(voa-islam) - Ma’alim fit Thariq dan Fi Zhilalil Al-Qur’an adalah dua karyanya yang telah memerahkan telinga para penguasa Negara-negara besar dan negerinya. Mereka tidak berhasil menghentikan peredaran bukunya di Mesir dan Negara-negara Muslim lainnya. Menjadi aneh, jika rezim di negeri ini bernafsu untuk mensweeping buku-buku karya Sayyid Quthb yang telah diakui dunia itu.
Dalam sejarah hidupnya, Sayyid Quthb benar-benar tidak lelah untuk berdakwah. Meski ia dizalimi, disiksa, dan dipenjara puluhan tahun, ia tidak pernah putus asa. Bahkan dalam penjara, ia torehkan karya yang lebih besar lagi. Ia revisi dan selesaikan Tafsir Fi Zhilalil Al-Qur’an dalam ruang-ruang sel yang sempit. Walaupun fisiknya dikerangkeng, pikirannya menerobos keluar tembok-tembok penjara dan menembus langit untuk tetap menyampaikan risalah ilahi.
Bukan karena pistol yang digenggamnya, Sayyid Qutbh dizalimi dan dipenjara rezim yang berkuasa. Justru karena pena dan karya-karyanya itulah yang mampu menggugah ribuan pemuda untu bangkit melawan kejahiliahan dan menegakkan Islam.
Ketika berbicara tentang jihad dan perjuangan Ikhwanul Muslimin di Mesir, kita tidak akan melewati seorang tokoh pejuang sejati. Betapa tidak, perjuangan dan kerja kerasnya telah mengubah pandangan dunia Islam tentang jihad. Sebagai seorang penulis produktif, Sayyid Quthb menorehkan tintanya pada lembar-lembar kertas dengan gaya bahasa yang tinggi dan dengan tekanan kata yang tercurahkan begitu hebat.
Berbekal hafalan Qur’an pada usia sebelas tahun, kuliah di fakultas sastra, dan master dari USA, beliau mampu menyelesaikan karya monumentalnya Tafsir Fi Zhilalil Al-Qur’an, meskipun berada di dalam bui. Ketertarikannya dengan Hasan al-Banna (Pendiri Jamaah Ikhwanul Muslimin), Quthb iku bergabung dan berjuang bersama Ikhwanul Muslimin (IM) di Mesir.
Sayyid Quthb dan IM memperjuangkan hak masyarakat muslim kepada pemerintah Mesir, hingga suatu saat Quthb difitnah telah bergabung dengan gerakan radikal dan dituduh melakukan maker terhadap pemerintah Gamal Abdul Naser. Dengan tuduhan inilah,Quthb dijebloskan ke dalam penjara, dan berakhir di tiang gantungan sebagai syahid.
Jiwa As-Syahid Sayyid Quthb telah tiada, namun begitu banyak karya-karyanya yang menghidupkan lentera umat dan menjadi cahaya kebekuan berpikir kita dalam memperjuangkan Islam.
Tokoh Besar
Dr. Hidayat Nur Wahid dalam sebuah kata pengantar buku Sayyid Quthb (biografi dan Kejernihan Pemikirannya) memberi apresiasinya. Dikatakan Hidayat, membaca karya-karya Sayyid Quthb ibarat menyimak pemikiran tokoh besar. Meski ada yang mengkritiknya, pemikiran-pemikiran Quthb tetap memberikan sinarnya sampai kini. Tokoh-tokoh Islam, dari Timur Tengah sampai Eropa tidah habis-habisnya membahas dan mengambil hikmah pemikran dari pemikir terkemuka Ikhwanul Muslimin ini.
Sayyid Quthb telah menulis karya lebih dari dua puluh buku tentang Islam. Buku-bukunya sebagian besar kini telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dan mendapat sambutan yang luas di kalangan aktivis Islam. Ia membahas mulai dari ekonomi Islam, revolusi Islam, keadilan Islam sampai tafsir Al-Qur’an.
Dalam menulis, sebagai seorang ahli sastra dan punya keilmuan Islam yang mendalam, kalimat-kalimat yang dibuat Sayyid Quthb menyentuh akal dan emosional pembaca. Disinilah kadang-kadang para orientalis “terpeleset” hanya menyimak sisi emosinalitas Sayyid Quthb dan mengesampingkan sisi rasional karya-karyanya.Padahal kalimat-kalimat “emosionalnya” lebih dimaksudkan untuk membuat pembaca tersentuh dan merasakan gairah semangat Islam.
Sayyid Qutb sangat menyadari kekuatan dan kelemahan kata-kata. Dalam bukunya, Dirasah Islamiyah, ia menyatakan: “Di beberapa saat, yaitu saat-saat perjuangan yang pahit dilakukan umat di masa lalu, saya terkadang didatangi gagasan putus asa, yang terbentang di depan mata dengan jelas sekali. Dalam saat seperti itu, saya bertanya kepada diri sendiri, “Apa gunanya menulis? Apa gunanya makalah-makalah yang memenuhi halaman-halaman harian? Apakah tidak lebih baik dari semuanya ini kalau kita mempunyai sebuah pistol dan beberapa peluruh, setelah itu kita berjalan keluar dan menyelesaikan persoalan kita berhadapan dengan kepala-kepala yang berbuat sewenang-wenang dan melampaui batas? Apa gunanya kita duduk di meja tulis, lalu mengeluarkan semua kemarahan kita dengan kata-kata dan membuang seluruh tenaga kita untuk sesuatu yang tidak akan sampai kepada kepala-kepala yang harus dihancurkan itu?”
Hidayat Nur Wahid lalu menegaskan, apakah Sayyid Quthb kemudian turun ke jalan dengan membawa senjata dan bom, berhadapan dengan penguasa Mesir yang zalim saat itu? “Tidak, ia tetap berdakwah menyampaikan risalah dengan lisan dan tulisannya. Sayyid Quthb tidak pernah turun ke jalan dengan membawa senjata dan menembak orang-orang yang tidak berdaya,” kata Hidayat Nur Wahid.
Sayyid Quthb sadar, bahwa senjata penanya lebih banyak diharapkan dan ditungu masyarakatnya. Quthb lalu menjawabnya sendiri,”Saya merasa bahwa tulisan-tulisan para pejuang yang independen tidak semuanya hilang begitu saja. Karena ia dapat membangunkan orang-orang yang tidur, ,membangkitkan semangat orang-orang yang tidak bergerak, dam menciptakan suatu arus publik yang mengarah kepada sutu tujuan tertentu, kendatipun belum mengkristal. Tapi ada suatu yang dapat diselesaikan di bawah pengaruh pena itu.”
Sayyid Quthb melanjutkan,”Tapi kata-kata itu sendiri, walaupun bagaimana ikhlas dan penuh daya ciptanya, ia tidak dapat melakukan apa-apa, sebelum ia menempatkan diri dalam suatu gerakan…”
Bila kita baca sejarah kehidupan dan pemikiran-pemikiran Sayyid Quthb, kita akan menemukan mutiara-mutiara yang indah untuk diambil hikmahnya. Usaha para orientalis untuk menyingkirkan karya-karyanya dari khazanah pemikiran islam, terbukti gagal hingga kini. Buku Sayyid Quthb tidak dapat lagi dibaca oleh para pemuda Islam di Mesir, tapi dinikmati oleh jutaan kaum Muslimin di seluruh dunia.
Hidayat Nur Wahid mengatakan, buku-buku Sayyid Quthb, yang hadir hingga kini, benar-benar menjadikan dirinya sebagai “Syahid yang Hidup” (As-Syahid al-Hayyi). (Desastian/dbs)