Jakarta (voa-islam) – Pasca penembakan Riyadus Sholihin, Humas Polda Jatim mengumumkan kronologi penembakan yang terkesan membohongi publik, karena sama sekali tidak sesuai dengan kenyataan.Polisi dianggap berlebihan dan cenderung membohongi publik lantaran alasan yang dibuat- buat untuk menutupi perbuatan polisi yang keji itu.
"Penembakan terhadap korban merupakan perbuatan keji, apalagi dengan alasan yang membohongi masyarakat, baik itu masyarakat Ansor mau pun masyarakat umum," kata Mustofa B Nahrawardaya, koordinator Indonesian Crime Analyst Forum (ICAF).
Riyadus Sholihin, yang sehari-harinya sebagai sopir mobil jemputan karyawan PT Ecco Indonesia, penjual tempe dan guru ngaji ini ditembak anggota reskrim Polres Sidoarjo seusai menyerempet seorang anggota polisi. Sholihin kabur karena ketakutan. Namun bisa dihentikan paksa dan langsung ditembak di tempat oleh Briptu Eko Ristanto, anggota polisi asal Porong, Sidoarjo, dan kemudian tewas. Penembakan itu dilakukan saat korban masih dalam posisi duduk di belakang kemudi mobil Carry bernopol W-1499-NW miliknya.
Namun menurut rilis Humas Polda, Sholihin ditembak mati oleh polisi yang mengejarnya, karena diakui melawan petugas saat akan ditangkap. Bahkan dikatakan polisi, korban membawa celurit. Dan korban dikatakan melawan dengan senjata celurit ketika akan diamankan.
"Kebiasaan polisi memberi alasan stereotip, melawan dan ditembak, tidak bisa begitu saja ditimpakan pada setiap orang yang berurusan dengan polisi. Terhadap penjahat, kemungkinan polisi terbiasa memberikan alasan semacam itu. Namun terhadap aktifis ormas Islam, apalagi anggota Ansor, polisi tidak patut melakukannya," jelas Mustofa.
Menurut Mustofa, sudah saatnya polisi menghilangkan kebiasaan buruk dengan menyampaikan informasi yang menyesatkan kepada masyarakat, dan mencoba, sekali lagi mencoba meluruskan informasi agar tidak dituduh bohong. Karena masyarakat sudah tidak bisa dibodohi lagi, jadi kebohongan publik adalah perbuatan yang bodoh.
Kejadian pembunuhan oleh anggota polisi di Sidoarjo, bagaimana pun telah mencoreng korps kepolisian. Kemungkinan peristiwa semacam itu sudah sering terjadi, namun tidak ada pihak yang peduli dan akhirnya tidak pernah terungkap ke publik.
Dengan adanya protes yang besar dari masyarakat, maka polisi harus berbenah diri, dan tidak boleh lagi mengulangi perbuatan memalukan tersebut, baik di Sidoarjo mau pun di kota-kota lain seluruh Indonesia. Untuk itu, Mustofa meminta agar Kapolri jangan mudah puas dan percaya begitu saja atas prestasi semu yang didapat bawahan, karena kadang prestasi tersebut bukan prestasi yang sebenarnya.
Mustofa mencontohkan, sangat banyak kabar penembakan kaki terhadap orang maupun tembak mati terhadap penjahat dengan kronologi dan stereotip yang mirip. "Yang paling penting adalah mencoba tidak berbohong pada masyarakat, agar masyarakat tidak membenci polisi," pungkas Mustofa. (Desastian/dbs)