View Full Version
Rabu, 14 Dec 2011

Direktur INSIST Kritik Jurnalis Muslim Tidak Profesional

Jakarta (Voa-Islam) – Sebetulnya, banyak orang mencari media alternatif. Kehadiran media Islam, tidak cukup semangat dan hanya memperjuangkan ideologi semata, tapi juga mampu bersaing. Diharapkan, media Islam dan pengelolanya ke depan harus lebih professional dan terus memperbaiki diri.

Demikian dikatakan Direktur INSIST Nirwan Syafrin disela-sela acara Konferensi Media Islam Internasional di Hotel Sultan Jakarta. Acara yang berlangsung sejak tanggal 12 – 16 Desember 2011 ini diselenggarakan oleh Kementerian Agama RI.

Menurut Nirwan, Media itu sebenarnya, tidak malaikat juga bukan setan. Yang paling menentukan adalah penggunanya. Karena itu, media tidak cukup hanya menyajikan fakta, tapi juga interpretasi atau wordview  (pandangan) seseorang terhadap suatu fakta.

Selama ini hampir mainstream seluruh media massa, termasuk media Islam menjadikan kantor berita Barat, seperti Reuters, CNN, dan AFP sebagai acuan dalam pemberitaan. Padahal itu sudah second information. Tentu saja, kantor berita asing itu punya kepentingan terhadap setiap informasi yang disajikan. “Seharusnya, kita punya akses sendiri, yang disesuaikan dengan kepentingan kita, umat Islam” kata Nirwan.

Nirwan  mengakui, dulu ia sering mengupdate informasi dari Islam online. Tapi, belakangan, ia melihat Islam Online sepertinya ada masalah, karena beritanya sering tidak update.

Bicara soal media Islam, sudah pasti harus pro Islam dan membela kepentingan umat. Ia melihat Republika masih fivety-fivety. Mengingat setiap media tdk lepas dari kepentingan bisnis. Menjadi penting, seorang pemegang saham harus yang memahami soal keislaman.

Media Islam Bukan Oposisi

Nirwan melihat, media Islam tidak selalu dicitrakan sebagai media perlawanan. Pencitraan yang dibangun oleh media Islam juga bukanlah oposisi, tapi kebenaran yang harus diungkap. Jika menyaksikan, suatu penyimpangan, maka media Islam harus tampil untuk mengungkap kebenaran, dan meluruskan yang salah. Jika ada kelompok Islam yang salah, ya harus diungkap kesalahannya. Karena disini ukurannya adalah kebenaran.

Satu hal yang perlu diperhatikan dalam meluruskan sesuatu yang salah, tidak perlu menggunakan bahasa yang vulgar. Sebagai contoh, Reuters yang punya ideologi, tapi tidak menyampaikannya secara vulgar.

“Tidak semestinya media Islam menggunakan  bahasa yang vulgar. Jika bahasa media Islam terlalu vulgar, biasanya orang jadi malas membacanya. Atau yang tadinya simpati, menjadi tidak simpati. Bagaimana pun, media Islam tetap harus memperhatikan kode etik jurnalistik, namun pesannya tetap sampai,” tandas Nirwan yang merupakan mantu dari KH. Cholil Ridwan (Ketua MUI).

Nirwan mengaku gembira dengan perkembangan media islam dewasa ini. Namun, ia coba membayangkan, bagaimana nasib media Islam 20-30 tahun ke depan. Apakah akan lahir sebuah Civilization (peradaban) bagi bangsa di dunia. Setidaknya, jangan sampai masuk ke jurang. Media islam harus mencari jalannya sendiri, bukan malah mengekor pada peradaban lain, yang tidak Islami. (Desastian)


latestnews

View Full Version