View Full Version
Kamis, 22 Dec 2011

Ketika Peneliti Bicara soal Pembinaan Narapidana Kasus Terorisme

Jakarta (voa-islam) – Berbicara soal “Pembinaan Narapidana Teroris di Lapas”,  Ma’mun, Direktur Bina Keamanan & Ketertiban Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, mengatakan, standar pembinaan terhadap narapidana kasus terorisme diatur dalam Assesmen berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pemasyarakatan tentang Prosedur Tetap Perlakuan Narapidana Resiko Tinggi.

Adapun seluruh proses pembinaan dibicarakan dalam Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) yang anggotanya terdiri dari internal dan eksternal. Khusus teroris, dari eksternal, yang membina adalah Densus 88 dan BNPT. TPP sendiri ada 3 tingkatan, yakni tingkat Unit Pelaksana Teknis, Tingkat Kanwil,dan Tingkat Dirjen Pemasyarakatan.

Menurut Mu’in, ada 13 Lapas Narapidana teroris di Indonesia dengan total jumlah napi sebanyak 111 orang. Berikut Lapas Narapidana kasus teroris di Indonesia: Lapas Cipinang, Lapas Palembang, Lapas Surabaya, Lapas Palu, Lapas Batu NK, Lapas Kembang Kuning NK, Lapas Luwuk, Lapas Semarang, Lapas Ambon, Lapas Malang, Lapas Labuhan Ruku, Lapas Wanita Tangerang, dan Lapas Ampana.

Idealnya, pidana khusus kasus teroris akan mendapatkan perlakuan yang sama, yakni mendapat remisi setelah 1/3 masa pidana, asimilasi 2/3 masa pidana, dan pembebasan bersyarat berdasarkan SK Menteri dan persetujuan Densus 88.

Mengenai rekapitulasi pembebasan bersayarat bagi narapidana teroris, menurut data Bina Keamanan & Ketertiban Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, tahun 2009 tercatat 32 orang, tahun 2010 (3 orang), dan tahun 2011 (16 orang). Totalnya Napi teroris yang mendapat hak pembebasan bersyarat adalah 51 orang.

Menurut pengakuan Mu’in, masalah yang dihadapi oleh Pembina di Lapas adalah menyangkut kualitas petugas Pemasyarakatan yang kurang memadai untuk membina narapidana terorisme yang beresiko tinggi, sehingga untuk membinanya sangat tergantung dari luar Lapas. Belum lagi, anggaran dan sarana pembinaan yang kurang memadai.

Masalah yang dihadapi lainnya adalah Pemasyarakatan masih berkonsentrasi pada penanganan over kapasitas yang secara nasional mencapai 43%, dan beberapa Lapas ada yang mencapai 300-400 % serta kasus Korupsi dan Narkotika menjadi beban tambahan, sedangkan sumber dayanya tidak bertambah.

Dikatakan Mu’in, semestinya napi teroris setelah bebas dari Lapas ada bimbingan lanjutan. Tapi faktanya, tidak ada atau belum jelas institusi yang bertanggungjawab. Ditambah lagi, penanganan terorisme masih menitik beratkan kepada pelaku, sedangkan keluarga dan masyarakat belum disentuh secara maksimal.

Ia merekomendasikan, agar masalah terorisme ditangani secara lebih terkoordinasi, terintegrasi, bersinergi, komprehensif, dan terus menerus. Jadi yang dibina tidak hanya pelakunya (narapidana), tetapi juga keluarga dan masyarakat, dengan melibatkan instansi terkait dan tokoh-tokoh masyarakat serta anggota masyarakat lainnya.

Pembina Napi Terorisme

Sementara itu dikatakan A. Josias Simon (Kriminolog UI) yang mengutip penelitian Australian Strategic Policy Institute yang berjudul “Jihadis in Jail” mengungkapkan fakta, penjara telah memberikan kesempatan bagi mereka untuk dapat menjaga atau membangun jaringan terorisme, hal ini bisa terjadi karena manajemen penjara di Indonesia dianggap belum mempunyai pengalaman dalam memberikan perlakuan terhadap narapidana terorisme.

Josias menjelaskan, narapidana terorisme mendapat perlakuan yang sama dengan narapidana kasus lainnya. Mereka ditempatkan dalam kamar/blok, bergaul dengan sesama napi kasus terorisme, serta napi kasus lain, bahkan menjalin komunikasi dengan jaringan terorisme yang berada di luar penjara. Josias tak memungkiri, jika Lapas dianggap sekolah tinggi kejahatan (school of crime). Sedikit sekali diharapkan tujuan yang hendak dicapai oleh sistem formal melalui program-progam pembinaan yang diciptakan.

Menurut Josias, penyatuan keberadaan narapidana terorisme dengan sesama, mauoun dengan napi lain, dalam kamar/blok, membuat persoalan sendiri, dimana kepiawaian para terpidana ini dalam berinteraksi, mendekati dan mengajak orang lain, membuat mereka menjadi actor yang kemudian membentuk relasi-relasi sendiri dalam Lapas (pengajian, pesantren, sekolah agama) yang tidak hanya diikuti para narapidana, tapi juga oleh petugas.

“Tentu pembinaan narapidana terorisme berbeda dengan narapidana lain (koruptor dan narkoba). Untuk itu, keterlibatan pihak luar seperti akademisi (peneliti) dan masyarakat luas guna memperbaiki kehidupan social (budaya) dalam Lapas agar pembinaan bisa berjalan efektif dan akuntabel. Desastian


latestnews

View Full Version