YOGYAKARTA (voa-islam.com) - Ratusan massa umat Islam yang tergabung dalam Front Umat Islam Yogyakarta menggeruduk penganut Ahmadiyah Lahore yang sedang melakukan pengajian akbar tahunan di Kompleks SMA Perguruan Islam Republik Indonesia (PIRI) di Jalan Kemuning 14, Baciro, Yogyakarta. Massa dari ormas Islam itu menuntut pembubaran Ahmadiyah, Jumat 13 Januari 2012.
Ormas Islam itu terdiri dari, Gerakan Anti Maksiat (GAM), Gerakan Pemuda Ka'bah (GPK) dan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Dalam spanduk massa pendemo tersebut tertulis, "Ahmadiyah sesat, Bubarkan".
Abu Haidar, perwakilan dari Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), dalam orasinya di depan SMA PIRI, tempat dilaksanakannya pengajian tahunan itu, menuntut agar kegiatan Ahmadiyah itu dibubarkan dan mengangap Gerakan Ahmadiyah tersebut sesat.
"Mirza Ghulam Ahmad itu bukan Nabi, maka kami imbau kepada pengikut Ahmadiyah agar kembali pada Islam," teriaknya.
Aksi unjuk rasa itu di kawal ketat oleh pihak Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta. Walikota DIY Haryadi Suyuti yang ikut turun tangan menenangkan massa akhirnya menghentikan pengajian akbar Ahmadiyah yang rencananya berlangsung dua hari itu.
"Saya sudah bernegosiasi dengan panitia pengajuan tahunan Ahmadiyah dan mereka akhirnya mengakhiri pengajian sore ini. Kondisi di luar sudah tidak kondusif sehingga pengajian harus dibubarkan," kata Haryadi.
Selain itu, Wali Kota Yogyakarta, Haryadi Suyuti ikut membujuk pegunjukrasa agar tetap menjaga situasi Yogyakarta tetap kondusif. Walikota juga menyatakan bahwa kegiatan pengajian warga Ahmadiyah sudah diakhiri. "Marilah kita jaga Yogyakarta sebagai kota yang kondusif dan damai untuk warga Yogyakarta," pintanya.
Sementara itu, Muslich Zainal Asikin, Wakil Ketua Umum Pedoman Besar (PB) Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI) menyampaikan, bahwa pengajian akbar tersebut merupakan kegiatan tahunan. "Ini pengajian tahunan yang rutin diselenggarakan setiap tahun dan acara ini sifatnya silaturahmi," imbuhnya.
"Pengajian ini kita laksanakan sudah sejak 84 tahun lalu, ini tradisi kami sejak GAI Lahore didirikan pada tahun 1928".
Sambil berkelit ia menyatakan kelompok yang berunjukrasa itu keliru, karena organisasi mereka bukan Ahmadiyah yang menganggap Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi, tetapi hanya seorang ulama. "Mungkin mereka keliru, kami ini adalah organisasi GAI yang tetap menganggap Muhammad adalah Nabi terakhir", paparnya.
Untuk diketahui setelah pendiri Ahmadiyah Mirza Ghulam Ahmad meninggal (26 Mei 1908), Gerakan Ahmadiyah dipimpin oleh Shadr Anjuman Ahmadiyah yang diketuai oleh Hakim Nuruddin. Setelah ia meninggal pada tanggal 13 Maret 1914, Shadr Anjuman Ahmadiyah dipimpin oleh Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad, putra Mirza Ghulam Ahmad.
Beberapa saat setelah ia terpilih, timbullah perbedaan pendapat yang penting dan mendasar. Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad berpendapat bahwa; Masih Mau’ud Mirza Ghulam Ahmad itu betul-betul Nabi, ia adalah Ahmad yang diramalkan dalam Qur’an Suci 61:6. Semua orang Islam yang tidak berbai’at kepadanya, sekalipun tidak pernah mendengar nama beliau, hukumnya kafir dan keluar dari Islam (Ainai Sadaqat, Hal 35). Pemahaman ini dianut oleh Ahmadiyah Qadian yang di Indonesia organisasinya bernama JAI (Jemaat Ahmadiyah Indonesia).
Sedangkan mereka yang tak setuju terhadap pendapat tersebut tergabung dalam Ahmadiyah Anjuman Isya’ati Islam (Ahmadiyah, Gerakan Penyiaran Islam) yang berpusat di Lahore dan dikenal sebagai Ahmadiyah Lahore yang pada saat itu dipimpin oleh Maulana Muhammad Ali, M.A., LL.B., sekretaris Mirza Ghulam Ahmad. Menurut Ahmadiyah Lahore, Hazrat Mirza Ghulam Ahmad bukanlah Nabi, dia adalah seorang Mujaddid, Al Masih juga Al Mahdi.
Pada dasarnya tidak menganggap Mirza Ghulam Ahmad sesat saja sudah menjadi bukti bahwa mereka adalah sesat apalagi menganggap Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi atau Al Masih.
Telah banyak bukti kesesatannya yang bisa dilihat dalam Tadzkirah yang dianggap sebagai al kitab al muqaddas (kitab yang disucikan) di mana isinya adalah pembajakan terhadap ayat-ayat Al Qur’an.
Jadi baik JAI maupun GAI sama-sama sesat sebagaimana fatwa MUI tahun 1980 tentang kesesatan Ahmadiyah sebagai paham di luar Islam tanpa membedakan keduanya. Fatwa ini ditanda tangani oleh Ketua Umum MUI waktu itu Prof.Dr. Buya HAMKA dan Menteri Agama RI H. Alamsyah Ratu Perwiranegara. (Widad/dbs)