, semua agama mengajarkan kedamaian. Itu tidak berbanding lurus dengan apa yang disampaikan ajaran agama,” ungkap Irfan Idris dalam sebuah Seminar Nasional “Warning NII & Radikalisme Beragama” yang diselenggarakan Yayasan Paguyuban Ikhlas bekerjasama dengan The Nusa Institut di Jakarta, Kamis (26 Mei 2011).
Irfan Idris saat menulis tesis “Islam dan Konstitusional” untuk program S3, mengaku terinspirasi dengan buku yang berjudul “Beyond Believe” dan “World Without Syariah”. Dari buku itu dan pengalaman studinya selama di Eropa, membuahkan sebuah kesimpulan: Hidup Damai tanpa Syariah.
Menurutnya, semua agama mengajarkan konsep kedamaian. Negara ini bukan negara Islam, melainkan negara hukum. Perjuangan umat Islam untuk memasukkan tujuh kata atau kalimat dalam Piagam Jakarta, katanya, adalah perjuangan separuh nafas. Kenapa?
“Karena, sebelum Piagam Jakarta, ada yang namanya Piagam Madinah (Madinah Charter), kemudian Kerajaan Islam, Kesultanan Islam, bahkan Amandemen UUD 45. Karena itu, kita tidak butuh politik lipstik, tapi politik garam, yang penting adalah rasanya,” ujar Irfan.
Program Pesantren Deradikalisasi
Dalam waktu dekat ini, seperti dikatakan Irfan Idris, BNPT akan mengelola beberapa program, diantaranya mengadakan pengajian ke pesantren-pesantren, terutama di kawasan Depok, Jawa Barat. Pengajian itu akan memasukkan program deradikalisasi, yakni bagaimana memininalisir pemikiran-pemikiran yang radikal. “Radikalisme memang tidak mungkin dihilangkan, tapi di minimalisir,” jelas Irfan.
Lanjutnya, BNPT akan bekerjasama dengan tokoh masyarakat dan mubaligh untuk menjalankan empat program deradikalisasi, yaitu: Re-edukasi, Rehabilitasi, Re-sosialisasi, dan Re-integrasi. Saat ini, Re-edukasi sedang berjalan.
Seperti yang disarankan Kementerian Agama (Kemenag) dan Kementrian Pendidikan Nasional (Kemendiknas), setiap institusi pendidikan di tingkat SD, SMP dan SMA hendaknya menambah jam mata pelajaran untuk memasukkan nilai-nilai nasionalisme, diantaranya: Pendidikan Agama, Bahasa Indonesia, dan Matematika. Pertengahan 2011 dan awal 2012 nanti, akan dijalankan tahapan sosialisasi guna memperkaya dan mempertajam kurikulum agar siswa dapat mengetahui bahaya terorisme dan radikalisme sedini mungkin.
Dikatakan Irfan Idris, sudah 25 bom meledak di Indonesia. Yang paling berbahaya, selain terorisme, menurutnya adalah radikalisme. Jangan karena pikiran kosong, hati kosong, dan perut kosong, lalu menghalalkan segala cara. Sehingga, memaknai agama secara dangkal.
Sepertinya BNPT yang anti syariah ini hendak memadamkan cahaya Islam dengan secara perlahan tapi pasti. Tapi percayalah, cahaya Islam tak bisa padam.● Desastian