View Full Version
Senin, 11 Jul 2011

Kurang Kerjaan, Intelijen Pantau Akun Facebookers

Jakarta (voa-islam) – Awas ada intel di Facebook. Beberapa pengguna Facebook harus ekstra hati-hati. Karena belakangan ini para intelijen akan memantau semua jejaring sosial yang ada di Internet. Kabar ini bukan gosip, bukan pula isu baru untuk mengalihkan isu lama seperti yang biasa terjadi di negeri ini. Ini kabar serius, datang dari gedung parlemen saat memperbincangkan Rancangan Undang-Undang tentang Intelijen Negara.

Awas ada intel. Kalimat ini muncul di Facebook. Bagai gayung bersambut, ada komentar: “Bagi yang merasa dirinya intel, mengaku saja, akan saya delete. Saya suka bercanda, nanti dikira serius,” kata salah seorang facebooker dalam sebuah statusnya.

Dalam RUU tentang Intelijen Negara, Pasal 14 rancangan itu berbunyi: “BIN memiliki wewenang melakukan intersepsi komunikasi dan/atau dokumen elektronik, serta pemeriksaan aliran dana yang diduga kuat terkait dengan kegiatan terorisme, separatisme, spionase, subversi, sabotase, dan kegiatan atau yang mengancam keamanan nasional.” Dokumen elektronik itu bisa menjangkau jejaring sosial, seperti Facebook, Twitter, mailing list, dan sejenisnya. Sedangkan soal komunikasi bisa berarti penyadapan.

Luar biasa repotnya para intel itu nanti. Karena harus memelototi sekian banyak akun Facebook, Twitter, dan sejenisnya, lalu menyadap pembicaraan telepon, pesan pendek, dan berbagai komunikasi lewat saluran seluler. Belum lagi memilah mana obrolan yang serius dan mana obrolan bercanda.

Terorisme, separatisme, spionase, subversi, dan sabotase memang dikenali ciri-cirinya, meskipun bisa saja beda penafsiran. Tetapi soal “mengancam keamanan negara”, apa kriterianya? Kalau para intel secara gampangan memanfaatkan kewenangan ini, akan banyak orang dibuat susah. Apalagi kalau sang intel dimanfaatkan oleh kekuasaan, orang akan mudah sekali masuk sel untuk diperiksa.

Bila setelah dilakukan pemeriksaan, ternyata tak terbukti melakukan yang dituduhkan, institusi intelijen dalam hal ini Badan Intelijen Negara akan membebaskannya dalam waktu tujuh hari. Lha, kok enak benar? Mestinya ada ganti rugi, ya, minimal minta maaf. Kalau mau adil, sang intel yang menangkap itu dimasukkan ke sel.

Namun jangan berburuk sangka terhadap para intel, baik intel yang serius dengan penyamarannya maupun intel di masa Soeharto yang celingak-celinguk di kerumunan wartawan dan kadang berbaik hati memperkenalkan diri: “Saya intel.” Kita membutuhkan aparat intelijen yang kuat. Dalam berbagai kasus kerusuhan maupun ledakan bom yang menimbulkan banyak korban, sering kita menyalahkan aparat intelijen yang tak bekerja dengan baik.

Jadi, para intel memang harus diperkuat perlengkapannya dan juga kewenangannya. Masalahnya adalah, bagaimana mempergunakan “senjata” itu. Seberapa jauh mereka boleh menyadap, apa saja yang boleh disadap, dan bagaimana pertanggungjawabannya atas penyadapan itu. Siapa yang mengawasi mereka. Jangan sampai urusan pribadi yang tak ada kaitannya dengan “mengancam keamanan negara” juga disadap--apalagi kemudian dijual untuk tayangan gosip di televisi, misalnya.

Karena itu, jangan terburu meloloskan rancangan undang-undang yang sangat penting karena menyangkut kehidupan banyak orang ini.  Juga harus diperjelas lagi kewenangan yang mungkin tumpang-tindih dengan instansi lain. Kita punya pengalaman pahit dengan kegiatan intelijen di masa lalu yang hanya jadi alat kekuasaan belaka, tak jelas mana kepentingan negara dan mana kepentingan penguasa untuk mempertahankan jabatannya.

Tolak RUU Intelijen Negara

Sekitar 70 tokoh masyarakat yang tergabung dalam koalisi masyarakat sipil membentuk komunike bersama, menyatakan menolak pengesahan Rancangan Undang-undang Intelijen Negara. Tokoh hukum Adnan Buyung Nasution mengatakan pemerintah dan DPR harus menunda pengesahan dan melakukan revisi terhadap rancangan itu dengan lebih banyak melibatkan partisipasi rakyat.

“Saya harap pemerintah dan DPR sadar bahayanya,” kata Buyung di Jakarta, Ahad (10/7/2011).

Selain menunda pengesahan RUU Intelijen, pemerintah dan DPR juga diminta merombak total RUU Keamanan Nasional dengan alasan masih banyaknya permasalahan substansial yang dapat mengancam kebebasan sipil, hak asasi manusia dan demokrasi.

Adnan menjelaskan undang-undang tersebut akan mengembalikan otoritarianisme dan tindakan represif pemerintah. Lebih lanjut, Adnan menjelaskan kecurigaannya terkait rancangan tersebut disusun oleh orang-orang yang masih dibelenggu pola pikir zaman orde baru.

Salah satu yang ia takutkan adalah terjadinya kembali kasus-kasus penculikan oleh TNI, karena ketidakpercayaan pada kemampuan polisi mengatasi gangguan keamanan. Tetapi tindakan penangkapan oleh TNI itu tidak disertai dengan mekanisme pertanggungjawaban atau check and balances. Akibatnya banyak orang ditangkap lalu dihilangkan, bahkan sampai sekarang tidak pernah kembali atau diketahui nasibnya.

Adnan mengungkapkanpada dasarnya  RUU Intelijen sudah pernah diajukan pada 2002 di masa pemerintahan Presiden Megawati Sukarnoputri. Tetapi gugur karena ada penolakan yang kuat dari masyarakat sipil.

Adnan berpendapat diajukannya kembali rancangan tersebut menunjukkan sikap paranoid terhadap keberhasilan menegakkan demokrasi, hukum dan hak asasi manusia yang dicapai selama reformasi.

Penyusunan RUU Intelijen, dikatakan Adnan harus diletakkan dalam kerangka RUU Keamanan Nasional yang saat ini sedang memasuki tahap pembahasan di Komisi I DPR. Koalisi meminta agar pengesahan RUU Intelijen dilakukan setelah RUU Keamanan Nasional.“Meski niatnya baik untuk mengatur intelijen tetapi tidak bisa berdiri sendiri,” kata Buyung.

Senada dengan Adnan, Todung Mulya Lubis menegaskan bahwa pemerintah dan DPR tak hanya harus menunda, tetapi mencabut RUU Intelijen dan Keamanan Nasional.“Keamanan nasional penting tapi tidak boleh atas nama keamanan nasional, hukum, hak asasi manusia dan demokrasi diinjak-injak,” kata Todung.

Menurut Todung dengan adanya RUU Intelejen, pencapaian demokrasi, kebebasan pers, bahkan pemberantasan korupsi bisa terancam karena celah interpretasi yang sangat luas di dalam RUU Intelijen.

RUU Intelijen seharusnya dibahas dalam satu paket dengan RUU Keamanan Nasional dan RUU Rahasia Negara. Karena itu RUU ini harus dibatalkan dan DPR harus menyusun rancangan baru yang lebih komprehensif dan melibatkan publik. 

Tolak RUU Intelijen Negara

Setidaknya ada lima poin persoalan yang perlu dikritisi dari Rancangan Undang-undang Keamanan Nasional. Pertama menyangkut definisi atau istilah-istilah yang digunakan di dalam rancangan.  Misalnya tentang penggunaan istilah Keamanan Nasional atau Keamanan Negara.

"Banyak definisi atau istilah yang menjadi pertentangan," kata Wakil Ketua Komisi I DPR TB Hasanudin memberi catatan.

Persoalan berikutnya adalah tentang pelibatan TNI di dalam penanganan keamanan nasional. Menurutnya rancangan ini masih lebih banyak melibatkan TNI sebagai unsur keamanan nasional, dan belum melibatkan unsur lain dengan optimal. Padahal dalam konteks keamanan nasional banyak terdapat unsur lain selain TNI, kepolisian dan Badan Intelijen Negara (BIN).

Catatan yang ketiga, kata TB Hasanudin terkait dengan keadaan darurat. RUU Keamanan Nasional dinilainya masih mengacu pada Undang-undang Darurat tahun 1959 yang mengatur tentang kondisi-kondisi darurat. Undang-undang ini menurutnya harus direvisi terlebih dahulu, agar bisa dirumuskan kembali seperti apa saja yang termasuk kondisi darurat.

Persoalan keempat dalam RUU Keamanan Nasional adalah dimasukkannya pasal tentang kuasa khusus yang mengatur tentang kewenangan menangkap dan menyadap yang dimiliki beberapa institusi. Pasal ini menjadi persoalan karena seolah-olah beberapa institusi seperti BIN sudah memiliki kewenangan menangkap dan menyadap.

Wewenang penyadapan dan penangkapan ini nantinya diatur di dalam Undang-undang Intelijen yang saat ini rancangannya masih dibahas di DPR. "Padahal RUU Intelijen belum final," terang Hasanudin. Komisi I juga sudah menyepakati untuk menghapuskan pasal tentang penangkapan.

Sedangkan terkait penyadapan, dewan sepakat kewenangan diberikan atas izin pengadilan. Hasanudin mengatakan hal terakhir yang patut diberi catatan tentang rancangan ini adalah pengertian ancaman yang masih bisa diperdebatkan. Ia sepakat pengertian ancaman bisa menjadi pintu yang akan membawa Indonesia kembali ke zaman orde baru. (Desastian/AR/dbs)


latestnews

View Full Version