SERANG (voa-islam.com) – Deden Sudjana, Kepala Keamanan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) Pusat, divonis enam bulan penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Serang, Banten, Senin (15/8/2011).
Deden terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 212 KUHP karena melawan pejabat hukum dan Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang penganiayaan terhadap saksi Idris alias Idis, yang memicu bentrokan Cikeusik, yang menewaskan tiga orang anggota JAI.
Putusan tersebut lebih ringan tiga bulan dibandingkan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menuntut terdakwa Deden Sudjana sembilan bulan penjara karena dianggap telah melakukan penghasutan dan penganiayaan.
“Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melawan pejabat hukum dan melakukan penganiayaan. Oleh karena itu, majelis hakim menjatuhkan hukuman enam bulan penjara dikurangi masa tahanan,” kata ketua Majelis Hakim Sumartono saat membacakan putusannya di ruang sidang utama Pengadilan Negeri Serang, Senin (15/8/2011).
Dalam putusannya, Majelis Hakim mengatakan, terdakwa Deden Sudjana alias Deden bin Sudjana yang menjabat sebagai Ketua Keamanan JAI Pusat telah memimpin rombongan anggota JAI datang ke Kampung Peundeuy, Kecamatan Cikeusik, Kabupaten Pandeglang, Banten, pada 6 Februari 2011. Mereka berangkat dari Bekasi pada 5 Februari 2011 dengan menggunakan dua mobil.
Deden juga diketahui sempat berhenti di Kota Serang untuk menjemput anggota jemaah Ahmadiyah lainnya yang berasal dari Bogor dan Serang. Rombongan tersebut tiba di Cikeusik sekitar pukul 08.00 WIB pada Minggu 6 Februari 2011 dengan beranggotakan 17 orang dengan menggunakan dua kendaraan serta membawa barang bukti tiga tombak, satu karung batu, ketapel, dan golok.
Ketika terdakwa bersama rombongan datang ke Cikeusik sebelum bentrokan tersebut terjadi, Kepala Unit Reserse Kriminal Polsek Cikeusik Inspektur Satu Hasanudin dan Kepala Desa Umbulan, M Johar, sempat mendatangi terdakwa di rumah Suparman untuk melakukan evakuasi untuk menghindari bentrokan karena akan ada unjuk rasa dari massa yang menolak keberadaan Ahmadiyah di Cikeusik.. Namun, terdakwa Deden menolak ajakan aparat tersebut dengan alasan ingin mempertahankan rumah Suparman sebagai aset Ahmadiyah.
Bahkan terdakwa juga menolak ajakan aparat kepolisian yang akan mengamankan terdakwa bersama rombongannya karena akan ada demo massa ke rumah Suparman yang dijadikan tempat berkumpulnya anggota JAI.
“Saat akan dievakuasi dari rumah Suparman, terdakwa menolak ajakan aparat dengan mengatakan, ‘Kalau polisi tidak mampu biarkan saja Pak, biar bentrok kan seru’,” kata Sumartono menirukan ucapan terdakwa Deden.
Atas dasar itulah, Deden Sudjana dinyatakan bersalah melanggar pasal 212 KUHP karena melawan petugas aparat keamanan saat akan dievakuasi dari rumah pemimpin Ahmadiyah Cikeusik, Suparman, sebelum terjadi bentrokan di Cikeusik, Pandeglang Ahad (6/2/2011) lalu.
Namun demikian, Majelis Hakim tidak sependapat dengan dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU), yakni Pasal 160 KUHP tentang penghasutan karena semua unsur-unsur yang didakwakan dalam dakwaan primer tidak terbukti. Namun, terdakwa dikenakan Pasal 212 KUHP karena melawan aparat hukum dan Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan.
Hal-hal yang memberatkan putusan tersebut, yakni perbuatan terdakwa meresahkan masyarakat, khususnya masyarakat Kecamatan Cikeusik Pandeglang. Adapun hal-hal yang meringankan karena terdakwa berlaku sopan selama proses persidangan, belum pernah dihukum, mempunyai tanggungan keluarga. Selain itu, atas pertimbangan dalam pembelaan terdakwa yang menyatakan terdakwa adalah sebagai korban dan sudah memaafkan semua pelaku dalam bentrokan tersebut.
Deden Sudjana menyatakan pikir-pikir atas putusan majelis hakim tersebut. Deden mengaku keberatan atas pasal yang dikenakan yakni pasal 212. Mikir opo maneh Den? [taz/tin, rpb]