JAKARTA (Voa-Islam) - Partai Persatuan Pembangunan mengusulkan pengendalian minuman keras atau minuman beralkohol diatur dalam peraturan setingkat undang-undang. "Aturan pengendalian miras (minuman keras) tidak cukup diatur dalam peraturan setingkat keppres (keputusan presiden)," kata Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Muhammad Romahurmuziy, di Jakarta, Jumat (13/1).
Apalagi, kata dia, keppres tersebut belum mendasarkan pada UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang menjadi dasar pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah. Padahal, kata Romy, miras memberikan dampak negatif terhadap kesehatan, ketentraman dan ketertiban masyarakat serta memberikan dampak yang setara dengan narkoba dan obat-obatan psikotropika.
"Pengendalian dan penyalahgunaan narkoba diatur dalam UU No 35 Tahun 2009, seharusnya pengendalian miras yang memberikan dampak seperti narkoba juga diatur dalam aturan perundangan," katanya. Ketua Komisi IV DPR RI ini menambahkan, setelah diatur dalam aturan perundangan baru, Menteri Dalam Negeri dapat melakukan evaluasi terhadap Peraturan Darerah (Perda) tentang Larangan Miras yang sudah diberlakukan.
Penghentian perda miras dari berbagai daerah oleh Kementrian Dalam Negeri sempat menimbulkan kontroversi. Partai Persatuan Pembangunan mengusulkan pengendalian minuman keras atau minuman beralkohol diatur dalam peraturan setingkat undang-undang.
Sebelum diatur dalam aturan perundangan yang merujuk pada UU Pemerintahan Daerah, menurut Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Muhammad Romahurmuziy, di Jakarta, Jumat (13/1), Mendagri belum bisa memerintahkan penghentian dan pencabutan Perda tentang Larangan Miras.
Romy menjelaskan, berdasarkan UU No 12 Tahun 2011 Pasal 9 ayat (2), peraturan perundangan di bawah UU yang diduga bertentangan dengan UU dilakukan pengujian di Mahkamah Agung (MA). PPP mendesak Mendagri segera mencabut surat perintah penghentian pelaksanaan perda karena surat Mendagri tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
"Jangan sampai perintah penghentian perda ini memperkuat dugaan adanya kompromi dengan pabrikan miras golongan A, yakni berkadar alkohol 0-5 persen, yang sejak dulu berkeinginan dijual bebas," katanya.
Romy menegaskan, sikap dasar PPP jelas, bahwa miras adalah barang haram yang tidak boleh dikonsumsi umat Islam. Dengan pertimbangan kebhinnekaan Bangsa Indonesia, menurut dia, DPP PPP sudah menginstruksikan Fraksi PPP DPR RI untuk memasukkan agenda RUU Pengendalian Peredaran Miras pada Prolegnas 2012, melalui rapat paripurna terdekat.
Miras Bukan Lagi Barang Mewah
Menurut pemerintah, kenaikan cukai perlu agar peredaran produk minuman beralkohol tetap bisa terkendali. Namun , jangan sampai pajaknya tinggi, menimbulkan barang-barang ilegal lebih banyak masuk. Pemerintah berdalih, tujuan cukai dinaikkan adalah untuk pembatasan konsumsi minuman beralkohol.
Sesuai dengan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN dan PPnBM), minuman beralkohol tidak lagi dikategorikan sebagai barang mewah. Sedangkan dalam Undang-Undang yang berlaku sejak 1 April 2010 ini, minuman beralkohol lebih dikategorikan sebagai barang kena cukai.
Dua tahun lalu, 2010, Pemerintah sempat menghapuskan pajak pertambahan nilai barang mewah (PPNBM) minuman beralkohol, namun sebaliknya menaikkan cukai hingga 300 persen.
Sehingga harga minuman beralkohol yang beredar menjadi naik, setidaknya 20 hingga 40 persen. Kenaikan harga minuman beralkohol itu memicu beredarnya produk ilegal, yang bebas pajak dan cukai.
Ketua Umum Kadin Indonesia MS Hidayat mengakui hal ini. Atas kenaikan itu, Juru Bicara Gabungan Industri Minuman Malt Indonesia (GIMMI) Ipung Nimpuno pernah meminta pemerintah segera menurunkan tarif cukai. Karena, kata dia, kenaikan tersebut berdampak langsung terhadap struktur harga bir, dan kenyataannya malah menyebabkan pemerintah kehilangan pendapatan pajak.
"Kenaikan cukai ini juga akan mengakibatkan konsekuensi negatif lainnya, termasuk risiko terhadap kesehatan masyarakat, pudarnya citra Indonesia sebagai tujuan pariwisata dunia yang atraktif dan menambah kesempatan bagi berkembangnya kegiatan pasar gelap," kata Ipung.
Perubahan perpajakan untuk minuman alkohol berupa penghapusan Pajak Pertambahan Nilai Barang Mewah (PPNBM) yang sebelumnya dikenakan untuk bir dengan tarif 40%, diganti dengan menaikkan tarif cukai dari Rp 3.500 menjadi Rp 11.000 per liter. Perubahan pajak ini, i pihak industri tidak punya pilihan lain selain menaikkan harga dan konsumen akan merasakan kenaikan harga 20-40 persen untuk bir merek-merek terkenal.
Industri bir nasional pun menjadi pembayar pajak terbesar, dengan menghasilkan sekitar Rp 1,5 triliun dari PPNBM dan cukai untuk pemerintah. Adapun tarif cukai yang baru akan menyebabkan beban pajak tambahan sebesar Rp 800 miliar.
"Kami menghasilkan 82 persen total pajak alkohol yang berasal dari PPNBM, dan cukai. Industri ini mempekerjakan tak kurang dari 10 ribu tenaga kerja baik langsung maupun tidak langsung, dan jutaan lainnya yang mendapat manfaat dari sektor pariwisata. Perubahan pajak adalah keputusan yang tidak fair bagi industri yang taat dalam membayar pajak," ujar Ipung, sang bandar miras.
Pada masa Menkeu Sri Mulyani Indarwati, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengevaluasi penerimaan cukai dari Minuman Mengandung Etil Alkohol (MMEA) seiring terbitnya Undang-Undang Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM). Ketika itu Sri Mulyani mengatakan, kalau melihat volume sangat banyak, kita terus evaluasi karena ini ada persoalan yang berhubungan dengan tingginya tarif cukai dan PPn barang mewah.
Sesuai dengan UU PPn, pemerintah sudah tidak lagi memasukan minuman MMEA sebagai objek pajak PPn Barang Mewah. Selain dari sisi kebijakan, Kementerian Keuangan juga melakukan koordinasi dengan Kementerian Perdagangan terkait arus masuk dan keluar minuman MMEA. Pihaknya berharap, mitra kerjanya itu bisa melakukan evauasi dan pembenahan agar sistem perdangangan semakin mampu menurunkan jumlah penyelundupan. Di sisi lain aparat Bea Cukai bisa mengamankan penerimaan negara.
Bagaimana negara ini menjadi berkah, jika pendapatan negaranya saja berasal dari sesuatu yang kotor dan haram. Negara tidak diuntungkan sama sekali dari pajak miras tersebut. Mengingat ongkosnya terlalu mahal, untuk membenahi kerusakan moral masyarakatnya diakibatkan pengaruh miras.(Desastian/Rep/dbs)