Histori (voa-islam) - Kebencian terhadap Islam semakin bertambah, tatkala musuh-musuh Islam memanfaatkan isu terorisme untuk mempreteli simbol-simbol Islam yang dianggap berpotensi melahirkan terorisme. Perang melawan teroris pun menjelma menjadi perang melawan Islam. Spionase disebar, propaganda ditebar, umat dibelah, jihad dikaburkan, gerakan Islam dicurigai.
Secara sistematis, awalnya mereka memojokkan pesantren dengan tuduhan sarang teroris. Sunnah pun di bawah ancaman, ketika jenggot, cadar, gamis, celana di atas mata kaki dicap wahabi, habitat teroris. Tidak hanya itu, ajaran Jihad didalam Islam pun dicurigai sebagai ajaran yang menanam benih radikalisme.
Untuk meredam radikalisme itu, mereka mencari-cari jalan untuk memperlemah Islam melalui berbagai cara. Pesantren diberi kucuran dana oleh negara-negara Barat, seperti AS, Inggris, Australia, dengan maksud agar mengubah kurikulum pesantren. Atas nama kerjasama kebudayaan, mereka juga menawarkan program beasiswa bagi santri, kiai dan dosen-dosen perguruan tinggi Islam untuk belajar studi Islam ke pusat-pusat studi orientalisme di Eropa dan Amerika. Termasuk, memberi buku-buku propaganda berkedok peradaban untuk menyebarkan virus pemikiran liberal pada civitas pesantren dan lembaga tinggi Islam lainnya.
Merebaknya Islamphobi dirasakan umat Islam, tidak hanya datang dari luar, melainkan dari dalam tubuh umat Islam itu sendiri. Mereka tak ingin melihat Islam berkembang di Indonesia, khususnya dan dunia umumnya. Tesis Samuel Huntington tentang Clash of Civilization (perang peradaban) antara Barat (Kristen) dan Timur (Islam dan Cina), saat ini terbukti kebenarannya. Target semua itu adalah menghabisi Islam secara tuntas melalui politik, ekonomi, budaya dan sebagainya.
Menebar Spionase
Untuk merealisasikan kehancuran Islam itu, ditebarlah spionase-spionase yang menjadi kaki tangan Barat ke seluruh negeri berpenduduk muslim, termasuk Indonesia. Dari mulai Snouck Hurgronje, Sydnes Jones, hingga Ulil Abshar Abdalla. Jika dahulu, Belanda punya spionase Snouck Hurgronje, Inggris merekrut Thomas Edward Lawrence alias Lawrence of Arabia, Israel pun punya Johann Wolfgang Lotz. Agen-agen resmi negara, seperti CIA (AS), Mossad (Israel), M16 (Inggris) dan agen swasta lainnya punya andil untuk menghancurkan Islam.
Lawrence Arabia, misalnya, ia ditugaskan untuk memprovokasi para kepala suku dan mengobarkan pemberontakan terhadap Monarki Turki, lalu terjadilah Revolusi Arab.
Sedangkan, Christian Snouck Hurgronje adalah spionase Belanda yang mempelajari Islam dan menyebarkan fitnah di tengah masyarakat Muslim. Dengan menggunakan pengetahuan tentang Islam dan sejarahnya, Snouck menjalankan siasat busuknya untuk mencari kelemahan umat Islam dari dalam.
Di balik ”penelitian ilmiah” itulah, ia melakukan aktivitas spionase, demi kepentingan penjajah dan melanggengkan kekuasaan kolonial. Dengan cara manipulasi, pengkhianatan, dan pura-pura masuk Islam, Snouck berganti nama menjadi Abdul Ghaffar, mempelajari Islam di Mekkah Al Mukarramah, bahkan menunaikan ibadah haji.
Selama di Hijaz, ia berbaur dengan masyarakat Indonesia yang mukim di sana, dan menjalin hubungan erat dengan para ulama Mekkah dan Indonesia, khususnya asal Jawa, Sumatera, dan Aceh. Banyak data-data penting dan informasi yang diperoleh, saat ia memata-matai gerakan anti penjajahan, terutama ihwal rencana para ulama Indonesia yang akan menyerukan jihad melawan Belanda di Tanah Air.
Seperti diketahui, dahulu, musim haji adalah waktu yang tepat berkomunikasi dan saling tukar informasi diantara pemimpin umat dari berbagai belahan dunia. Saat kembali ke Indonesia, Snouck menikahi dua wanita Muslimah, salah satunya anak kiai asal Bandung. Kemudian ia menawarkan diri kepada pemerintah Belanda untuk ditugaskan di Aceh. Yang jelas, banyak informasi yang disuplai Snouck kepada Belanda. Ia membuat laporan panjang yang berjudul ”Kejahatan-kejahatan Aceh”. Laporan ini menjadi acuan dan dasar kebijakan politik dan militer Belanda dalam menghadapi masalah Aceh.
Jaringan intelijen yang dibangun Snouck adalah merangkul mata-mata dari kalangan pribumi, diantaranya ulama Jawa yang membantu pencitraan dirinya sebagai saudara seiman. Ia juga dibantu oleh seorang asisten dari keturunan Arab, yaitu Sayyid Utsman Yahya bin Aqil Al Alawi. Sayyid adalah penasihat pemerintah Belanda dalam urusan Islam dan kaum muslimin.
Snouck lalu merekomendasikan, bahwa yang berada di balik perang dahsyat Aceh dengan Belanda adalah para ulama. Sedangkan tokoh-tokoh formalnya bisa diajak damai dan dijadikan sekutu, karena ia yakin tokoh-tokoh itu hanya memikirkan duniawinya, mengamankan posisinya.
”Islam harus dianggap sebagai faktor negatif karena dialah yang menimbulkan semangat fanatisme agama di kalangan muslimin. Islam membangkitkan kebencian dan permusuhan rakyat Aceh terhadap Belanda,” begitu statemen Snouck. Itulah sebabnya, ia meyakinkan pemerintah Belanda, kekuatan di Aceh bisa ditaklukkan bila ulamanya ”dibersihkan”.
Politik Devide et impera, siasat pecah belah dan kuasai yang dilancarkan Snouck Hurgronje rupanya menjadi inspirasi dan terus di up-date oleh musuh-musuh Islam di era globalisasi sekarang ini. Terbukti, spionase kaki tangan Barat, kini ditanam di setiap organisasi pergerakan Islam, dengan cara menebar virus sekuler-liberalisme ke dalam otak interlektual muslim, menebar kebencian dalam bentuk stigmatisasi, termasuk menunggang para mujahid yang ingin berjihad dengan cara yang salah. Desastian