CILACAP (voa-islam.com) – Ulah jemaat Kristen melanggar peraturan yang telah disepakati oleh semua agama, tidak hanya berlangsung di perkotaan saja. Di pinggir sawah sebuah dusun yang jauh dari perkotaan, umat Kristen juga melakukan pelanggaran yang meresahkan warga. Berkat kesigapan para tokoh, aparat dan warga yang sadar hukum, aktivitas gereja liar pojok kampung itu bisa diselesaikan tanpa ada gejolak.
Kasus ini berawal dari kejelian para santri TPA Miftahul Huda dusun Gapek desa Karangtengah kecamatan Sampang Kabupaten Cilacap. Mencium gelagat misi agama lain, para santri pun melaporkan kepada tokoh setempat, bahwa di kampungnya ada kegiatan kebaktian Kristen di sebuah rumah. Mendapat laporan itu, para tokoh bersama pemuda dan warga setempat segera melakukan penelusuran ke rumah desa yang dicurigai sebagai gereja ilegal. Berdasarkan keterangan warga, rumah yang disalahgunakan sebagai gereja itu adalah sebuah rumah tinggal. Karena tak ada teguran warga, lama kelamaan rumah di RT 01 RW 8 yang berada di pinggir sawah itu tidak dihuni orang. Setiap hari rumah itu dibiarkan kosong, hanya tiap malam Sabtu dan hari Minggu digunakan untuk kebaktian layaknya sebuah gereja.
Warga pun merasa terganggu dengan penggunaan pengeras suara saat kebaktian. Apalagi rumah yang digunakan menjadi gereja illegal berdekatan dengan mushalla.
Jumlah jemaat Kristen yang menggunakan rumah tersebut juga sangat sedikit, sekitar 10 orang. Itu pun sebagian besar berasal dari luar desa bahkan luar kabupaten Cilacap.
Keberatan warga terhadap adanya gereja liar bukan tanpa alasan. Jumlah warga dusun Gapek yang beragama Kristen hanya 6 KK (kepala keluarga), sehingga keberadaan gereja liar itu dinilai melanggar Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006 Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, Dan Pendirian Rumah Ibadat.
Untuk memperkuat bukti adanya rumah tinggal yang disalahgunakan sebagai gereja liar para pemuda setempat melakukan pemotretan saat sepuluhan jemaat menggelar kebaktian. Saat pemotretan, para jemaat yang mengikuti kebaktian tersebut merasa panik. Suasana tersebut dimanfaatkan oleh jemaat gereja liar untuk menggalang simpati dari aparat kepolisian. Beberapa orang jemaat menghubungi polisi untuk meminta perlindungan dengan alasan warga minoritas. Padahal para pemuda tidak melakukan tindakan apapun selain memotret suasana kebaktian.
Jurus berikutnya, para jemaat memperalat warga luar desa untuk melobi kepala dusun supaya kebaktian mereka jangan dibubarkan.
Untuk menengahi masalah tersebut, Senin malam (19/12/2011) digelarlah musyawarah warga di rumah kepala dusun yang melibatkan tokoh agama dan tokoh pemuda. Musyawarah yang dimulai pukul 20.00 ini menghasilkan keputusan untuk segera menghimpun tandatangan penolakan oleh warga.
Maka pada hari Jum’at (23/12/2011) ratusan tandatangan warga terkumpul. Surat keberatan dan penolakan dari warga atas adanya kebaktian dan gereja tersebut dilayangkan ke pihak terkait, yaitu kepala desa, camat, Polsek dan Koramil.
Menindaklanjuti keberatan warga, maka pada Kamis (12/01/2012) aparat desa menggelar musyawarah di balai desa Karangtengah yang dihadiri kepala desa, camat, Polsek, KUA, tokoh agama, para pemuda, dan perwakilan pihak Kristen.
Musyawarah tiga jam yang berakhir pada pukul 13.00 WIB itu menghasilkan keputusan untuk menghentikan dan menutup rumah tersebut dari kegiatan kebaktian. Rumah itu harus dikembalikan kepada fungsinya sebagai rumah tinggal.
Umat Islam menyambut baik keputusan itu. Kepada voa-islam.com, Kyai Hambali, tokoh masyarakat setempat, mengungkapkan harapannya agar kasus seperti ini tidak terulang. “Semoga di desa ini tidak ada lagi gereja liar yang meresahkan warga,” ujarnya. [Hasan Gerilya]