Tokoh Muhammadiyah Buya Hamka menegaskan, ketakutan menyebut perkataan jihad adalah dikarenakan hilangnya kepribadian sebagai muslim, atau memang disengaja untuk menghilangkan harga diri sebagai muslim sejati.
"Umat Islam yang diam saja, ketika harga diri kaum muslimin diinjak-injak, dan membiarkan akidah ini tergadaikan dengan dalih toleransi, maka itu bukanlah kerukunan beragama, melainkan dayus, pengecut dan kehinan."
Akhir-akhir ini muncul semacam ketakutan pada masyarakat, ketika umat Islam mengobarkan semangat jihad atau mati syahid. Ini ditandai dengan adanya “Komando Jihad”, yang perkaranya sampai ke muka Pengadilan Negeri, dan seakan-akan berjihad itu diartikan bahwa kaum Muslimin hendak melawan Pemerintah yang sah di Republik Indonesia ini.
Di zaman yang telah lalu, muncul DI (Darul Islam) dan TII (Tentara Islam Indonesia), lalu menjadi santer lah propaganda ke arah itu. Orang lupa bahwa RMS (Republik Maluku Selatan) yang berdasarkan Kristen itu telah pula mencoba memberontak dan gagal. Lalu pemimpin-pemimpin gerakan itu sama nasibnya dengan pemimpin-pemimpin dari pihak Islam yang berontak, yaitu hukuman mati.
Sejak saat itu, orang takut menyebut-nyebut kata “Jihad”. Padahal, kalau jihad tidak ada lagi, agama menjadi terasa lesu dan pemeluk agama itu menjadi pasrah pada nasib, lalu memakai filsafat kehancuran, yaitu ”sebaik-baik untung adalah teraniaya”.
Perkataan Jihad itu diambil dari pokok kata juhd, artinya bersungguh-sungguh, bekerja keras tidak kenal menyerah, mengeluarkan segala kekuatan dan tenaga untuk mencapai maksud yang mulia.
Adapun ’perang’, hanya sebagian kecil saja dari Jihad, bila dirasakan jalan lain telah tertutup. Sebab, memang segala peperangan mesti dikerjakan dengan sungguh-sungguh, strategi yang matang, taktik yang sempurna, teknik yang modern dengan memperhatikan medan dan cuaca. Oleh karena itu, para ahli Islam telah membagi tingkatan jihad menjadi delapan:
Pertama, memerangi dan menentang segala usaha orang kafir, karena hendak membela agama Allah, dengan membendung usaha musuh yang hendak meruntuhkan kekuatan Islam. Bersedia berkorban demi meninggikan Kalimat Allah dan kemuliaan Islam, dengan tidak mengenal lelah dan payah.
Kedua, memerangi usaha orang-orang yang hendak memperingan agama dan menyediakan segala alasan yang kuat untuk menghadapi mereka, sehingga usaha mereka itu gagal.
Ketiga, mengadakan dakwah, sehingga orang banyak kembali kepada kebenaran, dan membawa mereka supaya kembali kepada tuntunan Allah dan Sunnah Nabi Saw.
Keempat, berusaha memerangi hawa nafsu diri sendiri, dengan mengintropeksi dan melengkapi diri sendiri agar memiliki budi pekerti yang luhur dan menjauhi perangai-perangai yang tercela dengan latihan-latihan yang tidak kenal lelah. Dan selalu melengkapi diri dengan mempelajari agama dengan lebih tekun dan mendalam.
Kelima, berjuang menahan pengaruh setan supaya diri jangan terperosok kepada yang syubhat (yang diragukan kebenarannya) dan syahwat (menurutkan kepentingan diri sediri).
Keenam, menjaga diri jangan sampai berteman dengan orang-orang yang jalan hidupnya cacat atau orang jahat, jangan berkasihan dengan orang-orang yang maksiat, putuskan hubungan dengan orang-orang yang fasiq.
Ketujuh, sediakan selalu waktu untuk memberikan pengajaran, petunjuk, tuntunan dan nasihat, supaya oarang paham dengan Al Quran dan Hadits, Ilmu Fiqh, serta sejaah perjuangan Rasullah dan pejuang-pejuang Islam.
Kedepalan, bersedia menerima kritik yang membangun, meminta nasihat kepada ahlinya, ziarah kepada orang-orang yang dianggap taqwa, bergaul dekat dengan ulama yang beramal.
Inilah beberapa kesimpulan yang diambil dari uraian Al-Imam Baidhawi. Oleh sebab itu dapatlah disebut, bahwa orang-orang yang telah memegang ke delapan syarat di atas, sesungguhnya dia telah berjihad fi sabilillah.
Dari Sahl bin Hunaif ra, Rasulullah Saw bersabda: “Barangsiapa yang memohon kepada Allah dengan sesungguhnya agar ia mati syahid, maka akan disampaikan Allah-lah ia ke tempat kedudukan orang yang mati syahid itu, walaupun ia mati di tempat tidurnya.” (HR. Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan An-Nasa’i).
Harga Diri Kaum Muslimin
Di dalam suatu hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra, pada suatu hari Rasulullah Saw didatangi oleh seorang laki-laki, lalu orang itu bertanya kepada Nabi Saw:
“Ya Rasulullah, bagaimana pendapatmu jika datang seorang laki-laki bermaksud hendak mengambil hartaku?”
Nabi menjawab, “Jangan berikan hartamu!”
Orang itu bertanya lagi, ”Bagaimana kalau dia hendak mengambil dengan kekerasan?”
Nabi menjawab, ”Pertahankan!”
Orang itu bertanya lagi, ”Bagaimana kalau aku terbunuh?”
Nabi menjawab, ” Engkau mati syahid”.
Orang itu bertanya lagi, ”Bagaimana kalau aku yang membunuh orang itu?”
Nabi menjawab, ”Dia (orang itu) masuk neraka.”
(Dirawikan oleh Muslim dan Nasa’i)
Tetapi orang yang diam saja, menyerah saja anaknya dimurtadkan orang dengan berbagai cara, atau masjidnya hendak diganti dengan gereja, demi kerukunan beragama, demi toleransi, maka kerukunan beragama dan toleransinya itu bukanlah kerukunan beragama, melainkan dayus, pengecut dan penuh kehinan.
Kata-kata dayus ini biasanya dipakai orang untuk seorang laki-laki yang pulang ke rumahnya tengah malam, kemudian didapati istrinya sedang ditiduri laki-laki lain, lalu dia hanya sabar saja. Laki-laki yang demikian itu dipandang hina dan pengecut. Mengatakan seorang laki-laki dayus adalah penghinaan yang paling besar bagi seorang yang beragama Islam. Laki-laki itu tidak punya harga diri dan kemuliaan, ketika hak asasinya diinjak-injak.
Oleh sebab itu, kata jihad wajib dikembangkan terus. Ketakutan menyebut perkataan jihad adalah dikarenakan hilangnya kepribadian sebagai muslim, atau memang disengaja untuk menghilangkan harga diri sebagai muslim sejati. (Disarikan oleh Desastian)