Jakarta (Voa-Islam) – Pengamat Sepilis (Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme) Adian Husaini membenarkan, jika gerakan Sepilis telah menyusup dalam program deradikalisasi yang digulirkan BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme). Terbukti, dalam buku yang diterbitkan oleh Lazuardi Birru, penulisnya menggadang-gadang pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid yang telah melecehkan Al-Quran dan divonis murtad oleh Mahkamah Mesir.
Sejak awal, Adian yang ditemui Voa-Islam di Masjid UI Depok, menaruh curiga, para pengasong sepilis telah memanfaatkan isu terorisme untuk menyebarkan paham sepilis tanpa kita sadari. Mulai dari mempelintir ayat-ayat jihad hingga menafirkan Al Qur’an dengan cara hermeneutika.
Jika menyimak buku yang diterbitkan oleh Lazuardi Birru berjudul “Memutus Mata Rantai Radikalisme dan Teroris” -- dari beberapa artikel yang ada -- terdapat tulisan Mu’ammar Zayn Qadafy yang diberi judul “Aplikasi Teori Interpretasi Nashir Hamid Abu Zaid Dalam Ayat-ayat Qital”. Kenapa, seorang Nashir Hamid Abu Zaid yang jelas-jelas melecehkan Al Qur’an itu malah disusupkan dan digadang-gandang dalam program deradikalisasi. Aneh!
Mungkin tak semua pembaca tahu, siapa Nashir Hamid Abu Zaid itu (atau maksudnya Nasr Hamid Abu Zayd)? Menurut Adian Husaini dalam bukunya “Membendung Arus Liberalisme di Indonesia” (Penerbit Pustaka Al-Kautsar), Nasr Hamid Abu Zayd adalah tokoh-tokoh liberal yang pendapat-pendapatnya sangat ekstrim, sehingga dia divonis murtad oleh Mahkamar Mesir. Dia lalu melarikan diri ke Leiden University. Dari sanalah, ia dengan dukungan negara Barat, mendidik beberapa dosen UIN/IAIN. Beberapa muridnya sudah kembali ke Indonesia dan menduduki posisi-posisi penting di UIN.
Di Indonesia, para penghujat Al-Qur’an di kampus-kampus UIN/IAIN hampir selalu menjadikan Abu Zayd sebagai rujukan. Menurut Nasr Abu Zayd, Al Qur’an bukan lagi dianggap sebagai wahyu suci dari Allah kepada Muhammad Saw, melainkan produk budaya. Metode tafsir yang digunakan adalah hermeneutika, karena metode tafsir konvensional dianggap sudah tidak sesuai dengan zaman. Juga dikatakan Abu Zayd, “Sebagai budaya, posisi Al Qur’an tidak berbeda dengan rumput.”
Apalagi, Nasr Hamid Abu Zayd pun melecehkan metodelogi Imam Syafi’I, dan menyimpulkan poligami bukan ajaran Islam. Juga dalam hal warisan, hukum 2:1 dinilai belum final.
Atas pemikirannya, kunjungan Nasr Hamid Abu Zayd ke Indonesia ditolak di sejumlah daerah, seperti Riau dan Malang. Pada 23 November 2007, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) menerima pernyataan sikap dari MUI Riau dan sejumlah ormas Islam lainnya tentang penyelenggaraan Konferensi Tahunan Studi Islam ke-7 yang diselenggarakan di UIN Riau. Dalam pernyataan sikapnya, ditegaskan: “Umat Islam Riau Tolak Kehadiran Nasr Hamid Abu Zayd. MUI Riau mempersoalkan mengapa dalam acara tersebut akan diundang Prof. Dr. Nasr Hamid Abu Zayd, ilmuwan Mesir yang divonis murtad oleh Mahakamah Mesir karena tulisan-tulisannya dinilai melecehkan Al-Qur’an.
Setelah ditolak di Riau, Nasr Hamid Abu Zayd, juga ditolak umat Islam di Malang yang direncanakan akan hadir dalam Konferensi Internasional di Unisma (Universitas Islam Malang), 27-29 November 2007.
Lazuradi Birru Besarkan Nama Nasr Hamid Abu Zayd
Kehadiran Abu Zayd ke Indonesia – disadari atau tidak – adalah sebuah konspirasi untuk merusak pemikiran Islam di Indonesia dengan menyebarkan paham-paham liberal. Terlebih, tidak dihadirkan pembanding yang mengkritisi pemikiran sesat Abu Zayd tersebut.
Semakin jelas, program deradikalisasi adalah kedok untuk menyusupkan paham sepilis kepada kaum intelektual, terutama mahasiswa di berbagai kampus di Indonesia dengan membesar-besarkan pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd terkait ayat-ayat Qital.
Menurut Mu’mmar Zayn Qadafy, yang menulis artikelnya “Aplikasi Teori Interpretasi Nashir Hamid Abu Zaid Dalam Ayat-ayat Qital”, dipilihnya metode tafsir hermeneutika ala Nasr Hamid Abu Zayd dianggap penafsiran baru yang lebih tepat, relevan untuk dijadikan pisau analisis, terutama ayat-ayat qital.
Desastian