Jakarta (voa-Islam) – Menarik untuk dikaji, kenapa media nasional bungkam untuk memberitakan dibalik Tragedi 9/11 di Ambon. Hanya media Islam saja, yang gencar memberitakan secara detail apa yang terjadi di sana. Ada kesan, media nasional sengaja menutup-nutupi derita muslim Ambon, seperti rumah muslim yang dibakar, dan kematian tukang ojek Darmin Saiman.
“Kenapa media nasional bungkam? Karena media nasional punya kepentingan bisnis. Media nasional ingin membela sesuatu yang oleh pemerintah dianggap merugikan masyarakat banyak. Bom dianggap merugikan masyarakat banyak, tapi malah berujung merugikan umat Islam,” kata Koordiantor ICAF Mustofa B Nahrawardaya.
Harus diakui, media umum tidak pernah membicarakan soal dampak. Media umum hanya membicarakan kejadiaan saat berlangsung, hanya mengutip pernyataan resmi pemerintah, tanpa membongkar dibalik peristiwa tersebut. Bagaimanapun media umum berkepentingan dengan pemerintah supaya tidak dibredel, karena media umum didirikan dengan biaya besar dan melalui negosiasi yang sangat rumit.
“Kalau media umum ditutup, tentu akan merugikan mereka. Media umum lebih memilih cari aman. Kalau pun ada media yang berseberangan, biasanya bukan pendapat media itu, tapi minjem mulut tokoh tertentu, itu pun tidak serius. Atau, media tidak mampu membongkar suatu kasus. Karena, satu kasus belum selesai, sudah muncul kasus yang lain. Media pun dibuat sibuk sedemikian rupa, agar tidak focus membongkar adanya kejanggalan yang terjadi.”
Menurut Mustofa, gugurnya Darmin Saiman, yang menimbulkan pertanyaan, apakah murni kecelakaan atau dibunuh, seharusnya diungkap secara tajam dan apa adanya oleh media nasional.
“Persoalannnya adalah apakah hukum bisa ditegakkan, meski media telah memblow up foto vulgar soal tragedi di ambon beberapa waktu lalu. Bahkan tanpa ada berita dan foto sekalipun, tetap saja penegakan hukum tidak menjamin.”
Ketika masyarakat tidak disugukan gambar yang sesungguhnya terjadi, media dianggap menutupi fakta. Sedangkan, media dituntut member informasi berdasarkan fakta, tapi kemudian fakta yang ditunjukkan itu dihalang-halangi, bahkan dianggap memprovokasi.
“Apakah provokasi hanya disebabkan oleh gambar? Kan tidak. Sekarang provokasi bisa dilakukan dengan agenda-agenda tersembunyi, atau dikenal dengan strategi yang soft. Misalnya, kenapa 8 orang tewas di Ambon bisa terjadi, dan sebenarnya ini juga provokasi, tapi tidak kelihatan secara gambar. Apa bedanya foto dengan dengan perbuatan mereka.”
Ironisnya, lanjut Mustofa, kenapa pemberitaan Bom Solo, meski yang tewas hanya satu nyawa, sedangkan Ambon 8 nyawa tidak diberitakan secara detail. Ini bukti, pemerintah gagal untuk membuktikan apa yang sesungguhnya terjadi. Boleh jadi pemerintah berpikir, mungkin karena yang tewas ada dikedua belah pihak (islam kristen), kemungkinan tidak menimbulkan kecurigaan atau sebuah provokasi. Tapi, ketika yang tewas satu dari agama tertentu, peristiwa ini menjadi provokasi bagi yang lain.[Desastian]