JAKARTA (VoA-Islam)- Pengasong sepilis (sekularisme, pluralisme dan liberalisme) masih bergeliat di tubuh ormas Islam terbesar, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Mereka sempat berupaya merebut pengaruh dan mengambil alih kepemimpinan dan kepengurusan kedua ormas tersebut.
Ada dua agenda penting yang digelar pada 2010 lampau, yakni: Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) di Makasar dan Muktamar Muhammadiyah di Yogjakarta. Isu yang menggelinding jelang muktamar saat ini adalah seputar suksesi kepemimpinan kedua ormas Islam terbesar tersebut. Pertarungan semakin seru, tatkala muncul dua kubu yang saling berhadap-hadapan: liberal dan anti liberal.
Ketika itu, Ulil Abshar Abdalla (intelektual muda NU) sepulang dari Amerika Serikat -- empat tahun menghilang dari Tanah Air – muncul kembali dengan melempar kejutan. Ulil yang merasa dirinya masih diakui sebagai warga NU, begitu ’pede’ mendeklarasikan dirinya untuk maju sebagai NU-1 (Ketua Umum PBNU) saat Muktamar NU ke-32 lalu.
Dengan gagahnya, Ulil mengatakan, diaspora kaum muda NU sudah sedemikian luas, tak hanya di pedalaman, tapi juga di kota-kota besar. Jumlah mereka besar. Banyak yang bersekolah hingga ke berbagai negara, dari Mesir, Saudi, Pakistan, hingga Inggris dan Amerika.
”Ini yang harus diperhatikan NU di masa depan. Dan saya kira untuk merangkul mereka dibutuhkan pemimpin muda. NU sudah berubah dan saatnya dipimpin orang yang lebih muda. Tentu dengan dukungan kiai-kiai senior,” kata Ulil dalam wawancaranya di situs JIL.
Sebagai orang muda yang cerdas, Ulil sebetulnya sadar, bahwa ia tidak akan mendapat restu dari para kiai NU. Barangkali hanya Gus Dur saja yang mendukung. Pencalonan diri Ulil tak lebih hanya gurauan, khayalan dan basa-basi saja. Ulil tahu betul, pencalonannya itu akan menuai kontroversi di kalangan kiai NU.
Ulil memang tidak mengajukan proposal, tapi ia lebih suka wacana dan hal-hal yang sensasional. Sekadar test case saja. Ulil bahkan berseloroh saat ditanya, modal apa yang meyakinkan dirinya maju sebagai calon NU-1?
”Bukannya sombong, saya rasa modal saya memadai. Saya punya pendidikan pesantren yang baik, mengaji fikih sesuai dengan hierarki pesantren, punya pemahaman kitab kuning cukup baik. Saya lulus dari LIPIA (Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab) – padahal tidak lulus -- dan punya pendidikan Barat. Saya juga lahir dari keluarga NU dan berkiprah di NU cukup lama,” ujar Ulil berseloroh.
Untuk maju sebagai ketua umum PBNU, tentu Ulil perlu restu kiai, seperti kiai Langitan, Tebuireng, dan Asembagus. Bisa dipastikan, penerimaan pesantren-pesantren itu terhadap Ulil berujung mustahil dan mengecewakan. Tapi tetap saja Ulil berencana menemui beberapa kiai di Asembagus, Situbondo.
”Insya Allah, saya bisa mendapat restu pesantren-pesantren itu. Memang ada yang beranggapan saya punya pikiran terlalu bebas. Tapi saya yakin mereka bisa paham kalau saya jelaskan, ” tukas Ulil yang pernah divonis mati oleh Forum Ulama Umat Islam (FUUI) di Bandung karena gagasan liberal yang diusungnya.
Selama ini Ulil memang identik dengan Jaringan Islam Liberal (JIL). Bukan rahasia lagi, mayoritas kiai NU merespons negatif pemikiran JIL. Jelas ini tak menguntungkan pencalonannya. Terhadap stigmanya itu, Ulil mencoba mengcounter. Ia katakan, pencitraan negatif itu datang dari luar NU dan merembes ke NU.
Menurut Ulil, ada beberapa hal yang perlu direformasi di tubuh NU. Kata Uil, NU ke depan bukan hanya milik muslim tradisional. Tantangannya adalah bagaimana mendekatkan NU ke kelas menengah kota dan bagaimana berhadapan dengan kelompok radikal. Kepada para senior di NU, Ulil juga menjelaskan berbagai pendapatnya yang dianggap kelewat liberal. Dia mengatakan pikiran dan kritiknya selama ini sebenarnya tak diarahkan ke NU, tapi dialamatkan ke kelompok-kelompok radikal di Indonesia.
”Bagi saya, liberal juga bukan berarti bebas tanpa batas. Saya akan berusaha mendekatkan ide-ide saya dengan bahasa NU,” kata Ulil yang merupakan menantu KH A. Mustofa Bisri, pengasuh Pondok Pesantren Raudhatul Thalibien, Rembang.
Ungkapan Ulil untuk mendekatkan ide-idenya dengan bahasa NU, adalah kamuflase untuk menipu kiai-kiai NU yang tawadhu dan tasamuh. Bahasa yang digunakan seolah-olah santun dan toleransi adalah strategi Ulil untuk menipu sesepuh NU, bahwa dirinya tidak bermasalah.
NU Menolak JIL
Mantan Ketua Umum PBNU KH. Hasyim Muzadi pernah menanggapi sinis gerakan aktivis JIL tersebut. Termasuk kiai NU lainnya, seperti (alm) KH. Said Budairi yang tegas-tegas menyatakan penolakannya terhadap pemikiran JIL.
Menurut Muzadi, selama ini kiprah aktivis JIL lebih banyak melonggarkan akidah umat Islam, ketimbang membuat keyakinan iman yang lebih baik. Bahwa, sebagian besar aktivis JIL adalah anak muda dari kalangan NU, Muzadi tidak menafikannya. Namun, ia menolak jika ada yang menyebut bahwa pemikiran JIL berasal dari NU.
Pakem NU, kata Muzadi, tidaklah seperti itu. Bahkan pemikiran aktivis JIL tidak bagus untuk perkembangan NU. Yang jelas, NU tetap berpegang pada manhaj NU. Muzadi curiga, gerakan JIL adalah adalah bagian dari musuh-musuh Islam untuk menghancurkan Islam dari dalam. Barat menjadikan negara-negara Islam menjadi sasaran proyek mereka. “Mereka didanai oleh funding-funding khusus,” kata kiai. Desastian