View Full Version
Selasa, 01 Nov 2011

Terjemah Al-Quran Versi Depag yang Bermasalah Picu Radikalisme

Jakarta (voa-islam) – Telaah syariyah yang dilakukan Majelis Mujahidin menyebutkan, bahwa secara prinsipil maupun substansial, bukan teks ayat Al-Quran yang memicu radikalisme, melainkan terjemah Al-Quran yang dilakukan Depag yang bermasalah, sehingga perlu dikoreksi untuk kemaslahatan umat dan demi menjaga kemurnian Al-Quran.

Ini merupakan bantahan Majelis Mujahidin atas pernyataan Dirjen Binmas islam Kemenag Prof. Dr. Nasaruddin Umar yang menuduh bahwa ayat Al-Qur’an pemicu radikalisme. Sehingga dibuatlah program khusus deradikalisasi Al-Qur’an. Kemudian Kemenag menerbitkan edisi terbaru terjemah Qur’an (2010), untuk tujuan deradikalisasi ayat-ayat Al-Qur’an, juga bekerjasama dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengadakan halaqah nasional deradikalisasi jihad di pesantren dan gerakan Islam.

Berdasarkan kenyataan ini, maka koreksi dilakukan semata-mata untuk menjaga kesucian dan kehormatan Al-Qur’an. Supaya tidak ternodai oleh penyimpangan tangan-tangan manusia, sebagaimana yang terjadi pada kitab suci Yahudi dan Nasrani, yaitu Taurat dan Injil.

Perlu diketahui, gagasan awal mengoreksi terjemah harfiyah Al-Qur’an terbitan Kemenag oleh Amir Majelis Mujahidin Ustadz Muhammad Thalib, muncul sejak tahun 1980-an. Gagasan ini dikerjakan secara intensif terhitung sejak tahun 2000 hingga 2011. Upaya koreksi ini menemukan momentum dan relevansinya, setelah komunitas sekuler dan liberal di Indonesia semaki gigih dan nekad mendiskreditkan kitab suci umat Islam itu. Mereka mengopinikan, bahwa Al Qur’an mengandung unsur-unsur kekerasan dan kebencian terhadap non-Islam.

Mereka menuding, terorisme dan aksi bom yang terjadi di Indonesia dilakukan oleh kelompok teroris ideologi, yang mendasarkan tindakannya pada ayat-ayat Al-Qur’an sebagai kategori radikal.

Dalam Simposium Nasional bertema: “Memutus Mata Rantai Radikalisme dan Terorisme” di Jakarta, Rabu 28 Juli 2010, Dirjen Bimas Islam Kemenag, Prof. Dr. Nasaruddin Umar dengan gamblang menyatakan: “Ini (terjemah Al-Qur’an) bukan produk dominasi negara, melainkan produk bersama dengan masyarakat.” Nasaruddin menegaskan, “Ini merupakan program khusus untuk upaya deradikalisasi.”

Nasaruddin Umar, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah di bidang tafsir itu menyatakan, penyusunan versi baru ini dilakukan Kemenag untuk member pemahaman atas arti ayat-ayat Al-Qur’an.”Karena ada juga ayat-ayat Al-Qur’an yang berpotensi untuk mengajak orang beraliran Islam keras,” tuding Nasaruddin.

Sementara, Kepala Balitbang dan Diklat Kemenag, Abdul Jamil, dan Kepala Bidang Pengkajian Al-Qur’a Puslitbang Kemenag, Muchlis hanafi, meyakini, bahwa tidak ada yang salah dalam terjemah Al-Qur’an, dan mustahil menjadi penyebab terorisme.

Kata Muchlis Hanafi, “Pemahaman terhadap teks Al-Qur’an yang parsial, sempit, dan sikap antipasti terhadap perbedaan pandangan keagamaanlah yang menyebabkan mereka jadi teroris…”

Stigma Radikal

Dalam sambutannya saat launching Tarjamah Tafsiriyah di Hotel Sultan, Jakarta,  Ustadz Irfan S Awwas, selaku penerbit Ma’had An-Nabawy menegaskan, adalah suatu tragedi jika rakyat yang berorientasi pada penegakan syari’at Islam di lembaga negara dituding sebagai kelompok radikal. Sama tragisnya bila Kitab Suci Al Qur’an diposisikan sebagai pemicu tindakan radikal.

Menurut Irfan, munculnya gerakan deradikalisasi agama akhir-akhir ini, dan kemudian dilembagakan menjadi BNPT, sebenarnya berangkat dari apriori ini, sehingga berkembang opini, Indonesia hari ini seakan menjadi zona terbuka bagi kuliah kekerasan yang bersumber dari kitab suci. Dengan proyek deradikalisasi, umat Islam telah disandera dengan stigma radikal, tapi malah membebankan tanggungjawab berat ini pada tokoh agama.

 (Desastian)


latestnews

View Full Version