Dompu (voa-Islam) – Dengan cara tidak manusiawi, polisi menghadang jenazah Firdaus yang hendak dikebumikan ke pemakaman umum, pasca ledakan bom yang diduga berasal dari Ponpes Umar bin Khaththab. Kala menghantarkan jenazah Firdaus dengan menggunakan kendaraan umum, polisi menyergap dan langsung menangkap 13 orang santri. Akibatnya masyarakat begitu bereaksi dan marah.
Santri yang ditangkap itu antara lain: Mustakim Abdullah (17 tahun), Ibnu Umar (40), Ridwan (26), Sahrir H Manhir ( 23), Abdullah (53), Rahmat Hidayat (22), Zulkifli (32), Muslamin (38), Arifin (50), Irwan, M Nur (60), Nasarudin (42), dan Orasi (52).
Seperti diberitakan media massa, pada Senin sore, sebuah bom meledak di Ponpes Umar bin Khaththab yang menewaskan Firdaus alias Suriyanto. Kemarin, tatkala jenazah pengurus ponpes itu hendak dikuburkan, polisi mencoba menghadang. Masyarakat dan keluarga korban pun bersitegang dengan polisi memperebutkan mayat itu.
Menanggapi insiden itu, Tim Pengacara Muslim, Achmad Michdan, menegaskan, ledakan bom rakitan di Pondok Pesantren (Ponpes) Umar bin Khaththab di Desa Sanolo, Kecamatan Bolo, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB), Senin (11/7) lalu, sebagai reaksi kemarahan masyarakat setempat yang membalas ulah provokasi aparat kepolisian.
"Mereka memperlakukan warga seperti teroris, padahal belum tentu. Tindakan seperti itu memicu kemarahan warga sehingga berkeinginan untuk menyerang balik,” kata Michdan.
Insiden tersebut, ungkap Michdan, sebenarnya bisa dicegah, asalkan polisi terbuka dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan di sana. Namun, fakta yang terjadi, polisi justru membuat ruang-ruang tertutup di dalam pesantren, sehingga masyarakat mencurigai ada apa di dalam sana. Transparansi sangat dibutuhkan agar masyarakat sekitar mengetahui akar masalah yang sebenarnya. Ini penting, untuk menghindari fitnah adanya rekayasa atau salah tangkap.
Menurut Kepala Divisi Humas Polri Irjen Anton Bachrul Alam di Mabes Polri, Jakarta, kemarin, ada provoksi yang menyebabkan warga turut marah. Tiga polisi dan tiga warga mengalami luka-luka akibat pelemparan batu.
Warga Desa O’o, Kabupaten Dompu, tempat keluarga Firdaus berada, melakukan pemblokiran jalan negara pascaledakan itu. Jalan negara merupakan jalan utama satu-satunya yang menjadi penghubung antara Kabupaten Bima dan Dompu.
Setelah proses negosiasi selama tiga hari yang melibatkan unsure musyawarah pimpinan daerah (muspida) setempat, siang kemarin, akahirnya polisi dapat masuk ke dalam kompleks Ponpes Umar bin Khaththab. Namun, kondisi ponpes dalam keadaan kosong alias sudah tidak ada penghuninya. Diduga, para santri dan pendidik di ponpes itu telah melarikan diri ke gunung-gunung di sekitar Bima. Saat ini, polisi sedang mengejar mereka untuk dimintai keterangan.
Apa yang terjadi di NTB, merupakan buntut dari kasus terbunuhnya Brigadir Rokhmad Syaifudin (29 tahun) di kantor Polsek Bolo, 1 Juli lalu. Anggota Polsek Bolo itu ditusuk oleh Sya’ban (16 tahun), siswa kelas 3 SMP Ponpes Umar bin Khaththab
Bagaimanapun santri Ponpes Umar bin Khaththab yang telah melarikan ke gunung-gunung itu harus diberikan haknya untuk mendapatkan kuasa hukum. Tanpa bukti yang jelas, polisi tidak bisa secara serampangan melakukan perburuan terhadap santri yang sudah dicap sebagai teroris itu. (Desastian/Reb)