Jakarta (voa-islam) - Saat dijumpai voa-islam dalam acara Halal Bi Halal dan Silaturahim dengan Keluarga Besar Pelajar Islam Indonesia (PII) di Bekasi, praktisi media Islam, Zaenal Muttaqin, yang juga mantan Pemimpin Redaksi (Pemred) Majalah Sabili, bicara banyak soal masa depan media Islam dan nasib majalah Sabili yang telah mendekati ajalnya itu.
Bicara prospek media Islam ke depan, menurut Zaenal Muttaqin, masih sangat bagus dan berpeluang besar. Terlebih, dalam 20 tahun terakhir ini, perkembangan dakwah Islam sangat luar biasa. Hal itu ditandai dengan bermunculannya kelompok-kelompok pergerakan Islam, dimana anak muda Islam tumbuh sangat baik. Namun, secara intelektual belum didukung sepenuhnya oleh pertumbuhan media yang ada.
“Yang menjadi problem, adalah bagaimana menangkap konten yang cocok, lalu how to manaje. Harus diakui, media Islam selama ini selalu terbentur dua hal, yakni: gagal memberi konten yang cocok dengan kebutuhan masyarakat yang tumbuh. Kalau pun ketemu kontennya, manajemennya tidak dikelola secara baik,” ujarnya.
Zaenal Muttaqin memberi contoh, terutama dari aspek isi. Acapkali, ketika kita memberi penghargaan pada tokoh senior atau pun seorang kiai yang punya nama besar untuk menulis di media Islam tertertu, tidak ada yang berani memeriksa atau mengedit tulisannya. Padahal, untuk memberikan yang terbaik bagi pembaca, seharusnya diperlakukan sama. Siapa pun dia, baik seorang tokoh yang punya nama besar maupun tidak, harus mengacu pada kriteria yang ada, melalui proses edit sebuah naskah tulisan.
Juga sering terjadi, tim redaksi dari level atas sampai bawah, ketika selesai menulis, tidak melalui tahap lolos seleksi. Dengan kata lain, kurang mengacu pada total quality control. Harusnya itu menjadi acuan. Karena itu yang tampil di media, baik di media cetak, elektronik, maupun website harus yang terbaik, dan hasil dari proses yang sangat panjang, yang mengedepankan mutu. Jangan monoton.
Media Islam Bukan Faksionisme
Bagaimana pun Sabili, pernah membuat sejarah sebagai media islam yang bisa mengalahkan media umum. “Ketika Sabili saya pegang, media ini harus mewakili dan memenuhi kebutuhan umat. Media Islam tidak boleh menjadi faksionisme atau kelompok. Perkara pengelolanya masuk kelompok atau lembaga tertentu, itu urusannya. Tapi kalau sudah tampil di media, kita harus memposisikan media itu sebagai media milik umat. Ini yang saya jaga betul,” tandas Zaenal.
Media Islam sebagai media dakwah seyogianya menjadi wadah, tempat semua orang berkumpul untuk islah. Semua pendukung tauhid, pembela Islam, mereka yang ingin tegaknya kejayaan Islam, adalah saudara kita. Siapapun mereka, apapun partai dan latar belakangnya.
“Ketika media menjadi faksionisme atau kelompok, selesai sudah. Itulah yang terjadi pada Sabili. Sangat disayangkan, setelah saya tidak lagi memimpin Sabili, media ini dibawa-bawa ke partai tertentu, lalu menjadi pendukung Qaddafi. Sehingga, pembaca menjadi bertanya-tanya, kenapa dan untuk apa.”
Lebih lanjut, Zaenal Muttaqin menegaskan, sebuah media itu tidak boleh menunjukkan keberpihakan pada kelompok tertentu secara vulgar. Seharusnya media Islam berpihak pada nilai, bukan pada kelompok atau perorangan. Siapapun orangnya, kalau benar, harus dibela. Sedangkan, teman, kalau salah, harus kita koreksi. (Destin)