Jakarta (voa-islam) – AM Waskito, penulis buku Bersikap Adil Kepada Wahabi, sebuah buku bantahan terhadap karya Syaikh Idahram (penulis buku trilogi Menggugat Salafi Wahabi), telah bersikap terbuka. Baginya tidak masalah mengeritik dakwah Wahabi, atau siapapun, dalam kerangka ilmiah dan tujuan memberi nasihat.
Jika Syaikh Idahram membuat judul semisal: “Bukti-bukti Kesalahan Paham Wahabi”. Lalu dia utarakan secara obyektif kritikan-kritikan ilmiah terhadap dakwah Wahabi, maka hal itu bisa diterima. Namun dengan judul: “Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi: Mereka Membunuh Semuanya Termasuk Para Ulama”, hal ini harus didukung bukti-bukti, fakta dan data, serta validasi yang kuat.
Sangat disayangkan, kalangan warga NU (yang merupakan saudara kita sesama muslim) banyak termakan oleh buku-buku yang menggugat Salafi Wahabi yang ditulis oleh Syaikh Idahram.
Seperti diberitakan media massa, Dalam acara Harlah NU di Gelora Bung Karno, tanggal 17 Juli 2011 lalu, GP Ansor mendeklarasikan Densus 99. Kabarnya, Densus 99 ini dibentuk untuk membantu aparat Polri memberantas terorisme. Sementara yang kerap dituduh sebagai teroris itu adalah Salafi Wahabi.
Dari sini sudah terasa benih konflik horizontal antar sesama muslim, mengingat definisi dan kriteria Salafi Wahabi yang dimaksud begitu abstrak alias tidak jelas. Walhasil, warga NU bahkan masyarakat muslim awam salah memetakan, sehingga bukan tidak mungkin potensi anarkis bisa saja terjadi.
Gagal Memetakan Masalah
AM Waskito yang membuat buku bantahan (Bersikap Adil Kepada Wahabi) terhadap ketiga buku karya Syaikh Idahram (Sejararah Berdarah Sekte Salafi Wahabi, Mereka Memalsukan Kitab-kitab Karya Ulama Klasik, dan Ulama Sejagat Menggugat Salafi Wahabi) mengatakan, suatu buku disebut bernilai ilmiah, setidaknya harus memenuhi enam syarat, yaitu: niat yang baik dalam menghadirkan sebuah karya ilmiah, jujur dalam menghadirkan fakta dan data, mempunyai parameter yang jelas, adil dan obyektif, konsistensi, dan menggunakan sistematika penulisan ilmiah.
“Siapapun yang menulis buku dengan dasar ingin mengobarkan api fitnah, menyebarkan kebencian, kerusakan, dan pertikaian, maka buku yang ditulisnya otomatis tertolak, meskipun di dalamnya ada 1000 kutipan pendapat ilmuwan, 1000 catatan kaki, dan 1000 rujukan referensi,” kata Waskito.
Diantara kegagalan buku Syaikh Idahram adalah tidak mampu memetakan secara jelas tentang siapa yang dimaksud dengan Salafi Wahabi? Ketidakjelasan mendefinisikan obyek pembahasan akan berujung pada sikap generalisir dan tudingan tanpa bukti.
Ustadz Ridwan Hamidi, LC, orang yang pernah diundang dalam bedah buku Sejararah Berdarah Sekte Salafi Wahabi di kantor Depag RI Pusat, Jakarta menyatakan, ada beberapa kegagalan dalam buku tersebut, diantaranya adalah gagal dalam mendefinisikan siapa Salafi Wahabi itu?
Ridwan mengatakan, “Tidak ada metodelogi yang jelas dalam membuat kriteria seseoarang disebut sebagai Salafi atau Wahabi. Apa batasan Wahabi? Definisi dari Wahabi itu apa? Sebagai contoh, orang yang tidak ikut tahlilan, maka disebut wahabi. Jika ini menjadi sebuah kaidah, maka banyak sekali yang disebut sebagai Wahabi. Muhammadiyah tidak tahlilan berarti Wahabi, Persis tidak tahlilan disebut Wahabi, Al-Irsyad tidak tahlilal juga berarti Wahabi, Majelis Tafsir Al-Qur’an tidak tahlilan berarti Wahabi. Apakah benar demikian? Jika tidak, maka batasan yang jelas itu apa?”
Dari sisi judul, AM Waskito menilai Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi belum memenuhi standar metodelogi penulisan sejarah yang benar. Kemudian, sebutan “Sekte” itu menjadi pertanyaan sendiri. Benarkah Salafi Wahabi merupakan sebuah sekte? Tak dipungkiri, di dalam tubuh kaum Wahabi memang ada yang bersikap melampaui batas. Juga ada perbedaan pendapat (kadang sangat tajam) antara ulama yang satu dengan yang lainnya. Memang ada pula gerakan dakwah Wahabi yang kemasukan unsur-unsur sesat seperti pemikiran Khawarij, Murji’ah, menjilat penguasa. Tapi kalau sampai ia dianggap sebagai sebuah sekte tersendiri, hal itu dipertanyakan. Sebab, konsep ajaran mereka merujuk dasar-dasar syariat Islam. Tidak ada lembaga-lembaga ulama dunia yang mengklaim Salafi Wahabi sebagai sekte tersendiri (apalagi sampai didakwa sesat).
Kesalahan Syaikh Idahram dalam buku Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi, ialah ketika dia tidak mampu memetakan masalah secara jelas dan konsisten. Dia memang membahas gerakan dakwah Wahabi, tetapi tidak ada identifikasi masalah secara jelas. Siapakah Wahabi itu? Sejauhmana konsep ajaran dakwahnya? Bagaimana cirri-cirinya? Siapa saja tokoh-tokohnya? Apa saja karya mereka?
Seorang Said Agil Siraj setiap kali menjadi narasumber dalam sebuah forum, kerap memberi ciri-ciri Salafi Wahabi seperti berjenggot, jidat hitam, bergamis dan celana ngatung. Sesempit itu kah? Parahnya lagi, Ketua Umum PBNU itu menyebut 12 yayasan Salafi Wahabi yang potensi menebar benih radikalisme. “Selangkah lagi, mereka akan menjadi teroris,” kata kiai NU itu enteng.
Slogan Ukhuwah Islamiyah
Dalam Islam, kita mengenal prinsip tabayyun(klarifikasi) untuk memastikan bahwa data yang disampaikan itu benar dan valid.Istilah jurnalistiknya adalah check and recheck. Karena itu seorang penulis, harus memahami apa yang ditulisnya. Kesalahan besar Syaikh Idahram ketika menulis buku kritik terhadap dakwah Wahabi, ialah ketia dia sendiri tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang kalangan Wahabi itu sendiri.
Dalam sekapur sirih penulis, Syaikh Idahram menekankan pentingnya ukhuwah Islamiyah. Kita pun menghargai motivasi penulisnya yang mendambakan terwujudnya persatuan umat Islam. Tapi, dalam penjabarannya, motivasi itu tidak sejalan dengan cara ia mengungkapkan informasi yang nyatanya justru melontarkan api fitnah, adu domba, dan mengakibatkan terbelahnya kaum muslimin. Disadari atau tidak. Bukan tidak mungkin, atas dalih ukhuwah, ada agenda terselubung intelijen yang mendompleng sebuah ormas Islam yang punya basis massa besar di Indonesia. Desastian