Jakarta (voa-islam) – Dalam jumpa pers yang digelar di sekretariat MUI, Jl. Proklamasi No. 51, Menteng, Jakarta Pusat, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menetapkan bahwa Rari Raya Idul Adha jatuh pada hari Ahad tanggal 6 November 2011.
MUI menyerukan, segenap umat Islam untuk menyambut syi’ar malam Idul Adha dengan mengumandangkan takbir, tahmid, dan tahlil dengan penuh khidmad, khusyu dan tertib. “Aparat keamanan diminta untuk secara aktif menjaga keamanan dan ketertiban, pada saat takbir, shalat Idul Adha maupun pada saat penyembelihan qurban,” kata DR. HM. Asrorun Ni’am Sholeh, MA kepada wartawan.
Bagi para khatib, juga dihimbau MUI agar menyampaikan materi khutban yang meneduhkan, memberikan bimbingan keagamaan dengan menyampaikan pesan-pesan moral keagamaan dari ibadah haji, ibadah qurban, dan pentingnya ukhuwah.
Jelang Hari Raya Idul, MUI dalam tausyiahnya menyampaikan beberapa hal terkait pelaksanaan ibadah qurban. Sesuai dengan fatwa MUI No. 12 tahun 2009 tentang Standarisasi Penyembelihan Halal, maka untuk menjamin keabsahan dan kemaslahatan ibadah qurban, MUI memberikan panduan sebagai berikut: Memilih hewan qurban yang memenuhi syarat, diantaranya: hewan memenuhi syarat usia. Untuk kambing telah satu tahun, untuk sapi dua tahu, dan unta 5 tahun; Hewan harus sehat dan tidak cacat.
Dalam kesempatan itu, MUI telah mengeluarkan dua fatwa terkait Penyembelihan Hewan DAM atas Haji Tamattu di Luar Tanah Haram dan soal Badal Thawaf Ifadhah (Pelaksanaan thawaf Ifadhah oleh orang lain).
Fatwa soal Badal Thawaf Ifadhah
Mengenai Badal Thawaf Ifadhah, MUI menjelaskan, bahwa thawaf ifadhah merupakan salah satu rukun haji yang harus dilaksanakan oleh orang yang berhaji agar sah ibadah hajinya. Namun, dalam prakteknya, ada orang yang berhaji, pada waktu pelaksanaan ibadah haji terkena musibah sakit sehingga tidak memungkinkan untuk melaksanakan ibadah thawaf ifadhah, sementara pelaksanaan thawaf ifadhah dengan bantuan orang lain juga mengalami kendala.
Perlu diketahui, Badal Thawaf Ifadhah adalah pelaksanaan thawaf ifadhah yang merupakan rukun haji yang dilakukan oleh orang lain utuk menggantikan seseorang yang sedang berhaji karena sakit atau sebab lain.
Dalam kasus ini, muncul pertanyaan dari Kementerian Agama RI terkait kemudian membadalkan thawaf ifadhah bagi jamaah sakit, serta bagaimana jalan keluar yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah ini. Untuk itu diperlukan fatwa tentang hukum badal thawaf ifadhah guna dijadikan pedoman.
Berdasarkan dalil-dalil yang disertai untuk memutuskan sebuah ketetapan. Ada beberapa ketentuan hukum terkait thawaf ifadhah. Seseorang yang berhaji tetapi tidak melaksanalkan thawaf ifadhah, maka hajinya tidak sah. Adapun Badal thawaf ifadhah (pelaksanaan thawaf ifadhah oleh orang lain) adalah tidak sah.
Jamaah haji yang sakit dan tidak memungkinkan untuk melaksanakan thawaf ifadhah dengan sendiri dapat menggunakan alat bantu. Jamaah haji yang sakit – yang oleh dokter dinyatakan belum memungkinkan untuk melaksanakan thawaf ifadhah , baik dengan sendiri maupun alat bantu – pelaksanaan thawaf ifadhahnya menunggu hingga kondisi memungkinkan.
Jamaah haji yang meninggal sebelum melaksanakan thawaf ifadhah tidak terkena kewajiban badal thawaf ifadhah (pengganti pelaksanaan thawaf ifadhah oleh orang lain).
Untuk itu, MUI merekomendasikan, penyelenggaraan ibadah haji (pemerintah dan swasta) diminta menyediakan sarana dan prasarana untuk membantu pelaksanaan thawaf ifadhah bagi jamaah yang tidak memungkinkan melaksanakannya sendiri.
Kementerian Agama RI diminta menjamin pemenuhan layanan jamaah haji, terutama pelaksanaan rukun-rukunnya, termasuk merumuskan kebijakan tanazul bagi jamaah haji sakit sampai dapat melaksanakan thawaf ifadhah.
Kementerian Agama RI juga diharapkan meminta Pemerintah Arab Saudi untuk memberikan kemudahan bagi jamaah haji yang sakit untuk melaksanakan thawaf ifadhah sebagai salah satu rukun haji, termasuk dengan alat bantu dan sarana/prasarana pendukung. (Desastian)