JAKARTA (VoA-Islam) – Sejarah INSISTS bermula sembilan tahun lalu, Muharram 1424 H (tahun 2003), di Desa Segambut, Kuala Lumpur, Malaysia. Berawal dari diskusi-diskusi kecil para mahasiswa International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC) asal Indonesia dan sejumlah dosen di sana. Ketika itu ada Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, kyai Gontor yang belum lama ini lulus dengan gelar doctor dari ISTAC (Kini Direktur INSIST). Ada pula Adnin Armas, mahasiswa ISTAC yang menulis tesis master di bidang Sains Islam berjudul “Fakhruddin al-Razi on Time”.
ISTAC merupakan kependekan dari Institut Antarbangsa Pemikiran dan Tamadun Islam yang diasaskan oleh pemikir dan cendekiawan terkemuka dunia, Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib al-Attas. ISTAC dibuka secara resmi pada 4 Oktober 1991. Institut ini menawarkan pendidikan sarjana dan doctor dalam bidang pemikiran, sains, dan peradaban Islam.
Kampus ISTAC terletak di kawasan Damansara Heights, Kuala Lumpur. Selain dari bangunan utama, kampus ISTAC terdiri atas sebuah perpustakaan besar, masjid, dan juga balai sidang yang seluruhnya merupakan sintesis indah yang memamerkan perpaduan arsitektur Islam, Barat, dan Melayu. Seluruh desain, bentuk-bentuk seni, dan kaligrafi merupakan goresan tangan Syed Muhammad Naquib al-Attas sendiri.
Salah seorang pencetus INSISTS adalah dosen dan alumnus ISTAC, Ugi Suharto, pakar ekonomi Islam yang juga mengajar mata kuliah Sejarah dan Metodelogi Hadits di ISTAC. Ketika itu, Ugi baru saja merampungkan diskusi via email tentang “Al Qur’an Edisi Kritis” dengan aktivis liberal, Taufik Adnan Amal dari UIN Makasar.
Ada lagi,DR.Syamsuddin Arif, doctor dari ISTAC dan masih menulis desertasi keduanya di Frankfurt Jerman. Kemudian ada pula DR. Anis Malik Thoha, alumnus Universitas Islam Internasional Islamabad Pakistan yang dikenal sebagai pakar pluralism agama. Kini, Dr. Anis adalah dosen di Internasional Islamic University Malaysia (IIUM). Masih sederet ilmuwan lainnya yang terlibat dalam pendirian dan aktivitas INSISTS, seperti Nirwan Syafrin (mantu KH. Kholil Ridwan), Muhammad Arifin Ismail, MA, dan sebagainya.
Sebelum berangkat ke Malaysia, Januari 2003, Adian Husaini (kini Pembina INSISTS), untuk menempuh program Ph.D di ISTAC, ia sudah menulis buku Islam Liberal: Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan dan Jawabannya (2002). Ketika menulis buku ini, fokus Adian masih sebatas pada kritik terhadap Jaringan Islam Liberal (JIL). Setelah banyak berdiskusi dengan para mahasiswa dan dosen di ISTAC, Adian melihat fenomena yang jauh lebih luas.
Dalam peta liberalisasi, JIL ternyata hanyalah sebuah lembaga penyebar ide-ide liberal. Disinilah, Adian mulai menemukan framework studi Islam yang kuat dan kokoh serta berakar pada tradisi pemikiran Islam. Cakrawala membangun peradaban Islam melalui budaya ilmu semakin tampak jelas.
Buletin Perjuangan
Hampir setiap hari, mahasiswa ISTAC mendiskusikan masalah-masalah pemikiran Islam. Dari diskusi-diskusi yang intensif, kemudian muncul dorongan untuk mulai menyebarkan produk-produk pemikiran-pemikiran tersebut ke Tanah Air (Indonesia). Semboyan “Berpikir besar, berbuatlah dari yang kecil!” menjadi tekad mahasiswa yang hidupnya serba pas-pasan, dengan mengawali langkah meluncurkan buletin INSISTS. Buletin dicetak hanya sekitar 150 eksemplar dengan tebal sepuluh halaman. Uangnya dikumpulkan secara swadaya (bersama-sama).
Edisi perdana buletin INSISTS (Maret 2003/Muharram 1424 H) menurunkan tulisan Hamid Fahmy Zarkasyi berjudul “Cengkraman Barat dalam Pemikiran Islam”. Buletin ini kemudian diedarkan ke Indonesia dengan infaq Rp. 2000. Edisi kedua (April 2003) menurunkan tulisan Syamsuddin Arif berjudul “Jejak Kristen dalam Islamic Studies”. Sementara itu, diskusi dua mingguan untuk para mahasiswa di Kuala Lumpur terus berjalan dengan mempresentasikan makalah secara bergantian.
Kemudian, datanglah Edi Setiawan, pemimpi penerbitam Khairul Bayan ke Kuala Lumpur. Setelah diajak berkeliling kampus ISTAC, khususnya untuk melihat-lihat koleksi perpustakaannya, ketika itu terucap kalimat Pak Edi: “Pantas kampus ini dibekukan.” Jika ISTAC dibiarkan berkembang, bukan tidak mungkin akan menjadi tantangan serius bagi hegemoni peradaban Barat dalam bidang keilmuan, khususnya bidang studi Islam.
Memang, ISTAC dirancang Prof Syed Muhammad Naquib al-Attas untuk mencetak sarjana-sarjana Muslim yang tidak silau dengan peradaban Barat dan mampu menjawab tantangan keilmuan yang ditimbulkan oleh peradaban Barat. Karena itulah, sejak puluhan tahun al-Attas menjelaskan bahaya peradaban secular Barat dan bagaimana umat Islam harus menghadapinya secara intelektual.
Misi INSISTS di Indonesia pun dimulai tanpa harus menunggu pulang mahasiswa asal Indonesia ke Tanah Air. “Jika menunggu kalian pulang ke Indonesia untuk berbuat, sudah jadi apa Indonesia,” kata Edy Setiawan dalam sebuah SMS yang dikirimnya. Lalu diputuskanlah untuk menerbitkan majalah Islamia. Naskah dan keredaksian disuplai oleh INSISTS. Seluruh redaksi bekerja secara sukarela. Urusan penerbitan dan pemasaran diserahkan pada ahlinya.
Edisi pertama majalah Islamia (jurnal ilmiah dalam bidang pemikiran Islam) langsung menggebrak dunia pemikiran Islam di Indonesia dengan mengangkat tema “Tafsir Versus Hermeneutika”. Melalui majalah ini, INSISTS menyatakan sikapnya yang tegas: menolak penggunaan metode hermeneutika untuk penafsuran al Qur’an. Pemikiran INSISTS ini kemudian menjadi arus baru dalam studi dan pemikiran Islam di Indonsia. (Desastian)