JAKARTA (Voa-Islam) - Pada sebuah acara pelatihan dai di Yogja, Mei 2008, sejumlah peserta wanita mengungkapkan kesaksiannya tentang merebaknya wabah “gender” di kalangan aktivis wanita. Para wanita yang kerasukan paham “gender equality” (kesetaraan gender), menjadi berubah pikiran dan sikapnya. Ada yang menolak konsep kepemimpinan laki-laki dalam rumah tangga, ada pula yang memandang , menyiapkan minuman bagi suaminya adalah sebuah penghinaan.
Suatu ketika seorang mahasiswa di satu kampus di Jakarta, menolak keras tawaran duduk di bus kota yang ditawarkan seorang laki-laki teman kuliahnya. Alasannya, ia tidak mau dianggap sebagai makhluk yang lemah. Ia lebih memilih berdiri ketimbang menerima belas kasihan teman cowoknya itu.
Dalam konsep mereka yang berpaham gender, perbedaan jenis kelamin tidak memiliki dampak terhadap peran wanita dan laki-laki dalam kehidupan. Gender adalah konstruk budaya. Menurut mereka, anggapan wanita harus berada di rumah dan laki-laki berada di luar rumah adalah konstruk budaya, rekaan budaya, bukan karena faktor biologis.
Masih segar dalam ingatan, pada tahun 2004, Prof Musdah Mulia (dosen UIN Jakarta) dan konco-konconya menerbitkan sebuah buku bertajuk “Pembaruan Hukum Islam: Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam”. Beberapa rumusan yang menghebohkan dalam konsep kaum feminis ini adalah poligami haram, perkawinan beda agama disahkan, calon suami atau istri dapat mengawinkan dirinya sendiri (tanpa wali), masa iddah juga dimiliki oleh laki-laki dan sebagainya.
Tokoh feminis Amerika, Prof Amina Wadud, juga merasa terhina dengan diskriminasi dalam hukum Islam dalam hal shalat. Dengan ketololannya, Amina Wadud membuat kehebohan dengan menjadikan dirinya imam dan khatib dalam satu shalat Jumat. Makmumnya ada yang laki-laki dan ada yang wanita. Ia pun membebaskan shaf dalam shalat, tidak harus laki-laki yang berada di shaf terdepan. Wanita dan laki-laki boleh bersanding shafnya dalam shalat. Dia ingin menunjukkan, bahwa laki-laki dan wanita adalah “setara”. Masya Allah!
Menurut Adian Husaini, Peneliti INSIST, cara pandang gender sebagai budaya ini jelas bertentangan dengan ajaran Islam. Sebab, sifat syariat Nabi Muhammad Saw adalah universal dan final. ”Zina sampai kiamat pun tetap haram, khamr dimana pun dan kapan pun juga haram. Begitu juga suap adalah haram. Babi haram. Konsep syariat speeri ini bersifat lintas zaman dan lintas budaya,” kata Adian.
Dengan tegas Adian membantah, bahwa Syariat Islam bukan konsep budaya Arab. Saat Nabi Muhammad Saw melarang seorang istri untuk keluar rumah – meskipun untuk menziarahi ayahnya meninggal dunia – karena dipesan suaminya, maka larangan Nabi itu berlaku universal, bukan hanya untuk wanita Arab. Umat Islam sepanjang zaman menerima konsep batas aurat yang universal, bukan tergantung budaya. Karena wanita bersifat universal, maka syariat Islam pun bersifat universal.
Desastian