JAKARTA (voa-islam.com) – Majelis Ulama Indonesia (MUI) prihatin dengan marakanya pegawai atau karyawan muslim yang mengenakan atribut natal di berbagai perusahaan, ritail di mal-mal hingga toko-toko.
Ketua MUI Pusat, KH Ahmad Cholil Ridwan menegaskan bahwa MUI sudah memfatwakan haram hukumnya mengikuti perayaan natal bersama apalagi mengenakan atribut-atribut natal, sebab itu sama saja mendukung perayaan natal.
“Sebenarnya sudah ada fatwa MUI, di zaman Buya HAMKA itu telah dikeluarkan fatwa MUI bahwa natalan bersama itu haram, kalau kemudian kita sendiri menggunakan atribut-atribut natalan berarti kita bukan hanya ikut tapi mendukung, apalagi berhari-hari sebelum tanggal 25 sudah pakai,” kata Kyai Cholil, sapaan akrabnya, kepada voa-islam.com Senin (19/12/2011).
Ulama asli Betawi itu juga menyayangkan sikap pemerintah yang tidak mengawal fatwa MUI dan tidak melindungi ‘aqidah umat sehingga membiarkan umat Islam melawan arus kristenisasi.
“Dari situ memang teruji iman seseorang, bahwa ia harus bekerja apalagi kalau tidak pakai atribut natal dipecat. Inilah karena tidak ada proteksi dari pemerintah, pemerintah kan mestinya memproteksi fatwa MUI supaya jalan kemudian memelihara akidah umat seperti di Malaysia. Beda dengan Indonesia, di Malaysia itu Islam menjadi agama negara sehingga diproteksi baik Islamnya maupun umatnya. Nah kita di Indonesia ini tidak (diproteksi oleh negara, red), umat dibiarkan saja untuk berhadapan dengan arus kristenisasi,” jelasnya.
Kelemahan dari pemerintah dan ketidakpedulian ulama untuk melindungi aqidah umat, lanjut Kyai Cholil, membuat fatwa haram mengikuti natal bersama yang pernah difatwakan MUI hanya menjadi fosil.
“Walaupun natalan itu budaya, tapi itu kan kristenisasi juga kalau kita ikuti kita akan terpengaruh. Ini saya pikir kelemahan pemerintah dan ulama-ulama juga membiarkan. Fatwa haramnya natal bersama itu kan sekarang tidak ada suaranya lagi. Fatwa itu jadi fosil di museum yang tidak efektif lagi digunakan,” ungkapnya.
Pengasuh Ponpes Al-Husnayain ini mengisahkan betapa besarnya pengorbanan Buya HAMKA untuk mempertahankan fatwa haramnya mengikuti natal bersama itu. Dengan berani, Buya HAMKA rela mengorbankan jabatannya sebagai ketua umum MUI daripada harus mencabut fatwa itu. Berkat keteguhan Buya itulah, fatwa haramnya mengikuti natal bersama masih berlaku hingga saat ini.
“Kalau saya sudah sendiri sudah ngomong di mana-mana kalau natalan itu haram, sampai saya bilang Buya HAMKA itu mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Ketua Umum MUI karena disuruh mencabut fatwa itu dan sampai sekarang fatwa itu tidak pernah dicabut. Artinya fatwa itu masih berlaku bahwa haram ikut natalan bersama apalagi dia aktif sebagai orang yang menggunakan atribut Sinterklas,” ujarnya.
Kyai Cholil menegaskan, dasar hukum haramnya natalan bagi umat Islam adalah larangan dalam hadits shahih. Rasulullah SAW bersabda: ”Barang siapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk bagian dari kaum tersebut” (HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban).
Umat Butuh Undang-undang Larangan Natal Bersama
Untuk mengatasi kasus natalan, agar umat Islam tidak dipaksa oleh atasan untuk memakai busana natal pada saat jam kerja, Kyai Cholil mengimbau agar pemerintah menerbitkan undang-undang yang melarang umat Islam merayakan Natal bersama. Selain itu, umat Islam harus kompak untuk menolak natalan bersama.
“Mestinya kalau mau hidup rukun beragama dengan pemeluk Islam pegawai dia yang Islam itu tidak perlu menggunakan atribut natal. Pemerintah juga mestinya membuat aturan, Perda atau apa pun bahwa perusahaan yang memiliki pegawai yang muslim dan bukan beragam Kristen tidak boleh diperintah untuk menggunakan atribut-atribut natalan itu seperti Sinterklas dan lain sebagainya. Tapi umat Islamnya juga mesti harus kompak tidak ikut merayakan natalan,” jelas Kyai Cholil yang juga Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) itu. [ahmed widad]