View Full Version
Rabu, 27 Jul 2011

Fatwa MUI tentang Pertambangan Ramah Lingkungan, Efektifkah?

Jakarta (voa-islam) – Inilah fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) terbaru tentang Pertambangan Ramah Lingkungan. Meski sudah ada hukum positif  yang mengatur tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, fatwa MUI dianggap perlu untuk melengkapinya.

Semoga saja fatwa MUI yang diluncurkan Rabu (27/7) pagi di Hotel Sultan, Jakarta, ini tak cuma pemanis yang tidak efektif untuk menjerat oknum nakal dari pihak Pemerintah, Legislatif, Pemerintah Daerah, Pengusaha, tokoh dan masyarakat, terkait kerusakan lingkungan hidup.  

Ketika ditanya wartawan dalam jumpa pers jelang siang, apakah dengan fatwa MUI tentang Pertambangan Ramah Lingkungan, dikarenakan hukum positif yang ada tidak berjalan? Menteri Lingkungan Hidup, Gusti Muhammad Hatta membantahnya. Ia mengatakan, bukan berarti hukum positif yang ada tidak jalan. Buktinya,  ada pertambangan nakal yang didenda sebesar Rp 20-36 milyar.

“Kami ingin menggunakan segala cara untuk meminimalkan dampak kerusakan yang ditimbulkan.  Ada tujuh perusahaan yang kini sudah diperingati pihak Kementerian Lingkungan Hidup. Jika dua kali diberi peringatan tidak diindahi, perusahaan nakal itu akan digugat ke pengadilan. Namun, harus diakui, tidak mudah untuk menyeret pertambangan bandel ke pengadilan,” ujar Hatta.

Dalam upaya mengendalikan masalah lingkungan tersebut, Kementerian Lingkungan Hidup melakukan berbagai macam program, kegiatan bahkan memperbaharui Undang-undang No. 23 Tahun 1997 menjadi UU No.32 Tahun 2008 tentang Perlindungan Pengelolaan Lingkungan Hidup, juga menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) dengan MUI.

MoU Kementerian Lingkungan Hidup dan MUI dilakukan pada 15 Desember 2010, di dalamnya disepakati tentang perlunya disusun fatwa mengenai Lingkungan Hidup. Kemudian pada 5 Juni 2011 disepakati Fatwa Pertambangan Ramah Lingkungan. Kehadiran fatwa ini diharapkan tidak mengabaikan pendekatan represif melalui penegakan hukum.

Tujuan Fatwa

Dikatakan Ketua MUI KH. Ma’ruf Amin, fatwa ini disusun untuk merespons semakin memprihatinkannya kondisi lingkungan hidup di Indonesia. Salah satu penyebabnya adalah lemahnya kepedulian berbagai pihak terhadap upaya pelestarian lingkunga hidup.

“Islam punya pandangan dan konsep yang sangat jelas terhadap perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam, karena manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi diperintahkan tidak hanya untuk mencegah perilaku menyimpang, tapi juga untuk amar ma’ruf,” ujar Kiai.

Ketentuan hukum dalam fatwa MUI tersebut, pertambangan boleh dilakukan sepanjang untuk kepentingan kemaslahatan umum, tidak mendatangkan kerusakan, dan ramah lingkungan.

Pelaksanaan pertambangan harus sesuai dengan perencanaan tata ruang dan mekanisme perizinan yang berkeadilan; harus dilakukan studi kelayakan yang melibatkan masyarakat pemangku kepentingan (stake holders); pelaksanaannya harus ramah lingkungan (green mining); tidak menimbulkan kerusakan dan pencemaran lingkungan melalui pengawasan (monitoring) berkelanjutan; melakukan reklamasi, restorasi dan rehabilitasi; peman faatan hasil tambang harus mendukung ketahanan nasional dan perwujudan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan amanat UUD.

Pelaksanaan pertambangan wajib menghindari kerusakan (daf’u al-mafsadah), antara lain: menimbulkan kerusakan ekosistemdarat dan laut; menimbulkan pencemaran air serta rusaknya daur hidrologi (siklus air); menyebabkan kepunahan atau terganggunya keanekaragaman hayati yang berada di sekitarnya; menyebabkan polusi udara dan ikut serta mempercepat pemanasan global; mendorong proses pemiskinan masyarakat sekitar; mengancam kesehatan masyarakat.

Adapun fatwa MUI ini bertujuan: (1) Memperkuat penegakan hukum positif terutama dalam upaya mengendalikan kerusakan lingkungan di sector pertambangan. (2) Memberi penjelasan dan pemahaman yang benar pada seluruh lapisan masyarakat mengenai hukum normatif (keagamaan) terhadap beberapa masalah yang berkaitan dengan lingkungan hidup. (3) Sebagai salah satu upaya untuk menerapkan sanksi moral dan etika bagi pemangku kepentingan, termasuk masyarakat terhadap perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, khususnya di sektor pertambangan.

Menteri Negara Lingkungan Hidup Gusti Muhammad Hatta mengatakan, fatwa ini dijadikan pijakan bagi para pihak, pemerintah, legislative, pengusaha pertambangan, tokoh agama dan masyarakat luas dalam mengelola pertambangan sehingga akan berkelanjutan dan demi menjamin keselamatan dan kesejahteraan bersama. Desastian

 

 

 


latestnews

View Full Version