View Full Version
Rabu, 13 Jul 2011

Balas Dendam Polisi pada Syaban Abdurrahman

Mataram (voa-islam) – Menurut keterangan Polisi NTB, Ponpes Umar bin Khattab diketahui sebagai tempat Muhammad Sya`ban Abdurrahman (18) -- salah satu santri di pesantren Umar Bin Khattab – belajar. Sya’ban dituduh membunuh seorang petugas reskrim  Polsek Bolo, Kabupaten Bima, Brigadir Rokhmad Saefuddin, 30 Juni 2011 silam, saat sedang tugas piket. Polisi itu tewas dengan tiga tusukan senjata tajam, karena dianggap kafir dan pantas dibunuh.

Ketika itu, Syaban mendatangi Polsek Bolo pada dini hari dan mengaku akan melapor. Di saat bersamaan, ia langsung menusuk sebilah sangkur ke perut korban. Brigadir Rokhmad bersimbah darah, dan tewas di tempat. Ia mengalami luka robek di perut.

Pekan lalu, Sya’ban tiba di Mataram melalui Bandara Selaparang, Rabu (6/7/2011) setelah sebelumnya ditahan di Mapolres Bima. Syaban dibawa seperti layaknya pelaku tindak pidana terorisme. Tangan diborgol, dengan kepala ditutup kain hitam.
 
Saat tiba di bandara, Syaban mendapat pengawalan ketat oleh puluhan aparat Brimob Polda bersenjata lengkap, disertai kendaraan Densus 88 Anti Teror. Sya’ban kemudian dibawa ke tahanan Mapolda NTB, dalam iring-iringan mobil panser.

Sementara ini, Syaban masih dikenakan pasal 338 KUHP, tentang pembunuhan biasa yang bisa mengarah pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana. Namun, jika terbukti terkait dengan aktivitas terorisme, Syaban akan dibawa Densus 88 ke Jakarta. Saat ini di Bima, polisi juga masih mengawasi ketat keluarga besar Syaban, yang bermukim di Desa Sanolo, Kecamatan Sila, Kabupaten Bima.

Santri Ditangkap

Polisi tidak tinggal diam dengan kematian rekannya, Brigadir Rokhmad. Rabu (13 Juli 2011), polisi  mengamankan 13 orang,  5 orang dari keluarga dari Firdaus (korban ledakan bom di pesantren) sudah dilepas. Ke-13 orang yang diamankan itu, yakni: Mustakim Abdullah (17) status pelajar, M Ibnu Umar (40) pekerjaan wiraswasta, Ridwan (26) pekerjaan kernet, Sahrir H Manhir (23) pekerjaan tukang ojek, Abdullah (55) pekerjaan petani.

Selanjutnya, Rahmat Hidayat (22) pekerjaan wiraswasta, Julkifli (32) pekerjaan petani, Muslamin (38) pekerjaan guru, H Arifin (50) pekerjaan petani, Irwan seorang buruh, M Nur (60) pekerjaan petani, Nasaruddin (42) pekerjaan petani, dan Orasi (52) pekerjaan petani.

Ke -13 santri yang ditangkap itu adalah orang yang mengantarkan bersama kendaraan jenazah Firdaus. Mereka ditangkap karena diduga membawa senjata tajam. Juga diduga mengancam polisi saat hendak memvisum jenazah Firdaus. Polisi lalu melumpuhkan mereka, sehingga visum dapat dilakukan.

Dari sejumlah orang yang diamankan polisi, ada dua santri yang ditangkap. Mereka ditangkap lantaran membawa CPU komputer yang diduga berisi data penting terkait ledakan bom di pesantren itu.Dua santri yang diamankan adalah Muhdar Ismail (42) dan Fatma Muhdar (36). Dari tangan keduanya, polisi menyita sebuah CPU komputer. Keduanya adalah santri yang berasal dari Desa Leu, Kecamatan Bolo, Bima.

Polisi menduga, CPU komputer itu hendak disembunyikan Muhdar dan Fatma. Polisi kini tengah meneliti data-data yang tersimpan ada dalam CPU komputer itu, termasuk menelusuri file-file yang telah dihapus.

Sumber di Mapolda NTB menyebutkan, ponpes tersebut diduga terkait dengan jaringan terorisme di Aceh. Pendiri ponpes itu, U alias Utbah alias Mujahid, saat ini masih diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. "Salah seorang pendiri Ponpes itu U alias M sudah ditahan terkait kasus pelatihan militer di Aceh," kata seorang perwira polisi di Mapolda NTB.

Terbetik kabar, Utbah alias Mujahid sudah ditahan di Mako Brimob Kelapa Dua, Depok. Pria asal Bima itu dijerat polisi dengan pasal pidana terorisme. Utbah masih menjalani persidangan di PN Jakarta Selatan. Polisi menemukan bukti Utbah menyumbang Rp 60 juta untuk pelatihan di Aceh. Namun dalam persidangan Utbah mengaku tidak pernah tahu soal pelatihan di Aceh maupun pengumpulan dana. (Desastian/dtk)


latestnews

View Full Version