DEPOK (VoA Islam) – Masih segar dalam ingatan, tahun 80- an wanita muslimah yang mengenakan jilbab pun dibilang ekstrim, termasuk yang menolak asas tunggal juga dicap ekstrim . Karenanya, jangan sampai bangsa ini mengulang kesalahan dimasa lalu, dengan memberi stigma kepada masyarakat.
“Disatu sisi, umat Islam harus intropeksi diri atas pikiran yang melampaui, yang begitu mudah mengkafirkan sesama muslim. Menjalankan agama secara berlebihan jelas melanggar syariat, maka harus diluruskan. Menghadapi kelompok Islam yang ekstrim harus didatangi dan diluruskan,” demikian dikatakan Peneliti INSIST Adian Husaini.
Adian tidak memungkiri sikap ekstrim dalam kelompok Islam itu masih ada, seperti suka mengkafirkan sesama muslim.Seharusnya tidak boleh begitu. Orang yang ekstrim adalah orang yang melampaui batas dalam beragama, dia bersemangat menjalankan agama, tapi berlebihan. Di zaman Nabi, orang seperti itu sudah dikecam. “Dulu, ada sahabat Nabi yang shalat terus menerus hingga tidak tidur, puasa sepanjang masa tanpa berbuka, tidak mau menikah.”
Kata Adian, orang yang mengkafirkan orang Islam adalah esktrim. Termasuk, kelompok liberal juga termasuk ekstrim dalam beragama. Kenapa orang bisa menjadi ekstrim? Itu karena pemahaman mereka yang keliru dalam memahami Islam.
Menyinggung soal proyek deradikalisasi, Adian lebih condong dengan istilah deesktrimisasi atau deterorisasi, karena istilah itu dalam Islam mudah diukur. “Jika berangkatnya dari teroris, maka seharusnya deterorisasi, bukan deradikalisasi. Ada teori yang mengatakan, orang menjadi teroris karena berpikiran radikal. Sekarang, apakah seorang yang berpikiran radikal, lalu menjadi teroris, kan tidak,” tegas Adian.
Munculnya larangan membaca tafsir Sayyid Quthb jelas keliru, karena yang membaca kitabnya sudah ratusan juta orang di seluruh dunia Islam, termasuk di kalangan pesantren. Kalau definisi radikalisme tidak jelas, akhirnya program ini setelah menghabiskan biaya besar, justru tidak menemukan sasaran.
“Pemerintah lalu membidik kelompok Islam transnasional, dengan menciptakan stigma baru pada Wahabi, lalu mengarahkan sasarannya pada kelompok modernis, seperti Muhammadiyah yang ada kaitannya dengan pemikiran Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab. Tentu ini akan menimbulkan kecurigaan, dan pasti akan gagal, karena tidak jelas sasarannya,” ungkap Adian. Desastian