DEPOK (VoA-Islam) - Diskusi-diskusi yang memaparkan istilah radikalisme saat ini sudah menjadi ranah politik, dan tidak akademik lagi. Tak berbeda dengan fundamentalis dan militan, sulit untuk mendefinsikan dan menafsirkan makna radikal. Yang terjadi sekarang adalah, dunia akademik justru banyak mengadopsi istilah radikal dalam perspektif Barat.
Demikian dikatakan Peneliti INSIST, Dr. Adian Husaini saat dijumpai VoA Islam di kediamannya, Depok, saat berdiskusi soal makna radikalisme, belum lama ini.
Dikatakan Adian, ada pendapat yang mengataka bahwa politik Islam terbagi dua corak,yakni: modernis dan fundamentalis. Namun, ketika kita mengejar makna radikalis, sebenarnya menjadi bias, apa maknanya.
Untuk Indonesia sekarang ini, menurut Adian, justru diperlukan pemikiran-pemikiran yang radikal dalam beberapa hal, seperti kebuntuan dalam menghadapi persoalan korupsi, kriminal, hingga member motivasi. Sebab, kalau biasa-biasa saja, bangsa ini sulit melakukan perubahan.
Sebetulnya, tujuan memberi stigma radikal, dalam konteks sekarang ini, berangkat dari kelompok orang yang melawan Amerika dan Barat pada umumnya. Barat kemudian mensetting, orang yang merancang dunia baru -- menunjuk jari islam radikal – disebut-sebut sebagai common enemy, seperti apa yang dipaparkan dalam tesis Samuel Huntington. Musuh bersama juga diarahkan pada kelompk Islam yang hendak menerapkan syariat Islam.
“Kita lihat, Bank Indonesia sudah menerapkan syariah, bahkan bank syariah sudah diakui dan dibanggakan. Begitu juga, kurikulum-kurikulum di sekolah banyak yang mengadopsi syariat. Banyak orang menganggap, syariat itu sebatas hukum pidana saja, padahal syariat itu konteksnya lebih luas. Shalat, ngaji, bantu orang miskin, sikap adil pada rakyat itu juga perintah syariat,” tandas Adian.
Lebih lanjut, Adian menolak anggapan jika radikal itu kerap disematkan pada orang Islam saja. Padahal, orang Kristen sendiri bangga disebut sebagai Kristen Radikal. Bicara soal radikal, dulu, Syarekat Islam disebut gerakan radikal, Soekarno juga disebut sebagai pemimpin radikal. Nah, jika radikal secara umum diartikan melakukan perubahan secara mendasar dan ingin mengambil suatu sistem yang lebih baik lagi, maka itu sudah bisa dikatakan radikal. Ada yang mengatakan, cara berpikir revolusioner bisa dimaknakan radikal, padahal sebenarnya istilah radikal itu biasa saja.
Radikal Dalam Pemikiran
Menurut Adian, keinginan untuk mendirikan sebuah negara Islam itu termasuk pemikiran radikal. Tak terkecuali, kelompok liberal yang menghendaki negara sekuler maupun negara komunis. Pemikiran untuk melakukan suatu perubahan mendasar, tentu dianggap berbahaya bagi mereka yang tidak setuju.
“Dulu, perbedaan pemikiran tidak masalah, selama pemikiran radikal itu diperjuangkan secara konstitusional. Jika mau jujur, tujua partai Islam itu sebenarnya ingin mendirikan negara Islam. Anggaran Dasar Rumah Tangga (ADRT) Muhammadiyah misalnya, ingin membentuk masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Ini, sudah bisa dikatakan radikal.”
Jika radikal didefinisikan pemikiran yang menghendaki perubahan mendasar, maka keinginan mewujudkan peradaban Islam atau masyarakat Islam, maka semua bisa dianggap radikal. Kalau radikal didefinisikan sebagai kekerasan, maka setiap hari kita melihat tindakan radikal di televisi, seperti berita tentang tawuran antar kampung, pemerkosaan dan pembunuhan, kemudian maling yang dikeroyok massa hingga mati. Tindakan itu juga radikal. Desastian