JAKARTA (voa-islam.com) – Sejumlah tokoh masyarakat, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan pakar hukum yang tergabung dalam Koalisi Advokasi RUU Intelijen menolak rencana pengesahan Rancangan Undang-undang Intelijen Negara pada rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) 15 Juli 2011 mendatang. RUU mengandung multitafsir sehingga mengancam penegakan hukum dan hak asasi manusia.
Salah satu yang menolak adalah Advokat senior Adnan Buyung Nasution. Pakar hukum ini menilai draft RUU Intelijen Negara belum memenuhi prinsip keadilan. Pengaturan masih berorientasi pada perlindungan kepentingan publik oleh intelijen sebagai aparatur negara. Sementara kepentingan asasi individu warga negara diabaikan. Menurutnya, indikasi itu terlihat dari munculnya sejumlah pasal yang justru membuka keleluasaan secara tidak terbatas kerja intelijen. Dia khawatir itu bisa menjadi alat kekuasaan pemerintah.
Buyung menilai RUU tersebut sengaja diselundupkan untuk kepentingan melindungi penguasa. Buyung mempermasalahkan beberapa poin dalam RUU tersebut yang terkait wewenang intelijen dalam menangkap, menahan, dan memeriksa secara paksa.
”Saya khawatir yang membuat di belakangnya adalah orang-orang yang paranoid terhadap penegakan hukum, yang berpikir bagaimana melindungi pemerintah,” ujar Adnan Buyung saat ditemui dalam diskusi bertajuk ‘Menolak Pengesahan RUU Intelijen oleh Parlemen dan Perombakan Total RUU Keamanan Nasional,’ di Hotel Arya Duta, Jakarta Pusat, Ahad (10/7/2011).
....Saya khawatir yang membuat di belakangnya adalah orang paranoid penegakan hukum...
Apabila RUU Intelijen ini jadi disahkan, maka ada indikasi Badan Intelijen Negara (BIN) dijadikan alat oleh pemerintah yang berkuasa. “Masa Intelijen dijadikan alat pemerintah?” kata pendiri Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia itu.
Buyung menilai ada 30 pasal bermasalah dalam RUU Intelijen. Karenanya ia mendesak pemerintah dan DPR merombak total RUU tersebut. “Setidaknya ada lebih dari 30 pasal bermasalah dalam RUU intelijen. Apalagi pembahasan RUU Intelijen di parlemen belakangan ini terkesan tertutup,” ujar Buyung.
Buyung berkisah, pada 2002 silam, RUU ini pernah dibahas bersama di sebuah hotel di Bogor, Jawa Barat. Pada hari pertama, poin yang disebut-sebut merupakan hasil penyelundupan tersebut tidak ada dalam draf, namun tiba-tiba muncul pada hari kedua.
”Saat itu saya bilang, saya marah kalau ini diteruskan. Saya akan keluar dan akhirnya pertemuan itu bubar. Itu terjadi waktu zaman Hendropriyono jadi Ketua Badan Intelijen Negara,” tuturnya.
Pasal yang diselundupkan itu, menurut Adnan, melanggar demokrasi, hukum, dan hak asasi manusia. Dia melihat ada sisa-sisa pikiran Orde Baru yang mau dikembalikan lagi.
”Ada yang menyelundupkan pasal itu, harus ditanya siapa otaknya, mestinya diadili. UU Intelijen itu harus berorientasi pada kepentingan umum, untuk melindungi rakyat, bukan untuk penguasa karena bisa abuse of power,” katanya.
Sementara itu, Todung Mulya Lubis mendesak pemerintah dan DPR tak hanya menunda, tetapi mencabut RUU Intelijen dan Keamanan Nasional. "Keamanan nasional penting, tapi tidak boleh atas nama keamanan nasional, hukum, hak asasi manusia, dan demokrasi diinjak-injak," tegasnya.
Todung menambahkan, poin yang menyatakan Intelijen dapat menangkap, menahan dan memeriksa secara paksa, menginjak-injak hak asasi manusia. Poin tersebut dapat menyebabkan keamanan nasional terancam.
”Pasal 1 UU Intelijen sangat karet, multitafsir. Apa yang dimaksud dengan ancaman negara? Begitu banyak yang bisa dikatakan ancaman, seperti demokrasi, kebebasan pers, bahkan pemberantasan korupsi,” katanya.
Contoh lainnya, menurut Todung, Pasal 24 jo Pasal 39 RUU yang mengatur tentang rahasia intelijen. Penjelasan mengenai apa saja yang termasuk dalam kategori rahasia intelijen dinilai multitafsir. “Multitafsir, dengan begitu, banyak yang terancam, demokrasi, kebebasan pers, pemberantasan korupsi,” katanya.
Todung melihat UU Intelijen ini tidak bisa dilihat terpisah dengan UU Keamanan Nasional, UU Rahasia Negara dan UU lainnya yang saling berkaitan. “Kita mesti minta pada pemerintah, bukan saja menunda pembahasan RUU Intelijen, tapi mencabut, karena tidak mengajak serta publik dalam pembahasannya,” katanya. (taz/viv)