Jakarta (voa-islam) – Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengecam keras penanganan tindakan terorisme yang sering menyebut dan menjadikan Al Qur’an sebagai barang bukti terorisme.
“Tidak benar itu, bila Al-Qura’n dijadikan barang bukti terorisme. Untuk dijadikan barang bukti, seharusnya hal-hal yang mengarahkan kepada tindakan terorisme itu sendiri. Semua umat Islam tentu punya Al-Qur’an sebagai kitab sucinya. Yang tidak punya malah diragukan keislamannya. Karena itu, jangan jadikan Al Qur’an sebagai barang bukti. Kalau Al Qur’an dijadikan barang bukti, itu sama saja menyebut umat Islam terorisme semua. Jadi harus diluruskan,” ungkap KH. Ma’ruf Amin kepada voa-islam.
MUI juga mengingatkan Densus 88 agar proporsional ketika melakukan razia ke rumah yang diduga pelaku tindakan terorisme, terutama saat merazia rumah yang bersangkutan. Jangan buku-buku ajaran Islam yang temui saat berada di TKP, lalu serta merta menyebut sebagai buku yang mengajarkan radikalisme.
“Buku jihad dalam artian apa? Kalau buku-buku jihad yang proporsional tentu tidak masalah. Aparat juga jangan alergi dengan istilah jihad. Kecuali jika pandangan jihad itu dimaknakan secara tidak proporsional yang mengarah pada tindakan radikalisme, maka bisa saja dijadikan barang bukti,” ujar Kiai.
Menurut KH Maruf Amin, jihad yang tidak proporsional harus diluruskan, sehingga tidak bertentangan dengan jihad yang benar. Tegasnya, kita tidak menghilangkan jihad, tapi meluruskan makna jihad.
MUI sendiri telah mengeluarkan fatwa terkait Terorisme. MUI tegas menyatakan, terorisme itu perbuatan menyimpang, terorisme tidak sama dengan jihad, atau sebaliknya. Karena terorisme dalam Islam hukumnya haram.
MUI juga sudah mendirikan TPT (Tim Penanggulangan Terorisme), dimana KH Ma’ruf Amin sebagai Ketuanya. Tujuan TPT ini didirikan adalah untuk memberikan arahan tentang pemahaman jihad secara benar, juga dalam rangka deradikalisasi.
“Karena MUI tidak punya cukup dana untuk bergerak, lalu kita serahkan pada Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), sehingga MUI tidak perlu bergerak. Tapi kemudian, ketika mulai marak lagi peristiwa pengeboman, seperti yang terjadi di pesantren, lalu ada usulan agar MUI menghidupkan kembali TPT nya. MUI dianggap punya pengaruh dalam meluruskan paham-paham deradikalisasi yang menyimpang.”
Ketika ditanya, apakah kiai melihat ada rekayasa yang dilakukan Densus 88 dalam menangani kasus terorisme? “Wah, saya tidak berani mengatakan ada rekayasa, karena MUI tidak punya data dan bukti soal itu. Menyebut rekayasa tentu harus dibuktikan. Tapi, mungkin saja ada rekayasa, seperti kita mendengar pendapat yang berkembang. Namun, MUI tidak bisa mengatakan itu rekayasa, karena sekali lagi MUI tidak punya data untuk membuktikan adanya rekayasa,” tandas Kiai. Desastian