Bekasi (voa-islam) – “Bekasi Bersyariah Tegakkan. Sekularisme, Liberalisme, Pluralisme, Pancasila Hancurkan.” Demikian seruan Jamaah yang hadir dalam Tabligh Akbar “Menuju Bekasi Bersyariat”, Ahad (5/6/2011) lalu di Masjid Islamic Centre Bekasi.
Kegiatan yang diselenggarakan oleh Kongres Umat Islam Bekasi (KUIB) ini dihadiri para tokoh Islam dan alim ulam, antara lain: Ustadz Harada Nurdin (Ketua KUIB), Ustadz Salih Mangara Sitompul (Sekjen KUIB), Ustadz Abu Muhammad Jibril (MMI), Ustadz Aka, Ustadz Murhali Barda (FPI Bekasi Raya), Ustadz Awith (DPP FPI), KH. Sulaiman Zakawerus, Ustadz Bernard Abdul Jabar (DDII Bekasi) dan para alim ulama lainnya.
Dalam tabligh Akbar tersebut, umat Islam Bekasi berkomitmen untuk mencanangkan Bekasi Bersyariah. Dalam sambutannya, KH. Sulaiman Zakawerus mengatakan, pencanangan Bekasi Bersyariah bukan hanya membuat orang sekuler alergi, tapi juga bergidik alias takut. “Tentu untuk menuju Bekasi Bersyariah, hendaknya dimulai dari diri dan rumah tangga umat Islam itu sendiri. Bagaimana mau menerapkan syariah, jika tidak diawali dengan kejujujuran, akhlak yang baik dan hidup sederhana,” kata Kiai.
Ia mencontohkan, banyak pejabat dari partai Islam yang jam tangannya dibeli senilai Rp. 32 juta, sepatunya seharga Rp. 28 juta. Belum lagi jas safarinya. Bahkan mobilnya dibeli senilai Rp. 1,4 miliar. Bukan hanya itu, dalam hal bertransaksi, entah itu tender atau proyek, umat Islam kerap tak tahan godaan ketika harus berhadapan dengan hal-hal yang subhat dan diharamkan oleh agama. Misalnya praktek mark up, uang pelicin, berprilaku curang dan sejenisnya.
“Yang jelas, kita akan mendengar bahasa dari orang Islam sendiri, yang katanya kita harus luwes, jangan terlalu kaku dalam bertransaksi. Nah, hal semacam inilah yang harus dibenahi,” tukas Zakawerus.
Tekad Bekasi Menuju Syariah, lanjutnya, jangan hanya sekedar slogan saja. Tapi disertai dengan komitmen dan upaya memperbaiki diri, dimulai dari diri sendiri dan lingkungan keluarga. Sekecil apapaun kita bisa tegakkan syariah di lingkungan tempat kita bekerja. Bagaimana syariat akan tegak, jika kita sendiri justru sering melecehkan syariat. Semoga niat baik kita untuk menjadikan Bekasi menuju Syariah dicatat sebagai amal Jihad Fi Sabilillah,” kata kiai Zakawerus.
Menurut KH. Zakawerus, Program Bekasi Bersyariah bukan dimaksudkan untuk merubah peraturan-peraturan yang sudah ada. Terpenting, pentolan-pentolan daerah harus orang-orang yang memiliki kesadaran untuk menegakkan syariah. Tidak cukup hanya sekedar berbusana muslim, mengucapkan salam, tapi hal yang lebih besar lagi. Juga tentu, perlu diatur format seperti apa Bekasi Bersyariah yang akan ditata. Yang jelas, harus tetap dalam koridor konsepsi berbangsa dan bernegara. “Saya optimis, Bekasi Bersyariah akan segera terwujud, seperti halnya kaum muslimin bisa mengalahkan Persia dan Romawi,” tegasnya.
Untuk menuju Bekasi Bersyariah, Kiai Zakawerus mengajak umat Islam agar bersatupadu, saling bergandengan tangan dan melepaskan mantel-mantel organisasi yang membanggakan kita selama ini. “ Islam tidak ditegakkan oleh partai, tapi oleh dakwah dan jihad. Rasulullah Saw tidak pernah bikin revolusi, apalagi bom masjid. Rasulullah tidak pernah bikin partai, tapi mengajak umatya untuk berjihad.
Kisah Soeharto dan Babi
Dalam kesempatan yang sama, KH. Sulaiman Zakawerus pun mengkritik Pancasila yang selama ini dijadikan pandangan hidup. Ia berbagi cerita ketika dirinya pernah menjadi pengurus organisasi Islam Persis (Persatuan Islam) di wilayah Tanjung Priok pada masa Orde Baru. Seperti diketahui, Soeharto kala itu memberlakukan UU No 8 tahun 1980 tentang keormasan, yayasan, hingga partai, dimana asasnya haryus tunggal, yakni Pancasila. Dengan pemberlakun UU itu, Persis kemudian mengganti asasnya dari Islam menjadi Pancasila.
“Sebagai pengurus Persis untuk wilayah Tanjung Priok, saya menolak untuk mengganti asas Islam dengan Pancasila. Pendirian itu berakibat saya harus disidang oleh lima ustadz besar Persis. Saat disidang, saya bertanya pada ustadz yang mensidang saya, apa hukumnya memperingati maulid Nabi Saw? Lalu dijawab, bi’dah dholalah. Lalu saya taya lagi, apa hukumnya menerima Pancasila itu? Ustadz Persis itu menjawab, ah itu kan cuma stiker. Kemudian saya jelaskan pada mereka. Menerima pancasila hukumnya adalah bid’ah kubra dholalah kubra. Alhasil, saya dipecat dari Persis,” ujarnya mengenang.
Di zaman Orba, bila ada ustadz yang mengkritik Pancasila, bisa dipastikan akan dikenai hukuman penjara selama 9 tahun. Bukan hanya mengkritik Pancasila, tapi juga mengkritik rezim yang berkuasa akan dijatuhi sanksi masuk bui.
Pernah terjadi, ketika Imaduddin Ibrahim alias Bang Imad menyindir pejabat di masa Orba dengan sebuah cerita parody. Begini ceritanya, Gubernur DKI saat itu, Cokropranolo memang suka klenik. Suatu ketika ia pernah mendengar Patung Pangeran Diponogoro yang ada di Monas itu berbisik. “Cokro..saya minta kuda yang saya tunggangi untuk diganti dengan kuda yang lain. Mengingat kuda yang saya tunggangi itu sudah terlalu lama, sejak tahun 1825.”
Lalu Sang Gubernur melapor pada Presiden Soeharto di Cendana untuk memberitahu permintaan Patung Diponogoro yang bisa ngomong itu, perihal permintaannya mengganti kuda. Akhirnya, berangkatlah Sang Gubernur mendatangi Patung itu didampingi oleh Presiden Soeharto. Lalu apa kata Patung Diponogoro? Rupanya patung itu protes keras seraya berkata: “Kanjeng, saya minta kuda untuk diganti, tapi kenapa kau bawa babi.”
Plesetan inilah yang kemudian menghantarkan Bang Imad masuk ke dalam bui, gara-gara bilang Soeharto itu babi. “Cerita ini benar-benar terjadi,” kenang Kiai Zakawerus.
Di akhir sambutannya, Zakawerus mengingatkan umat Islam dimanapun berada, khususnya di Kota Bekasi, agar tidak bersikap tenang-tenang saja ketika melihat kemungkaran dan kemaksiatan kian merajalela. Sebab, hal itu akan mengundang murka Allah dengan menurunkan azabnya.
“Ketika wajah kita tidak berubah saat melihat kemungkaran, maka Allah memerintahkan malaikatnya untuk menghancurkan negeri ini, termasuk orang sholeh yang tidak berbuat maksiat. Ketika syariat Islam diolok-olok, harga diri umat Islam diinjak-injak, desa kita dibedol karena pemurtadan dan Kristenisasi, lalu kita tidak bereaksi, maka sikap diam dan cuek kita inilah yang dinilai Tuhan punya andil untuk mengundang azab-Nya ke sini. Semoga azab tidak turun d iota Bekasi, karena sikap umat Islam yang tidak peka terhadap lingkungannya,” harap Kiai Zakawerus berharap. Desastian